Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Garis Pertahanan
Harvey menatap layar ponselnya untuk kesekian kali malam itu. Pesan dari Rey yang terkesan basa-basi terasa aneh. Bukan gaya Rey biasanya.
Ia melirik ke arah Xanara yang sedang membenarkan sketsa di meja kerja butiknya. Cahaya lampu kuning menerangi wajah wanita itu, membuatnya terlihat begitu fokus, cantik, dan membuat Harvey semakin protektif.
“Sayang,” Harvey memanggil pelan, suaranya datar tapi sarat makna.
“Hm?” Xanara menoleh.
“Kamu akhir-akhir ini ada ketemu Rey?” tanya Harvey tanpa basa-basi.
Xanara mengernyit.
“Gak, dia cuma pernah datang waktu kamu gak ada, itu pun cuma sebentar. Kenapa?”
Harvey berdiri, mendekat, lalu menumpukan kedua tangannya di sisi meja kerja Xanara, memerangkapnya dalam jarak yang terlalu dekat untuk sekadar berbicara.
“Karena dia muter-muter, nyari cara buat dekat sama kamu. Dan aku curiga dia pakai Winny buat masuk.”
Xanara menghela napas pendek.
“Jadi kamu mau aku apa? Menghindar?”
“Bukan.” Harvey menatap dalam, tatapannya nyaris seperti ancaman lembut.
“Aku mau kamu waspada. Dia bukan tipe orang yang berhenti kalau udah mau sesuatu.”
Ada nada dingin di suara Harvey yang membuat Xanara sedikit terdiam. Tapi di saat yang sama, ada getaran berbeda seperti rasa takut kehilangan.
“Kalau dia berani sentuh kamu” Harvey menunduk, berbisik tepat di telinga Xanara
"Aku gak akan cuma bicara.”
Xanara merasakan jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena kata-kata itu, tapi juga karena Harvey tak segera menjauh. Ada intensitas yang membungkus mereka malam itu, campuran proteksi, kepemilikan, dan gairah yang tak terucap.
Di luar, hujan mulai turun. Dan di dalam, Harvey sudah memutuskan satu hal, Rey harus dijauhkan dari Xanara, dengan cara apa pun.
Hujan di luar makin deras, mengetuk-ngetuk jendela seperti ingin ikut menyaksikan ketegangan di dalam ruangan. Harvey belum melepaskan posisi, masih memerangkap Xanara di antara tubuhnya dan meja kerja.
“Harvey” Xanara mencoba memanggilnya, tapi suara itu terdengar lebih seperti bisikan.
“Aku serius, sayang” ucap Harvey sambil menatap matanya, nadanya berat dan tegas.
“Rey mungkin terlihat santai, tapi dia punya cara licik buat dapat apa yang dia mau. Dan aku gak mau kamu jadi target permainannya.”
Xanara tersenyum tipis, sedikit menantang.
“Kamu pikir aku nggak bisa jaga diri?”
Harvey membalas senyum itu, tapi matanya tetap tajam.
“Aku tahu kamu bisa. Tapi aku gaj mau kasih dia kesempatan sedikit pun. Dia udah mulai merancang langkahnya, aku bisa lihat dari caranya bicara ke aku dan ke Winny.”
Xanara mengangkat alis.
“Ke Winny?”
Harvey mengangguk.
“Mereka main satu lingkaran, tapi aku rasa Rey gak sepenuhnya terbuka sama Winny. Ada bagian dari rencananya yang dia simpan buat dirinya sendiri. Dan aku curiga bagian itu tentang kamu.”
Suara hujan yang menenangkan justru membuat intensitas di antara mereka terasa makin pekat. Harvey kemudian mengusap rahang Xanara dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh klaim.
“Kalau sampai dia nekat, aku akan pastikan dia menyesal.”
Xanara menatapnya, ada perpaduan rasa terharu, kagum, sekaligus panas yang menjalar. Ia tahu Harvey bukan sekadar bicara lelaki itu akan benar-benar melakukannya.
Harvey lalu sedikit condong ke depan, suaranya menurun menjadi nada rendah yang nyaris seperti ancaman intim.
“Mulai sekarang, kamu selalu kabarin aku kalau dia datang. Jangan kasih dia celah.”
Xanara hanya mengangguk pelan, dan Harvey dengan tatapan puas akhirnya mundur setengah langkah, tapi tetap berdiri di dekatnya, seakan enggan terlalu jauh.
Di dalam hati Harvey, satu keputusan bulat sudah diambil jika Rey mencoba bermain api, maka dia sendiri yang akan memadamkannya, bahkan kalau harus membuat Rey terbakar habis.
Ketika Harvey pergi untuk menghadiri rapat singkat melalui panggilan vidio, Xanara kembali duduk di kursinya, mencoba mengalihkan pikiran dengan sketsa yang tertunda. Namun, ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh.
Dan di sana, Rey berdiri. Senyumannya tipis, tapi tatapannya penuh maksud.
“Aku kebetulan lewat,” ucap Rey santai sambil melangkah masuk tanpa menunggu izin.
“Pikir mau mampir sebentar, lihat kamu.”
Xanara menahan napas, tapi tetap menjaga ekspresinya tenang.
“Kalau ada urusan, bisa lewat asistenku.”
“Urusannya kamu,” balas Rey, melangkah lebih dekat.
“Kita jarang bicara empat mata. Aku penasaran seperti apa orang yang bisa bikin Harvey kehilangan fokus.”
Nada bicaranya terdengar seperti godaan, tapi sorot matanya menghitung, menganalisis. Rey berhenti tepat di depan meja Xanara, cukup dekat untuk merasakan aroma parfumnya.
Xanara memutar kursinya, menatapnya lurus.
“Kalau kamu mau coba-coba main seperti yang kamu lakukan dengan Winny, aku sarankan berhenti di sini. Aku bukan perempuan yang bisa dipermainkan.”
Rey tersenyum miring.
“Siapa bilang aku mau mempermainkanmu? Aku cuma penasaran kalau saja kita bertemu lebih dulu, apa yang akan terjadi.”
Xanara tidak bergeming.
“Yang terjadi? Kamu akan pulang dengan tangan kosong.”
Jawaban itu membuat Rey tertawa kecil, tapi ada sesuatu di matanya sebuah pengakuan bahwa ia sedikit terpesona. Ia mencondongkan tubuh, mencoba menekan batas pribadi, namun Xanara justru berdiri, jaraknya kini hanya beberapa sentimeter darinya.
“Rey,” kata Xanara dengan nada datar namun menusuk.
“Aku tidak tertarik. Dan mulai sekarang, jangan pernah datang tanpa alasan bisnis yang jelas.”
Rey menatapnya lama, lalu mengangkat kedua tangan pura-pura menyerah. “Baiklah, anggap ini peringatan pertamaku.”
Tapi sebelum keluar, ia sempat menoleh, memberi tatapan terakhir yang menyiratkan jika ini belum selesai.
Dan benar saja, di koridor, ia bertemu Harvey. Tatapan keduanya terkunci Rey tersenyum penuh tantangan, Harvey membalas dengan tatapan dingin yang nyaris mematikan.
Pertarungan yang lebih besar baru saja dimulai.