Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sense of Nostalgia
Adrian melirik lembar kesepakatannya dengan Akasia, “Dengan ini aku mohon kerjasamanya, terutama untuk menutupi dan memaklumi kondisiku yang aneh ini. Sejujurnya aku berterima kasih sekali ke kamu, aku bersyukur menghadapi kesulitan ini dengan kamu, bukan dengan orang random lainnya. Aku tahu kamu orang baik.” Pemuda Belanda itu menatap mata gadis di hadapannya dengan ketulusan. Ia tahu kehadirannya ini akan banyak merepotkan Akasia ke depannya. Ia berhutang banyak pada gadis itu.
Akasia merasakan debaran pada jantungnya saat matanya ditatap oleh sepasang mata biru laut itu, ia terenyuh dan jadi salah tingkah. “Asal kamu janji kamu nggak akan bohong, soalnya aku benci pengkhianatan.” Sang pemilik kamar memberi ultimatum, masih sedikit khawatir akan dirugikan.
“Janji dengan seluruh jiwa ragaku, you can trust me, pria Nederlander pantang mengingkari janjinya.” Adrian meyakinkan dengan tatapan seriusnya yang melenakan hati.
Lagi-lagi ucapan yakin pemuda itu membuat Akasia terpesona. Ia hampir saja terpikat, sehingga ia segera mengalihkan wajahnya demi menenangkan rasa berdebar di hatinya, “Kecuali pada warga pribumi.” Sindirnya sambil menyeringai, mengingatkan fakta sejarah.
Adrian tersenyum canggung, “Itu...politik licik sih. Ya maaf, bukan salah saya.” Ia menjawab serba salah.
Akasia terdiam gugup, mencoba mencari bahan obrolan. Ia mengamati nama panjang pemuda itu di atas kertas, “Jadi ini nama panjang kamu?”
“Begitulah, aneh ya?” Pemuda pirang itu tersenyum simpul, mencoba menebak pikiran gadis di hadapannya.
“Bukan itu, kok bisa pas ya sama nama yang kukasih?” Akasia merasakan ini kebetulan yang terlalu aneh.
“Iya, aku juga kaget waktu kamu beri aku nama Adri, kebetulan banget,” Adrian mengakui. “Cuma kamu nih yang panggil aku Adri.” Akunya, lalu berpikir sejenak, “Pernah ada juga sih, tapi dimasa lalu,” mata pemuda itu menerawang, teringat kenangannya yang tertinggal jauh.
“Siapa tuh, pacar ya?” Tebak gadis pemilik kamar sambil menatap centil.
Adrian mengulum senyum, terlihat pipinya sedikit merona, "Rahasia."
...oOo...
Di waktu istirahat sekolah, aku dan Dinia duduk di pinggir lapangan sekolah, menikmati pemandangan para siswa yang sedang bermain basket.
“Kasia, lu jadi cari kerja sambilan?” Tanya sahabat akrabku di sela waktu makan kami.
“Iya, gue mau banget coba kerja. Lu ada lowongan kerja?” Responku cepat sambil mengunyah batagor.
“Coba di Kafe Antariksa di dekat sekolah deh! Kemarin gue lihat ada lowongan ditempel di pintunya, murid SMA bisa kok daftar.” Dinia menyarankan sambil memilih siomay yang cukup kecil untuk dimasukkannya ke mulut.
“Wah, thank you banget, Din, gue kesana deh sepulang sekolah.” Mataku berbinar, pencarianku ada hasilnya.
Dinia memandang para siswa yang sedang bermain basket, “Aneh tuh orang-orang, dikasih waktu istirahat malah lebih milih buat capek keringetan. Rajin banget ya.” Komentarnya usil.
“Iya juga sih. Padahal duduk kalem kan bisa, santai-santai sambil makan kaya kita, enak kenyang, ya kan, Din?” Sahutku. Ini yang aku suka dari sahabatku itu, sering mengeluarkan komentar random yang konyol.
“Tapi kalau ganteng nggak apa-apa sih, tuh kayak si Endry Sadino, vitamin mata.” Pandangan Dinia terpusat pada sosok seorang pemuda tinggi dan tegap di tengah lapangan yang sibuk berlari dengan ceria.
“Oh itu yang namanya Endry Sadino, selama ini gue sering dengar namanya disebut-sebut, tapi nggak tahu yang mana orangnya.” Aku mengangguk mengamati pemuda itu. Kulitnya sawo matang, posturnya tinggi dan tegap, senyumnya memang manis, mungkin karena paduan alis tebalnya dan lesung pipinya. Di mata Akasia, sosok Endry memang cukup menonjol dibanding murid lain, perpaduan antara wajah manis dan tubuh atletis memang nyaman dilihat mata.
“Kok bisa ya Endry yang cool begitu sahabatan sama Selena yang centil?” Heran sahabatku, kali ini menggosipkan orang lain lagi.
“Selena yang centil itu? Yang star syndrome itu? Sahabatnya dia?” Aku memastikan ingatanku tentang seorang siswi di kelasku yang putih, cantik, semampai, rambutnya panjang bergelombang, dan jelas-jelas pakai eyelash extension hingga bulu matanya lebat dan lentik sekali. Dia memang populer di angkatanku, tapi cara bicaranya yang centil membuatku merinding.
“Iya itu, baru juga jadi selebgram, gayanya kayak seleb papan atas.” Gadis cablak di sampingku menambahkan.
“Kok bisa nyambung ya? Kira-kira mereka kalau ketemu ngobrolin apa ya?” Aku mulai memikirkan hal-hal tidak penting.
“Hei Endry, lihat deh, aku baru eyelash extension kemarin, habis lima juta. Tuh bulu mata aku panjang lebat dan anti badai,” Dinia mencoba meniru gaya bicara Selena, “Wah iya, keren banget! Kayaknya bisa nahan bola basket disitu ya? Jadi pingin juga, pakai bulu ketek bisa nggak?” Kali ini ia meniru suara pria, seolah menjadi Endry. Aku terkikik geli karena aktingnya yang amatiran itu.
Sedang asyik-asyiknya tertawa, sebuah bola basket mengenai pahaku kencang, membuatku terkejut.
“Sorry sorry!” Seorang siswa menghampiri kami untuk mengambil bola, ternyata itu Endry yang tadi kami bicarakan.
“Hati-hati dong! Untung nggak tumpahin batagor gue, makan siang gue nih! Kalau sampai tumpah, gue minta ganti rugi pokoknya.” Aku mengomel sambil mengamankan seplastik batagorku.
“Iya ah, lebay!” Jawabnya jutek sebelum membawa bolanya dan kembali ke tengah lapangan.
“Lah kok malah dia yang jutek?” Heranku tidak terima.
“Elu juga sih, malah permasalahin batagornya. Kepala lu tuh, untung nggak kena bola, kalau kena bisa geger otak, makin pea lu! Bahaya!” Dinia mengingatkan.
“Iya juga ya,” aku cengar-cengir, baru kepikiran, “Tapi ternyata Endry searogan itu ya? Pantas cocok sama Selena.” Nyinyirku kesal, ‘Dia yang salah, dia yang jutek.’ Dalam hati aku menahan geram.
Sudah pukul dua siang, murid-murid di SMA Prestasi Jaya berhamburan keluar gedung sekolahnya. Aku menyempatkan mampir ke tempat batagor langgananku di belakang sekolah sebelum ke Kafe Antariksa. Aku tinggal mengambil pesananku saja karena sebelumnya sudah mengirim chat ke penjualnya, Mamang Amin. Ada untungnya aku menjadi orang yang supel dengan pedagang, jadi aku bisa menyimpan nomor penjual batagor favoritku untuk pemesanan. Di sekitar gerobak batagor Mamang Amin terlihat penuh dengan antrian pembeli. Dengan santai aku menyeruak antrian karena sudah janjian dengan Mamang Amin.
“Mamang, mana pesanan saya?” Aku menepuk Mamang penjual batagor dengan senyumanku.
“Enak ya tinggal nyerobot!” Protes suara pemuda di belakangku yang terdengar familiar. Benar saja, ternyata itu Endry dengan wajah kesalnya.
“Ya enak lah, saya kan sudah pesan lewat chat sebelumnya, ya Mang? Makanya punya smartphone digunain, jangan kalah smart. Akrab sama pedagang, jangan galak-galak.” Aku membela diri dengan santai, tidak ambil pusing.
“Dasar curang!” Timpal Endry tidak mau kalah.
“Curang gimana sih? Mungkin maksudnya cerdik. Udah ah, saya buru-buru. Ini uangnya ya Mang, terima kasih loh!” Aku segera menarik diri begitu menerima seplastik batagor pesanannya, malas memperpanjang masalah. Rencananya aku akan makan pesanan itu di kafe nanti jika ada waktu luang.
...oOo...
Akasia memarkirkan motor Scoopy merah mudanya di depan Kafe Antariksa. Ia mendekati pengumuman yang ditempel di pintu kafe dan mengamatinya, ternyata benar itu lowongan pekerjaan untuk mencari pegawai tambahan disana. Gadis manis itu memutuskan untuk masuk dan bertanya lebih lanjut pada pegawai kafe yang bisa ia temui.
“Permisi, maaf Kak, mau tanya. Lowongan kerja yang ditempel di pintu itu masih berlaku ya? Lalu apa murid SMA seperti saya boleh mendaftar?” Akasia memberanikan diri menanyakan ke perempuan penjaga kasir.
“Oh iya masih, untuk itu baiknya bicara langsung dengan Manajer di sini. Sebentar ya saya panggilkan.” Penjaga kasir itu izin ke belakang sebentar, lalu kembali dengan seorang pria paruh baya bersetelan formal, wajahnya Jawa sekali.
“Maaf, Bapak Manajer di sini ya?” Akasia jadi segan dan sedikit grogi.
“Oh iya, kamu mau menanyakan lowongan pekerjaan itu ya? Boleh kok, boleh, masih bisa. Kasih aja dulu CV-nya ke saya kalau bawa, nanti akan saya panggil lagi untuk interview dan training.” Manajer itu menjelaskan dengan lengkap sebelum ditanya.
“Jadi boleh ya, Pak, murid SMA seperti saya mendaftar?” dengan semangat aku segera mengeluarkan map berisi CV dari tas sekolahku, "Ini Pak, CV saya, lengkap dengan SKCK, pas foto, dan fotokopi rapot terakhir. Pesan saya, mohon jangan disalahgunakan." Akasia menyerahkan satu map lengkap tersebut.
“Prepare sekali kamu ya, bagus, saya suka semangat kamu.” Manajer itu terkesan memperhatikan tingkah Akasia.
“Iya dong pak, harus semangat menjemput rejeki, Bapak juga kan? Semangat pak!” Gadis itu menyemangati sebelum pamit untuk pulang.
Akasia mampir sebentar ke sebuah departement store di perjalanan pulang untuk membeli pakaian. Ia ingat pesan kasir kafe itu untuk mempersiapkan setelan kemeja putih dan rok hitam untuk dipakai interview dan training. Lagipula kalaupun tidak diterima di kafe ini, sepertinya itu set pakaian standar untuk interview dimanapun nantinya ia bekerja, jadi pasti akan banyak berguna.
...oOo...
Sesampainya motor Akasia di rumah, ia segera menghambur turun dari motor dan memasuki kamar tidurnya yang nyaman. Ia tidak sabar untuk menemui sahabatnya disana.
“Adri, aku mau cerita!” Serunya begitu pintu kamar ditutupnya rapat.
“Cerita aja, aku dengar kok.” Boneka porselen itu menyahut tanpa berubah.
“Tumben kamu nggak semangat berubah jadi orang?” Heran Akasia.
“Aku mau simpan tenaga buat nonton netflix nanti malam,” ungkap boneka Adri.
“Widih, sok asik kamu! Udah tahu nikmatnya netflix and chill,” gadis itu menggodanya, merasa geli.
“Yoi!” Adrian memainkan alis tengil, “Cerita apa nih? To the point aja,”
“Tadi aku beli baju baru, niatnya buat interview kerja sih, aku mau pamerin nih,” gadis itu mengeluarkan plastik berisi pakaian barunya dari tas.
“Kamu mau kerja? Kok aku nggak tahu,” pemuda Belanda itu mengingat-ingat, seingatnya Akasia belum pernah menceritakan mengenai hal tersebut.
“Oh, aku belum pernah cerita ya? Sorry.” Gadis imut itu beranjak ke kamar mandi di samping tempat tidurnya, berniat mencoba baju barunya, “Tadi aku baru mendatangi tempat yang ada lowongan kerjanya, Kafe Antariksa namanya. Tempatnya bagus, terima anak SMA juga. Aku juga sudah masukin CV dan syarat lamaran, semoga aja aku cepat dipanggil interview.” Suaranya terdengar bergema dari dalam kamar mandi.
Adrian terdiam, sedikit terkejut baru mengetahui rencana Akasia yang ini. Biasanya gadis itu menceritakan semua rencana di kepalanya kepada Adri. Ia jadi merasa dilangkahi dan tersisihkan, “Kamu...nggak berniat kerja karena risih ketemu aku terus disini kan?” Tanya boneka Adri tidak tenang. Ia menunduk, merasa bersalah.
“Oh nggak, jangan salah paham. Aku memang belum lama ini berniat kerja buat kumpulin uang, jaga-jaga siapa tahu ibu sadar dan mau cerai. Cuma baru ada kesempatan aja,” Akasia menenangkan pemuda itu sambil memakai pakaian barunya. Ia mengancingkan kemeja putihnya dan mengaitkan rok hitam panjangnya. Ia bahkan sengaja menguncir kendur rambutnya. Setelah yakin penampilannya rapi baru ia keluar kamar mandi demi menunjukkan setelan itu, “Tadaa! Gimana? Model bajunya terasa vintage kan?”
Mata Adrian membesar, memandangi Akasia yang mengenakan pakaian barunya. Ia tertegun. Kemeja putih berenda dengan kerah tumpul dan berpita warna senada, dipadu rok hitam selutut. Pakaian itu bukan hanya membuat gadis di depannya semakin manis, ia merasa familar dengan penampilan itu di masa lalunya, apalagi dengan ikatan rendah pada rambut panjangnya.
Perempuan di zamannya dulu mungkin memang banyak yang memakai setelan putih-hitam semacam itu, tapi ada satu orang yang ia ingat pernah terlihat sangat mirip seperti Akasia dengan pakaian kerja serupa. Adrian sempat menggeleng demi menampik pikirannya sendiri, tapi ia tidak bisa lagi menafikkan kemiripan dua wanita itu. Ia merasa takdir itu aneh, bagaimana dua orang di masa yang berbeda bisa berwajah serupa?
“Ceilah sampai berubah jadi manusia gitu, katanya mau simpan tenaga buat nanti malam nonton netflix?” Goda Akasia, “Nostalgic ya? Iya sih, modelnya kayak jadul,” tebaknya sambil mengamati detail pakaiannya.
Adrian bahkan baru sadar ia telah berubah menjadi manusia dan bukan lagi berwujud boneka. Apa mungkin karena jantungnya yang berdebar ini? Ia tidak siap menerima satu kemungkinan di pikirannya, tapi itu kemungkinan yang paling masuk akal, meski aneh.
“Udah ah cobain bajunya, ini perlu dicuci dulu,” Akasia kembali masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian yang lebih santai, “Sebenarnya tadi aku sempat kesal karena kelakuan satu cowok di sekolahku. Aku kira cowok populer itu karakternya cool, keren, ternyata arogan banget, jutek pula, namanya Endry Sadino. Untung mood-ku ketolong dengan informasi lowongan kerja.” Ia curhat dari dalam kamar mandi.
“Siapa namanya tadi? Sadino?” Adrian terkesiap mendengar nama itu.
“Iya, Endry Sadino. Kamu penasaran sama orangnya?" Heran gadis itu, ‘Kenapa kedengarannya penasaran banget? Masa cowok penasaran sama cowok? Ah mungkin penasaran dengan ceritaku aja kali.’ Akasia menepis santai pikiran anehnya.
“Nggak sih, aku cuma ingat pernah kenal dengan orang bernama Sadino sebelumnya. Jadi penasaran aja kayak gimana orangnya, siapa tahu mirip.” Adrian tersenyum pahit, ‘Bukan kenal sih tepatnya, cukup tahu aja. Lagipula ini kebetulan sekali.’ Batinnya.
Ia masih mengingat jelas foto keluarga harmonis yang pernah ia lihat di masanya. Foto keluarga pribumi dengan wanita bersetelan kemeja dan rok, putih-hitam, yang serupa Akasia, dengan suaminya di sebelahnya, ‘Kemuning, inikah karma darimu?’ Batinnya bertanya-tanya.
Kedua orang itu duduk di karpet bersandarkan ranjang Akasia, yang satu sibuk bercerita, sedangkan yang lain diam memperhatikan.
“Iya, aku yang dilempar bola basket aku yang dijutekin. Bukannya minta maaf yang benar, nggak ada rasa bersalahnya sama sekali. Mana sepulang sekolah aku ketemu Endry lagi di tukang batagor, nyindir-nyindir aku pula dibilang nyerobot. Padahal udah dijelasin aku udah pesan duluan lewat chat, malah dituduh curang.” Cerocos Akasia dengan semangat 45, sementara Adrian kali ini terdiam, entah mendengarkan atau sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Makanya, yang mana orangnya? Boleh lihat nggak fotonya Endry Sadino itu?” di luar dugaan, pemuda Belanda itu masih penasaran dengan wajah pria yang dibicarakan.
“Coba aku cek dari IG ya, siapa tahu ada di akunnya,” Akasia mengecek melalu aplikasi IG, lalu menemukan akun si pelaku yang sudah membuatnya kesal seharian ini, “Nah ini orangnya, padahal nggak ganteng-ganteng amat kan, tapi arogannya, arrghh, bikin gondok!” Gadis itu memperlihatkan layar ponselnya ke pemuda di sebelahnya, ia masih merutukinya.
Saat Adrian melihat fotonya terkonfirmasi lah kecurigaannya, ia langsung mendapat sebuah kesimpulan. Sejarah memang seringkali berulang, namun ia tidak menyangka bisa menyaksikan sendiri sejarah yang berulang tersebut. Wajah pria itu, seperti dugaannya, benar-benar mirip dengan orang yang bernama Sadino di masa lalunya, “Baik-baik sama dia,” pesannya tanpa dinyana.
“Loh kamu kok bela dia sih?” Akasia heran.
“Bisa jadi dia jodoh kamu,” pemuda Belanda itu menerawang, sekejap dibalas dengan lemparan buntalan plastik yang cukup berat oleh pemilik kamar tersebut, “Apaan nih?” Ia memeriksa isinya.
“Idih amit-amit! Jadi nyesel beliin kamu baju!” Akasia membocorkan isi dari plastik itu.
Adrian terkejut karena cukup banyak pakaian pria di dalam plastik yang dilempar ke arahnya tadi.
Terdapat beragam model atasan dan bawahan, sepertinya gadis itu memperhitungkan kebutuhannya untuk semua kegiatan. Ada kemeja formal, celana formal, celana jeans, kaus-kaus kasual, celana kargo baik panjang maupun tanggung, celana santai, beberapa helai kaus dalam, bahkan satu lusin celana boxer untuk dalaman, “Ini...buat aku semua?” Tanyanya terharu, ia terenyuh dengan perhatian gadis itu.
“Iya lah, masa buat tukang batagor? Kamu pasti butuh baju ganti kan, apalagi kalau mau keluar rumah, harus menyesuaikan zaman lah. Kamu mau disangka orang aneh?” Akasia menjelaskan inisiatifnya, “Nggak usah terlalu terharu, itu semua pakai uang ayahku kok. Aku memang mau habis-habisin uangnya, supaya ayahku rugi bandar dan cepat bangkrut.”
“Buseet...anak macam apa ini?” Adrian menggeleng-geleng sambil menahan tawanya.
“Anak setan!” Jawab Akasia asal sambil tertawa,
“Aku juga beliin kamu dompet yang tentunya sudah kuisi money money money!” Ia memberi dompet pria yang baru dibelinya ke pria pirang di dekatnya, tampak tebal karena diselipkan uang di dalamnya, “Baik kan aku?”
“Terima kasih Paduka Ratu, hamba akan berusaha keras membalas kebaikan Paduka!” Adrian memainkan perannya lagi, “Meski...hamba tertegun Paduka tahu ukuran hamba,” ia memperlihatkan dua pack underwear pria yang dibelikan gadis itu tadi, berniat menggodanya.
Sebuah gebukan keras dilayangkan Akasia kepada pemuda di sampingnya itu tanpa ampun karena membuat mukanya bersemu merah dan malu.
semangat /Good/