CERITA UNTUK ***++
Velove, perempuan muda yang memiliki kelainan pada tubuhnya yang dimana dia bisa mengeluarkan ASl. Awalnya dia tidak ingin memberitahu hal ini pada siapapun, tapi ternyata Dimas yang tidak lain adalah atasannya di kantor mengetahuinya.
Atasannya itu memberikan tawaran yang menarik untuk Velove asalkan perempuan itu mau menuruti keinginan Dimas. Velove yang sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan sang Ibu di kampung akhirnya menerima penawaran dari sang atasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Keesokan harinya, Velove bangun lebih awal karena sekarang dia memiliki kegiatan tambahan yaitu memompa ASl-nya sebelum berangkat ke kantor. Untungnya kemarin sore setelah Dimas mengantarkannya pulang ke kostan, tidak lama dari itu Velove bisa langsung tertidur di atas kasurnya sampai pagi hari.
Mungkin perempuan itu terlalu lelah setelah seharian tubuhnya dikuasai penuh oleh sang atasan dan pada pagi harinya, entah kenapa Velove merasa badannya menjadi lebih ringan dari sebelumnya.
Jam makan siang nanti dia sudah memiliki rencana untuk pergi ke rumah sakit, tentu saja bersama dengan Dimas karena lelaki itu yang kekeh tetap ingin ikut bersamanya ke sana.
Setelah selesai memompa ASl-nya yang ternyata masih saja keluar cukup banyak, Velove langsung menyiapkan keperluan lainnya dan setelah itu dia langsung berangkat pergi ke kantor agar tidak kesiangan.
Sedangkan di tempat lain, di dalam mobilnya, Dimas menampilkan seringai licik di wajahnya seraya menatap sebuah obat yang ada di tangannya. Obat yang sedang di pegang lelaki itu adalah obat pelancar dan penambah ASl, entah apa yang akan lelaki itu lakukan nantinya. Setelah itu dia kembali melajukan kuda besinya untuk membelah jalanan menuju ke kantor.
Tidak butuh waktu lama untuk lelaki itu sampai di kantor miliknya, begitu sampai di langsung ke lobby dan di sanalah dia menangkap sosok sang sekretaris yang baru saja datang sama sepertinya.
"Selamat pagi, Pak." Sebagai sikap profesionalnya Velove tetap memberikan sapaan pada lelaki itu.
"Pagi." Balas Dimas dengan singkat.
Biasanya Dimas tidak membalas sapaan dari Velove walau hanya sekedar membalasnya dengan satu kata, lelaki itu biasanya akan melengos pergi begitu saja, tapi pagi ini nampaknya berbeda. Keduanya berjalan menuju lift dan tentu saja Velove berjalan di belakang lelaki itu seperti biasa.
Begitu sampai di lantai ruang kerja mereka berdua, Dimas dan juga Velove segera keluar dari dalam sana, berjalan pada lorong menuju ke ruangan masing-masing.
"Siang nanti saya tunggu di basemen." Dimas membuka suara ketika keduanya hendak berpisah karena ruang kerja milik lelaki itu melewati kubikel Velove, untungnya saja karyawan yang lain belum begitu banyak yang datang, jadi Velove tidak terlalu khawatir jika ada yang mendengarnya.
"Baik, Pak." Balas Velove dengan raut wajah yang pasrah.
Mau menolak dengan cara apapun jika lelaki itu sudah kekeh untuk ikut, Dimas pasti akan melakukan cara apapun agar dia bisa ikut pergi ke rumah sakit dengan Velove jam makan siang nanti.
***
Jam makan siang sudah tiba, kini Velove sedang berjalan menuju basemen dimana mobil milik atasannya itu terparkir. Perempuan itu sudah tahu letak Dimas biasa memarkirkan mobilnya di sebelah mana, jadi begitu menangkap keberadaan mobil hitam milik sang atasan, Velove langsung menghampirinya dan masuk ke dalam mobil hitam tersebut.
"Di rumah sakit mana?" Dimas bertanya begitu Velove baru saja masuk ke dalam mobil.
"Rumah sakit Harapan Kita, Pak." Balas Velove seraya memasang sabuk pengamannya.
Setelah itu Dimas segera melajukan mobilnya untuk keluar dari area basemen dan masuk ke jalan raya. Velove waktu itu sengaja memilih Rumah Sakit Harapan Kita karena jaraknya tidak begitu jauh dari kantor tempat dirinya bekerja.
Maka dari itu, tidak sampai setengah jam keduanya sudah sampai di parkiran rumah sakit.
Begitu mobil itu terparkir, Velove lantas melepas sabuk pengaman yang melekat di tubuhnya. "Pak Dimas tunggu di sini aja ya? Saya cuma sebentar, cuma ambil hasil lab aja." Ucapan Velove itu dibalas dengan sebuah anggukan oleh Dimas.
Perempuan itu kemudian keluar dari dalam mobil dam masuk ke dalam rumah sakit, menanyakan ke resepsionis di mana ruangan jika ingin mengambil hasil lab pemeriksaan dan kemudian dia diarahkan untuk masuk ke dalam ruangan milik Dokter Tias.
"Permisi, Dok." Ucap Velove seraya mengetuk pintu ruangan yang sedikit terbuka itu.
"Masuk."
Begitu mendapat jawaban dari dalam, Velove segera masuk ke dalam ruangan itu dengan perasaan gugup. Dia takut jika hasil lab pemeriksaannya ternyata menunjukan penyakit yang serius pada tubuhnya.
"Saya Velove, mau ambil hasil lab hari jumat kemarin." Perempuan itu mengatakan maksud dan tujuannya.
"Oh, Mbak Velove." Ucap sang Dokter seraya mencari sesuatu di dalam lacinya, tidak lama dari itu sesuatu yang dia cari akhirnya dia temukan, itu adalah sebuah amplop.
Dokter Tias membuka amplop itu, lalu mengambil selembaran kertas dari dalam sana dan menjelaskan hasil dari pemeriksaan pada Velove. "Setelah pemeriksaan yang anda lakukan pada hari jumat, hasilnya menunjukan jika anda tidak memiliki masalah serius."
Velove di tempatnya dapat bernapas lega mendengar hal itu, seakan semua beban yang dari tadi menumpuk di bahunya kini sudah hilang entah kemana. Perempuan itu kembali mendengarkan dengan seksama penjelasan yang diberi sang Dokter.
"Yang Mbak Velove alami saat ini, itu adalah Galaktorea, dimana perempuan yang tidak hamil atau sedang mempunyai anak kecil bisa mengeluarkan cairan ASl." Lanjut Dokter Tias.
"Apa itu bahaya, Dok?" Tanya Velove dengan perasaan gugup di hatinya.
"Tidak, ini bukan penyakit yang berbahaya. Penyakit ini bisa sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, tapi dianjurkan untuk mengonsumsi obat agar proses penyembuhannya lebih cepat.”
Lagi-lagi ucapan sang Dokter mampu membuat perasaan Velove lebih tenang dari sebelumnya, dari hari pertama mendapati keanehan pada dirinya, Velove sudah berpikiran hal yang macam-macam.
Dokter Tias kembali memasukan selembaran kertas itu ke dalam amplop dan meraih kertas lain di atas mejanya. "Saya sudah resepkan obat yang bisa Mbak tebus di depan, jika Mbak Velove memiliki keluhan lain nantinya bisa datang kembali ke sini." Ucap sang Dokter seraya menyerahkan amplop dan juga resep obat pada Velove yang diterima oleh perempuan itu.
"Terima kasih banyak, Dokter. Kalo gitu saya izin pamit, sekali lagi terima kasih." Ucap Velove dengan senyuman tipis di wajahnya seraya beranjak berdiri dari tempat duduknya.
Perempuan itu kemudian keluar dari ruangan itu dengan perasaan yang lebih baik. Tidak ingin membuat Dimas menunggu lama di dalam mobil, Velove segera menuju ke tempat penebusan obat dan memberikan kertas resep obat yang diberikan oleh Dokter Tias tadi, Velove disuruh menunggu sebentar di kursi tunggu, tapi tidak sampai sepuluh menit dia sudah kembali dipanggil untuk menerima obat yang dibungkus dengan plastik putih.
Begitu sudah mendapatkan obat yang diresepkan oleh Dokter Tias, perempuan itu langsung keluar dari bangunan rumah sakit itu dan membawa langkahnya untuk menghampiri mobil hitam milik Dimas yang berada di parkiran rumah sakit.
Velove langsung masuk ke dalam mobil itu, begitu dia duduk, dia langsung menghela napasnya lega. Hal itu membuat Dimas mengalihkan atensi sepenuhnya pada sang sekretaris.
"Gimana hasilnya?" Tanya Dimas dengan penasaran.
"Hasilnya nggak buruk, Pak. Hanya sakit ringan yang bisa sembuh tanpa obat, tapi lebih bagus lagi kalo pake obat." Velove terlalu malu jika menjelaskan secara detail pada lelaki itu.
Dimas yang mendengarnya hanya mengangguk paham dan kemudian lelaki itu mulai menyalakan mesin mobilnya, lalu melajukan mobil itu untuk keluar dari area rumah sakit.
"Nanti kamu turun di Restoran dekat kantor ya, take away aja makanannya. Kita makan siang di kantor."
"Baik, Pak."
Beberapa menit kemudian Dimas membelokan mobil miliknya untuk masuk ke area parkir restoran yang dia maksud tadi. Lelaki itu kemudian mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang dari dalam sana.
"Makanan saya samain aja sama yang punya kamu." Ucap Dimas seraya menyerahkan beberapa lembar uang tadi pada Velove.
Velove menerima lembaran uang yang disodorkan oleh Dimas. "Baik, tunggu sebentar Pak."
Perempuan itu kemudian keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam ruangan itu hanya dengan membawa ponsel dan beberapa lembar uang yang Dimas berikan tadi, tas dan juga obat dari rumah sakit tadi dia tinggalkan di dalam mobil.
Dimas menampilkan seringainya saat tahu kalau rencananya berjalan dengan mulus, dengan seringai licik di wajahnya, lelaki itu mengeluarkan obat yang dia dapat tadi pagi dari dalam kantong jasnya dan segera menukar obat tersebut dengan obat yang ada di plastik putih milik Velove sebelum perempuan itu datang.
Untungnya saja dia tidak salah dalam memilih obat, karena bentuknya sama-sama tablet dan kemasannya pun mirip.
Lelaki itu kembali meletakan plastik berisi obat yang sudah ditukar olehnya itu ke tempat semula, kemudian Dimas memilih untuk keluar dari dalam mobil, membawa langkah kakinya ke tempat sampah yang ada di sana, lalu dia membuang obat yang Velove dapat dari rumah sakit tadi ke dalam sana.
Setelahnya, Dimas kembali masuk ke dalam mobil dan bertingkah seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Tidak lama dari itu Velove terlihat sudah keluar dari dalam restoran dengan membawa paperbag berisi makan siang untuk keduanya.
Perempuan itu kemudian kembali masuk ke dalam mobil tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun terhadap sang atasan. Setelah Velove memakai sabuk pengamannya, Dimas kembali melajukan kuda besinya itu menuju ke arah kantor.
“Setelah makan nanti, obatnya langsung kamu minum.” Ucap Dimas tiba-tiba yang membuat Velove menoleh ke arah lelaki itu.
“Iya, nanti obatnya langsung saya minum selesai makan.” Balas Velove dengan anggukan di kepalanya.
Velove tidak ingin ambil pusing dengan perubahan sikap Dimas yang tiba-tiba menjadi perhatian seperti ini padanya, mungkin saja ini balasan dari lelaki itu karena kemarin sudah mengurung sang sekretaris di apartemennya seharian.
“Tawaran saya kemarin, jangan lupa kamu pertimbangkan kembali.” Ucap Dimas yang fokus mengendarai mobilnya.
Mendengar ucapan dari sang atasan, ingat Velove kembali pada kejadian kemarin. Atasannya itu memberikan tawaran yang cukup menarik untuknya, tapi dia tidak bisa jika harus menerimanya.
Tidak lama dari itu, keduanya sudah sampai di kantor dan mereka sama-sama naik ke lantai yang dituju menggunakan lift, lalu begitu sampai di lantai di mana ruangan mereka berada, keduanya berpisah. Sesampainya di kubikel miliknya, Velove membuka makan siang yang tadi dia beli menggunakan uang Dimas di Restoran.
Perempuan itu makan sambil mengerjakan beberapa file di laptopnya, sebelum kemudian sebuah suara terdengar dari sebelah kubikelnya.
“Tadi abis dari mana sama Pak Dimas?”
Pertanyaan tiba-tiba dari Naomi membuat Velove tersedak dan batuk-batuk. “Uhukk! Uhuk!”
“Ya ampun, Vel! Pelan-pelan.” Ucao Naomi sambil menyodorkan minum pada teman kerjanya itu.
Velove menerima minuman yang Naomi sodorkan padanya dan segera meminumnya, mata perempuan itu menjadi memerah karena menahan perih. Barulah saat tenggorokannya tersiram air, dia sudah menjadi lebih baik.
“Naomi!!! Kamu ngagetin aku.” Gerutunya.
“Siapa yang ngagetin? Orang aku cuma nanya biasa aja, kamunya aja yang terlalu fokus.”
Mendengar perkataan dari Naomi membuat Velove mendengus. “Tadi kamu nanya apa?”
“Kamu tadi keluar sama Pak Dimas abis dari mana?” Naomi mengulangi pertanyaannya.
Velove terdiam sejenak di tempatnya, tidak langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Naomi. Dia tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada teman kerjanya itu, apalagi ini diluar urusan kantor.
“O—oh itu… itu tadi Pak Dimas ada pertemuan dadakan dan nyuruh aku buat ikut.” Velove berharap Naomi tidak melanjutkan pertanyaannya.
“Oh, aku kira abis pacaran kalian berdua.” Goda Naomi yang lagi-lagi membuat Velove mendengus.
“Mana ada aku pacaran sama dia, mending jomblo sekalian dari pada tiap hari harus emosi, yang ada malah kena tekanan batin.”
“Jangan gitu lah, Vel. Jodoh kan nggak ada yang tahu, siapa tahu kamu jodohnya Pak Dimas hahahhaha.” Naomi di tempatnya tertawa mengejek.
Malas untuk meladeni teman kerjanya, Velove memilih untuk kembali fokus pada laptopnya dan sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya. Meladeni ejekan dari Naomi hanya menghabiskan tenaganya saja. Di tengah kegiatannya, tiba-tiba ponsel milik Velove yang ada di atas meja berdering.
Tringg… tring…
Velove segera meraih benda pipih itu dan melihat siapa yang menelponnya, nama sang adik tertera di sana membuat perempuan itu mengernyitkan keningnya, lantas Velove segera mengangkat panggilan itu.
“Halo, Ze? Ada apa telepon kakak?”
“Hikss… hiks!” Bukannya sebuah jawaban yang Velove dengar, perempuan itu malah hanya mendengar isak tangis dari seberang sana.
Perempuan itu lantas segera beranjak dari tempat duduknya, tindakan tiba-tiba dari Velove tentu membuat Naomi yang ada di sampingnya terperanjat kaget sekaligus bingung. Velove membawa langkah kakinya ke tempat yang lebih sepi.
“Zea? Kamu kenapa Ze? Kenapa kamu nangis?” Dengan perasaan panik Velove melontarkan pertanyaan itu.
“Hiks… I—ibu kak…”
“Ibu kenapa? Zea kamu yang tenang dulu, ceritain sama kakak.” Saat ini perasaan Velove sudah berubah menjadi tidak enak.
“Ibu… ibu masuk rumah sakit kak. Hikss… ibu divonis gagal ginjal dan dokter nyaranin buat ambil tindakan operasi.” Zea menjeda sebentar kalimatnya sambil terus sesengukan. “Tapi biayanya mahal banget kak.”
Bagai disambar petir di siang bolong, Velove terdiam kaku di tempatnya. Tanpa perempuan itu sadari setetes cairan hangat sudah membasahi kulit pipinya, pandangannya memburam.
“Ya Tuhan Ze, sekarang kondisi Ibu kayak gimana? Apa kamu tahu berapa biaya yang dibutuhin buat operasinya?”
“Ibu masih ditangani sama dokter, tadi aku sempet nanya sama dokternya, biayanya kurang lebih 500 juta kak.”
Mendengar nominal sebesar itu membuat Velove lemas seketika, dimana dia harus mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat? Bahkan tabungannya saja tidak sampai setengahnya.
“Kamu jagain Ibu ya, soal biaya kakak bakalan cari secepetnya dan kalo udah dapet kakak bakalan langsung kirim ke kampung. Tolong terus jagain Ibu, Ze.”
“Tapi kakak nggak mungkin dapet uang sebanyak itu dalam waktu dekat, apa kita jual aja rumah peninggalan Bapak?” Tanya Zea dari seberang sana.
“Jangan, itu peninggalan dari Bapak satu-satunya. Kamu tenang aja, kakak pasti bakalan dapetin uangnya.”
“Kak… kalo kakak nggak bisa, jangan terlalu dipaksa ya?”
“Zea, tugas kamu sekarang cuma jagain ibu. Soal biaya biar itu jadi tanggung jawab kakak.” Velove mencoba untuk meyakinkan sang adik.
“Kalo gitu kakak tutup dulu telponnya ya? Kakak masih ada jam kerja beberapa jam lagi, kamu kabarin kakak kalo ada apa-apa sama Ibu.” Lanjut Velove.
“Iya kak, aku di sini jagain Ibu.”
Setelah itu panggilan keduanya terputus, menyisakan Velove yang berurai air mata serta tubuhnya yang lemas. Mendengar kenyataan sang Ibu tengah melawan sakit keras seakan memberi hantaman kuat di dada perempuan itu, hanya Ibunya lah harapan dia satu-satunya setelah kepergian Bapaknya.
Tapi bagaimana dia mendapatkan uang sebanyak 500 juta dalam waktu dekat? Meminjam ke bank pun pasti tidak akan berhasil dengan jumlah yang sebesar itu. Lantas kemana dia harus mencarinya?
Dimas.
Satu nama itu terlintas di kelapanya.
Apakah atasannya itu bisa membantu dirinya saat ini?
—————————————————
Ini emang ada yang namanya penyakit Galaktorea dimana perempuan yang nggak lagi hamil atau yang lagi menyusui bisa menghasilkan ASl, jadi ceritanya bukan yang ngasal banget gitu yang nggak mungkin jadi dibikin mungkin.
Selamat membaca! Semoga suka sama ceritanya!