Diselingkuhi sedih? Sudah tidak jaman! Angkat kepalamu, gadis, mari kita balas dendam.
Betari diselingkuhi oleh kekasih yang dia pacari selama tiga tahun. Alih-alih menangis, dia merencanakan balas dendam. Mantan pacarnya punya ayah duda yang usianya masih cukup muda. Tampan, mapan, dan kelihatannya lebih bertanggungjawab. Jadi, Betari pikir, kalau dia tidak dapat anaknya, dia akan coba merebut ayahnya.
Namun ditengah misi balas dendamnya, Betari justru dikejutkan oleh semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terhubung Dengan Melvis Kembali
Masuk kerja setelah apa yang terjadi dengan Nando memang tidak akan terasa sama seperti ketika hubungan mereka masih baik-baik saja. Video pelabrakan di kafe pekan lalu juga sudah menyebar ke seluruh divisi kantor, membuat tatapan orang-orang terhadapnya cukup banyak yang berubah.
Ada yang iba. Ada yang memicing seolah menertawakan. Ada pula yang menelisik seolah bertanya dari mana keberanian itu dia dapatkan. Dari semua reaksi itu, Betari memilih tidak banyak ambil pusing. Jika ada yang bertanya, dia hanya akan menjawab sekenanya. Jika tidak, maka dia akan anggap tidak ada yang terjadi pada hidupnya.
Di kubikelnya, Betari mulai merasa bosan. Jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gerakan konstan. Kedua telinganya disumpal earphone. +82 Pressin terputar di sana untuk kali ke-sembilan. Perpaduan rap Mark Lee dan vokal Lee Haechan yang kawin abis membuat Betari tak merasa cukup hanya dengan mendengarkannya sekali.
“Be,”
Colekan terasa di lengan kirinya. Betari menoleh pada Maleo yang menyuguhkan raut wajah sulit dibaca.
“Apa?” tanya Betari usai melepas sebelah earphone-nya.
“Makan siang di mana?”
Betari melirik jam di pojok kanan bawah komputernya. Pukul 10:25. Memang ada gila-gilanya Maleo ini menanyakan makan siang ketika bokongnya baru saja mendarat di kursi tidak lebih dari satu jam.
Meski begitu, Betari tetap menjawab, “Kantin kantor aja.” Lalu kembali fokus menatap layar komputernya.
“Nggak mau ikut gue sama anak-anak yang lain? Kami mau ke Pagi Sore.”
Betari menggeleng tegas. “Lagi nggak pengin makan yang terlalu berbumbu,” ucapnya. Sebelum memasang kembali satu earphone yang dilepas, dia menambahkan, “Lagian nggak ada Ola, nanti nggak ada yang bantu habisin makanan gue. Kalau di kantin kantor kan gue bisa bebas nentuin porsi makan.”
Maleo di sebelah hanya manggut-manggut, lalu kembali mendorong kursinya menjauh dari kubikel Betari. Sedangkan Betari, gadis itu mulai memikirkan hal lain ketika tangannya baru saja menyentuh mouse. Suara Mark dan Haechan masih menggema di telinganya, tetapi perlahan menjadi samar karena suara-suara yang lain dari dalam kepalanya.
“Saya Betari Amelia Pertiwi, panggil aja Betari.”
“Ah, ya, saya Melvis. Sekali lagi terima kasih udah nolongin saya.”
“Ya, ya, no problem. Lain kali lebih hati-hati aja, dan jangan gampang percaya sama orang asing.”
“Pfttt...” Betari membekap mulut agar tawanya tidak meledak. Mendadak, dia merasa tergelitik dengan ucapannya sendiri. Sok-sokan menasihati Melvis agar tidak mudah percaya pada orang asing, padahal dirinya sendiri juga termasuk ke dalam list orang asing itu sendiri.
Usai membaca beberapa informasi yang Ardhan bagikan, Betari sempat berpikir bahwa mendekati Melvis mungkin akan sedikit penuh tantangan. Selain karena usia mereka yang terpaut jauh, status Melvis sebagai pemimpin perusahaan juga pasti sedikit banyak membuat kepribadiannya cukup sulit Tapi kalau melihat reaksi om-om itu malam lalu, sepertinya tingkat kesulitan yang akan dia hadapi tidak terlalu tinggi.
Betari membuang napas pelan. Dirogohnya tas selempang yang menggantung di bawah meja. Mengambil kartu nama Melvis yang dia bawa ke mana-mana. Kertas persegi berukuran kecil itu lalu dia pampang di atas meja kerjanya. Dia pandangi sedemikian rupa sambil memikirkan langkah selanjutnya.
Kalau harus menyewa preman gadungan lagi dan berperan sebagai penyelamat seperti tempo hari, rasanya akan terlihat tidak natural. Betari harus mulai memikirkan sesuatu yang lain. Mungkin dengan memanfaatkan koneksi antara perusahaan tempatnya bekerja dengan perusahaan milik Melvis?
“Coba kita lihat ... Apa yang bisa kita perbuat dengan itu?” monolognya sambil menggulir layar ponsel.
Beberapa room chat terpampang di layar ponsel dengan case kuromi miliknya. Dia memeriksanya satu persatu. Membaca setiap pesan dengan saksama dan penuh pertimbangan. Sampai kemudian, dia mendapatkan sebuah ide yang menurutnya cukup brilian.
Senyum Betari mengembang. Dia pin chat di salah satu room chat dengan rekan kerjanya. Dia baru saja mendapatkan ide dari sana. “Oke, siap-siap untuk menyambut misi selanjutnya, Betari.”
Sehabis bermonolog, Betari menyimpan lagi kartu nama Melvis di tasnya. Pandangannya kembali tertuju pada layar komputer. Sebelum kembali fokus bekerja, dia menaikkan volume lagu di ponselnya. Seketika itu juga, jiwa Betari melayang melanglang-buana.
...*****...
Tidak ada Ola di sisinya ketika jam makan siang adalah sesuatu yang cukup merepotkan. Gadis berjuluk ‘pemakan segala’ itu adalah penyelamatnya. Selain untuk membantu menghabiskan porsi makan yang kelebihan, Ola juga kerap kali membuatnya lebih bersemangat menyantap makan siang karena caranya memperlakukan makanan yang benar-benar patut diacungi jempol. Tidak sedikit pun pernah keluar komplain dari bibir gadis itu. Mau masakannya sedang keasinan pun, Ola akan menyantapnya dengan tenang dan penuh rasa syukur.
Membawa nampan berisi nasi dan lauk-pauk, Betari mulai mengedarkan pandangannya guna mencari tempat duduk. Siang ini kantin kantor relatif sepi. Maklum, habis tanggal gajian. Orang-orang biasanya lebih memilih pergi makan di luar dan sedikit menghambur-hamburkan uang dengan kedok self reward.
Usai mencari beberapa saat, Betari menemukan spot yang dia rasa paling pas. Bangku ujung dekat jendela kaca yang membuatnya bisa melihat pemandangan jalanan dari ketinggian. Menyantap makan siang sambil menikmati lalu-lalang kendaraan di jalan utama juga bukan sesuatu yang buruk. Setidaknya lebih baik daripada dia harus mendengar gosip-gosip murahan yang mudah sekali menyebar dari mulut ke mulut.
Betari berjalan santai menuju meja pilihannya.
Namun, ketika baru setengah jalan, dia mendadak berhenti mengayunkan langkah karena netranya tak sengaja menemukan eksistensi Nando di sana. Lelaki itu berdiri dengan nampak yang sama, berada lebih dekat dengan spot incaran Betari.
Cukup lama tatapan Betari terkunci pada sosok Nando yang juga tengah menatapnya. Sampai kemudian, seseorang yang memanggil nama lelaki itu berhasil mengalihkan perhatian. Segerombolan orang dari divisi IT bergerak mendekati Nando dan menggiringnya duduk, memutus kontak mata penuh tensi dan membiarkan Betari bisa menarik napas lega.
Sedikit kesal karena tidak bisa duduk di meja pilihannya, tetapi Betari mencoba mengikhlaskan hal tersebut dan segera memilih meja lain dengan cepat. Lokasinya dekat pintu masuk sehingga akan rawan dilewati orang-orang, tetapi itu lebih baik karena dia juga bisa segera kabur kalau sudah merasa muak.
Duduk sendirian di meja itu, Betari mulai menyantap makan siangnya dengan suapan besar namun dikunyah dengan lambat. Pandangannya tidak tertuju pada piring yang penuh, melainkan melayang jauh ke depan dengan isi kepala yang juga mulai terasa penuh.
Dia tahu harus terbiasa dengan situasi semacam ini. Tapi tetap saja rasanya menyebalkan karena harus berhadapan dengan perasaan tidak nyaman ketika seharusnya dia bisa makan dengan tenang.
“Ish, keras banget sih nasinya!” keluhnya. Menumpahkan kekesalan pada butir-butir nasi tak berdosa alih-alih langsung menyiramkan kuah sayur lodeh ke kepala Nando.
“Nggak. Tenang Betari. Jangan terbawa emosi.” Inhale, exhale. Betari menarik dan membuang napas perlahan-lahan dengan hitungan yang teratur. Mengacau mungkin akan memuaskan egonya, tetapi tetap saja akan ada konsekuensi yang harus dia tanggung juga nantinya.
Jadi, daripada menuruti pikiran liar di kepala, Betari lebih memilih mengendalikan diri agar bisa menyiapkan rencananya lebih matang dan sempurna.
.
.
Bersambung.