Winda Hapsari, seorang wanita cantik dan sukses, menjalin hubungan kasih dengan Johan Aditama selama dua tahun.
Sore itu, niatnya untuk memberikan kejutan pada Johan berubah menjadi hancur lebur saat ia memergoki Johan dan Revi berselingkuh di rumah kontrakan teman Johan.
Kejadian tersebut membuka mata Winda akan kepalsuan hubungannya dengan Johan dan Revi yang ternyata selama ini memanfaatkan kebaikannya.
Hancur dan patah hati, Winda bersumpah untuk bangkit dan tidak akan membiarkan pengkhianatan itu menghancurkannya.
Ternyata, takdir berpihak padanya. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang menawarkan pernikahan. Seorang pria yang selama ini tak pernah ia kenal, yang ternyata adalah kakak tiri Johan menawarkan bantuan untuknya membalas dendam.
Pernikahan ini bukan hanya membawa cinta dan kebahagiaan baru dalam hidupnya, tetapi juga menjadi medan pertarungan Winda.
Mampukah Winda meninggalkan luka masa lalunya dan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. Setuju
Johan menyeka keringat yang membasahi keningnya, gugup. Ia sudah menunggu di depan gerbang perusahaan Winda selama hampir setengah jam. Matahari sudah sejak tadi bergeser ke arah barat, langit berubah warna menjadi jingga kemerahan, menyerupai perasaan gelisah yang mengaduk-aduk dadanya.
Sebentar lagi waktunya Winda pulang kerja. Ia membawa seikat bunga mawar merah, lambang cintanya yang kini terasa begitu naif dan bodoh. Ia menyesal, sangat menyesal atas perbuatannya. Semua adalah kebodohannya. Kini, ia kehilangan Winda, wanita yang selama ini menjadi penopang hidupnya.
"Winda," panggil Johan saat melihat wanita itu berjalan dengan temannya.
Winda menghentikan langkahnya, mendengus kesal. Taksi yang dia pesan sudah datang, tapi malah pria tak tahu diuntung itu datang mengganggu.
Winda menatap Johan dengan tatapannya yang dingin dan datar. "Ada apa?" tanya Winda, suaranya terdengar acuh tak acuh.
Johan mengulurkan seikat mawar merah, "Ini untukmu. Aku… aku minta maaf, Win. Aku salah. Aku bodoh. Aku…"
Winda menerima bunga yang diulurkan oleh Johan. “Terima kasih,” ucapnya datar. Namun, sedetik kemudian…
“Ups….” Winda memperhatikan bunga mawar merah yang kini teronggok di dekat kakinya. “Maaf, tanganku kesemutan.”
Johan menggelengkan kepala. Bunga yang dulu sangat disukai oleh Winda, kini seolah telah berubah menjadi sesuatu yang tak berarti. Ia tahu winda memang sengaja menjatuhkannya.
“Aku sudah tahu salah. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.” Johan menatap Winda penuh permohonan. “Aku pasti akan…”
"Tidak perlu.” Winda memotong ucapan Johan. “Aku tidak butuh orang untuk membantuku menghabiskan gajiku. Aku cukup mampu untuk menghabiskannya sendiri.”
Wajah Johan memerah. Marah sekaligus malu. Kata-kata Winda benar-benar membuat ia merasa dikuliti. Ia melihat beberapa karyawan teman Winda saling berbisik memperhatikan mereka. Winda benar-benar tak memberinya muka.
“Seharusnya sejak dulu aku lebih memperhatikan diriku sendiri. Bukan memikirkan orang lain yang ternyata hanya ingin memanfaatkanku.” Ternyata Winda masih belum selesai menumpahkan kekecewaannya. Wajah Johan semakin membara dibuatnya.
"Aku tahu aku salah. Tapi aku bersungguh-sungguh. Aku… aku mencintaimu, Win," ucap Johan lirih.
Winda tersenyum sinis, "Cinta? Kau menyebut itu cinta?” Winda tertawa tergelak. “Kalau Kau mencintaiku, kau tidak akan mengkhianatiku, terlebih bersama sahabatku sendiri. Kau telah menghancurkan kepercayaan yang telah kubangun selama dua tahun ini."
"Berikan aku kesempatan, Win. Aku berjanji akan berubah." Johan merasa semakin putus asa. Membujuk winda ternyata tak semudah yang ia bayangkan sebelumnya. Winda yang sekarang bukan lagi Winda yang luluh oleh seikat bunga.
Winda menggeleng, “Aku tidak berminat. Hatiku bukan kartu seluler yang jika masa aktifnya habis bisa diaktifkan lagi dengan mengisi pulsa.” Winda menolak tegas.
"Kamu bukan satu-satunya pria di dunia, hingga Aku harus selalu menunggumu. Bahkan jika kamu satu-satunya pria di dunia, Aku akan lebih memilih sendiri seumur hidup.”
Telak. Kata-kata Winda layaknya mata pisau yang tajam menghujam jantung. Pria itu hanya mampu terdiam tanpa bisa menyahut. Hanya kepalanya yang berkali-kali menggeleng.
“Asal Kamu tahu. Aku juga bukan perempuan tidak laku hingga harus menerima saja saat dikhianati. Aku bahkan sudah mendapat pengganti dirimu.”
“Bohong…!” Tiba-tiba johan berteriak tidak terima. “Kau pasti hanya sedang marah. Kau sedang ingin menghukumku. Aku terima itu. Hukum aku sepuasmu. Setelah itu, ayo kita baikan.”
“Ha ha ha ha ha… “ Winda tertawa tanpa bisa ditahan. “Percaya diri sekali kau? Aau terlalu menganggap dirimu penting. Tak masalah Kamu tak percaya. Asal kamu tahu, Aku akan segera menikah. Jangan khawatir, aku akan menyuruh seseorang untuk mengirim undangan.”
Winda yang semula sudah akan pergi, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Berbicara tanpa menoleh. “Soal uang yang selalu kau pinjam, tapi tak pernah kembali, lupakan saja. Aku tak butuh. Aku anggap itu sedekah untuk fakir miskin.”
Johan menatap nanar Winda yang kini telah benar-benar berlalu meninggalkannya. Bunga mawar merah yang ia bawa tak lagi berharga. Kelopaknya yang cantik telah hancur terinjak sepatu Winda. Ia telah kehilangan segalanya. Cinta, kepercayaan, dan Winda.
Johan menyentuh dadanya. Kenapa rasanya sakit sekali? Bukankah selama ini ia tak benar-benar mencintai Winda? Bukankah selama ini ia hanya butuh uang Winda? Lalu saat Winda bilang tak lagi cinta, kenapa rasanya sakit?
Ia menggelengkan kepala berkali-kali. "Tidak. Ini pasti tidak benar. Winda sangat mencintaiku. Mana mungkin secepat itu Winda menggantikan posisiku dengan orang lain. Winda hanya sedang emosi, pasti esok hari Winda akan kembali."
***
Winda duduk bersandar di atas ranjangnya. Ponsel di tangannya sejak tadi berulang kali menyala lalu menghitam. Winda terus mengamati kontak yang tertera di layar, ada nama Ardan di sana.
Apa benar ia harus menerima tawaran itu? Tapi,,, ia sudah terlanjur bicara tentang pernikahan di depan Johan. Tak ada pilihan lain. Mungkin ini pilihan terbaik. Meski ini bagai sebuah pertaruhan. Pertaruhan tentang hidupnya di masa mendatang.
Jari-jari Winda gemetar. Setelah beberapa saat ragu, ia menekan tombol panggil. Nada sambung yang panjang terasa seperti sebuah abad. Hati Winda berdebar. Takut tapi juga berharap.
Akhirnya, panggilan tersambung.
“Ya?” Suara Ardan yang rendah dan tenang terdengar di seberang.
“Ardan… ini Winda,” suara Winda sedikit bergetar.
Di seberang sana, terdengar hening sesaat. Lalu, suara Ardan kembali terdengar. “Aku tahu. Lalu?”
“Aku… aku menerima tawaranmu,” kata Winda, suaranya masih sedikit gemetar.
“Baiklah,” jawab Ardan, suaranya datar, tanpa menunjukkan emosi. “Kapan kau ingin bertemu?”
“Bagaimana kalau besok siang?” Winda mengusulkan.
“Aku akan menjemputmu di jam makan siang di depan kantormu.”
“Baik." Winda menatap panggilan yang ditutup sepihak. Menghela napas, perasaan campur aduk membanjiri hatinya. Mengusap keringat yang tiba-tiba membasahi keningnya, padahal kamarnya ber AC.
***
Keesokan harinya, Winda bersiap dengan hati yang berdebar-debar. Ia memilih pakaian kerjanya yang paling bagus. Berulang kali mematut diri di cermin, memastikan penampilan hari ini sempurna. Entah kenapa tiba-tiba ia ingin dipuji oleh Ardan.
“Kamu kenapa sih, kok kulihat sejak tadi kaya gugup gitu?” tanya Silvia curiga.
“Apa begitu terlihat?” Winda menggigit bibirnya.
“Hum. Apa kau ada masalah? Apa si kodok itu menyusahkanmu?”
“Tidak.” Winda buru-buru menggeleng. “Ini bukan tentang dia.”
“Lalu?” Silvia mengerutkan keningnya.
Winda menunduk, “Aku,,, Aku akan bertemu dengan Ardan.”
“Benarkah?”
Winda hanya menjawab dengan anggukan kepala. Raut wajah Silvia yang tadinya penuh rasa khawatir kini berbinar. Entah kenapa dia yang senang jika Winda menerima tawaran Ardan.
***
Tepat pukul 12 siang, sebuah mobil mewah berhenti di depan kantor Winda. Ardan keluar dari mobil, mengenakan kemeja putih dan celana bahan berwarna gelap. Penampilannya jauh lebih formal daripada pertemuan mereka sebelumnya. Winda terkesima sejenak. Ardan terlihat sangat berwibawa.
“Kamu ingin kita makan siang di mana?” Tanya Ardan ketika mobil yang dia kendarai telah melaju.
“Engg, itu, terserah kamu saja.” Winda menyerahkan pilihan pada Ardan. “Asalkan jangan jauh dari perusahaan. Jam istirahatku tidak terlalu lama.”
Ardan mengangguk. Ia lalu menghentikan mobilnya di sebuah rumah makan terdekat dengan tempat kerja Winda.
“Apa yang ingin kamu pesan?” Ardan memperlihatkan buku menu ketika mereka telah duduk di dalam rumah makan.
“Aku ikut pilihan yang kamu pesan saja.”
Ardan mendengus, gadis di hadapannya ini terlalu kaku. Pria itu lalu menjentikkan jarinya dan tak lama kemudian seorang pelayan mendekat.
“Satu porsi nasi, dua beef steak, dua salad buah dan sayur. Minumnya jus jeruk.”
Pelayan mencatat pesanan Ardan. Mengangguk, lalu pergi.
“Biasakan makanan dengan menu sehat. Kurangi makanan berlemak dan pedas. Itu tidak baik untuk kesehatan lambung dan kulitmu yang mulus.”
Blush…
Wajah Winda merona merah. Suara Ardan memang datar, tapi kalimat yang terucap terdengar manis di telinga Winda.
duh.. kan jadi gatel jariku/CoolGuy/
Ardan yang nyidam
Winda yang mengalami morning sick
lucu banget.....
lanjut ka....