Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Hening itu menusuk, seolah jarum-jarum kecil menembus kulit dan hati mereka. Tangis Anya masih terisak, sementara Andara tetap menggenggam tangannya erat, seolah ingin meminjamkan kekuatan. Adrian berdiri beberapa langkah darinya, wajahnya penuh luka dan harapan yang bertarung dalam satu garis tipis.
Anya ingin berteriak, ingin marah, ingin memaki namun justru yang keluar hanya tangisan. Tangisan yang tak lagi bisa ia bendung sejak kebenaran itu akhirnya tersingkap.
“Aku… aku lelah…” suara Anya serak, hampir hilang ditelan malam. “Kau datang dengan nama lain, dengan wajah yang sama… lalu tiba-tiba semua rahasia ini pecah di hadapanku. Kau pikir hatiku semudah itu menerima?”
Adrian menutup mata rapat-rapat, rahangnya menegang. “Tidak, Anya. Aku tidak pernah mengira ini mudah. Justru itulah… aku takut. Takut kau pergi lagi dariku.”
Andara menoleh pada kakaknya, lalu pada Anya. Gadis itu menghela napas panjang. “Kak, biarkan aku bicara dengan Anya sebentar.”
Adrian menatap adiknya, ragu. Tapi akhirnya ia mengangguk, lalu mundur ke kursi di pojok, membiarkan dua perempuan itu berdiri di bawah cahaya lampu redup kafe.
Andara kembali menatap Anya. “Aku tahu kau sakit hati. Kalau aku jadi kau, mungkin aku juga akan marah, merasa ditipu. Tapi aku melihat sesuatu yang mungkin kau abaikan ketulusan Kak Adrian.”
Anya menggeleng cepat, air matanya kembali mengalir. “Ketulusan? Menyamar, berbohong, menyembunyikan identitas… itu bukan ketulusan, Andara.”
“Lalu apa namanya seseorang yang menolak semua kenyamanan dunia hanya untuk bisa dekat dengan orang yang dia cintai?” balas Andara lembut. “Kak Adrian bisa saja datang dengan segala statusnya, memperlihatkan kekuasaan keluarga, dan memaksa dirimu menerima. Tapi dia memilih jalan yang penuh risiko, demi memastikan cintamu murni. Itu bukan bohong, Anya. Itu pengorbanan.”
Anya terdiam. Kata-kata itu menusuk, membelah antara luka dan kerinduan yang terus ia simpan.
“Sejak kecil,” lanjut Andara, suaranya lirih, “Kak Adrian selalu menutup diri. Semua orang melihatnya sebagai pewaris dingin, keras, penuh ambisi. Tapi aku tahu sisi lain yang dia sembunyikan. Sisi itu hanya muncul… saat dia menyebut namamu.”
Anya menoleh, menatap Andara dengan mata merah sembab. “Aku tidak pernah sadar… kalau aku sepenting itu baginya.”
Andara tersenyum getir. “Bahkan aku sempat cemburu padamu, kak Anya. Aku adiknya sendiri, tapi tidak pernah mampu membuatnya tertawa lepas seperti saat ia mengingatmu. Kau tidak tahu betapa dalam cintanya.”
Suasana hening kembali menyelimuti mereka. Anya mengusap air matanya, mencoba menata napas yang tercekat. Pandangannya jatuh pada kalung bintang di tangannya. Benda kecil itu kini terasa seperti rantai yang mengikat hatinya dengan masa lalu, dengan janji, dengan luka.
---
Adrian akhirnya kembali mendekat. Wajahnya pucat, matanya penuh keraguan. “Anya…”
Anya mengangkat kepalanya, menatapnya lurus. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Hati ini terbelah dua. Antara ingin percaya… dan ingin lari sejauh mungkin darimu.”
Adrian mendekat satu langkah lagi, suaranya bergetar. “Kalau kau ingin lari… larilah. Tapi izinkan aku tetap berjalan di belakangmu, meski hanya jadi bayangan. Karena aku tidak sanggup lagi hidup tanpamu.”
Anya terdiam lama. Kata-kata itu membuat dadanya sesak, seperti ada ribuan duri menancap bersamaan. Ia ingin menolak, tapi tubuhnya lemah, seolah semua tenaga tersedot oleh perasaan yang bergejolak.
Akhirnya ia hanya berkata pelan, “Berikan aku waktu, Adrian. Itu saja yang kuminta. Jangan paksa aku memutuskan sekarang.”
Adrian menunduk dalam, menerima keputusan itu. “Aku akan menunggu. Selamanya pun, kalau perlu.”
---
Hari-Hari yang Berubah
Sejak malam itu, segalanya berubah. Adrian tetap datang ke kafe, duduk di pojok yang sama, selalu menatap Anya dengan tatapan yang tak pernah bergeser. Ia tidak lagi mencoba berbicara banyak, tidak memaksa. Ia hanya ada di sana seperti janji yang ia ucapkan.
Andara juga sering ikut, kadang menemani Anya berbincang singkat. Kehadiran gadis itu perlahan meluluhkan dinding keras di hati Anya. Ia tahu Andara tidak punya alasan untuk berbohong. Justru kejujurannya membuat Anya mulai merasakan sesuatu yang dulu ia tolak: ketenangan.
Namun luka tetap ada. Setiap kali Adrian menatapnya, Anya merasakan perih. Ia belum bisa melupakan fakta bahwa ia pernah ditipu. Tapi bersamaan dengan itu, ada detak hangat yang tak bisa ia abaikan.
Suatu sore, saat kafe sepi, Andara membantu Anya membereskan meja. Gadis itu tiba-tiba bertanya pelan, “Kau mencintai Kak Adrian, kan?”
Anya tertegun, wajahnya memerah. “Aku… aku tidak tahu. Cinta itu… rumit.”
Andara tersenyum. “Kadang hati kita lebih tahu daripada logika. Kakak hanya perlu berani mendengarkannya.”
Kalimat itu terus terngiang di telinga Anya hingga malam.
Malam itu, Anya duduk di ranjang kecilnya, kalung bintang tergenggam erat. Ia menatapnya lama, air mata jatuh satu per satu.
“Kenapa harus aku, Adrian? Kenapa kau membuatku jadi pusat dari semua ini? Aku hanya gadis biasa…” gumamnya.
Namun di dalam hatinya, ia tahu jawaban yang tidak ingin ia akui: karena ia juga mulai mencintai Adrian. Cinta itu tidak pernah hilang,
Hari-hari berikutnya menjadi ujian bagi Anya. Setiap kali melihat Adrian duduk di pojok kafe, hatinya berdegup kencang. Setiap kali Andara tersenyum padanya, ia merasa sedikit lebih tenang.
----
Suatu malam hujan deras mengguyur kota. Kafe hampir kosong, hanya tersisa Adrian yang duduk di pojok seperti biasa. Anya membereskan meja, lalu tiba-tiba lampu mati karena petir. Suasana gelap, hanya diterangi cahaya kilat sesekali.
Anya panik, tapi Adrian segera mendekat, menyalakan senter dari ponselnya. “Tenang, aku di sini.”
Degup jantung Anya tak terkendali. Dalam gelap itu, kehadiran Adrian terasa begitu dekat, begitu nyata. Seperti dulu, saat mereka kecil saling melindungi.
Air mata tiba-tiba mengalir tanpa bisa dicegah. “Aku benci kau, Adrian… tapi aku juga benci diriku sendiri karena mencintaimu.”
Adrian tertegun, lalu perlahan menggenggam tangannya. “Kalau begitu… biarkan aku menebus semua kebodohanku. Jangan menyerah pada kita, Anya.”
Tangis Anya pecah, kali ini bukan karena luka, tapi karena beban yang akhirnya sedikit terangkat.
Malam itu, di tengah hujan dan gelap, mereka berdua saling menggenggam—bukan sebagai musuh, bukan sebagai orang asing, tapi sebagai dua hati yang masih saling mencari.
Bersambung
lgian,ngpn msti tkut sm tu nnek shir....
kcuali kl ada rhsia d antara klian....🤔🤔🤔