NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:25.7k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terobosan Core Formation

Api unggun berderak perlahan, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menari di wajah Xu Hao dan Ling’er. Langit malam kian sunyi, hanya sesekali terdengar suara serangga dari kegelapan hutan. Xu Hao menatap nyala api yang berputar seolah menelan ranting-ranting kering, lalu dengan suara pelan ia berkata, “Jika aku memutuskan untuk menapaki jalan itu, meskipun berarti harus melawan surga… aku tidak akan menyesal.”

Namun sebelum semangat itu bisa tumbuh lebih jauh, suara lembut Ling’er menembus keheningan, nadanya tegas namun sarat kepedihan. “Kau… jangan lakukan itu. Menentang surga bukan hal yang baik. Mereka yang melawan langit hanya akan mendapati keburukan dalam hidupnya. Jalan itu penuh penderitaan. Kau mungkin kuat, tapi setiap langkahnya adalah taruhan nyawa. Aku tidak ingin kau berjalan di jalan yang akan menghancurkanmu sebelum waktunya.”

Xu Hao terdiam. Sorot matanya gelisah, namun ia mencoba menenangkan dirinya, menimbang kata-kata Ling’er dengan hati-hati. Api unggun terus membakar ranting, menambah keheningan yang terasa menekan.

Ling’er melanjutkan dengan suara lirih, “Aku bisa membantumu mendapatkan esensi jiwa murni. Tapi jangan gunakan itu sekarang untuk membentuk inti. Simpanlah. Gunakan hanya jika suatu hari nanti kultivasimu dihancurkan seseorang. Saat itu mungkin kau tidak memiliki pilihan lain, dan hanya jalan sesat itu yang tersisa untukmu. Biarkan itu menjadi jalan darurat, bukan pilihan utama.”

Xu Hao menoleh, wajahnya memancarkan keterkejutan bercampur heran. Ia menatap Ling’er lekat-lekat, lalu berkata dengan nada pelan, “Nona sangat memperhatikan aku. Apa alasannya di balik semua ini?”

Ling’er menunduk sedikit, bahunya naik turun halus, seakan menyembunyikan pergolakan dalam hatinya. Ia menghela napas panjang sebelum berkata, “Janji yang kuminta pada pria itu… ada hubungannya denganmu.”

Mata Xu Hao membelalak, jantungnya berdegup keras. “Bagaimana bisa? Apa yang kau minta darinya?”

Ling’er menundukkan kepalanya lebih dalam, suaranya berubah pelan, seakan sengaja menutup sebagian kebenaran. “Aku hanya… memintanya mengirim seorang pemuda kepadaku. Seseorang yang bisa kubimbing dalam kultivasi.”

Xu Hao tampak bingung. “Kenapa harus seorang pemuda?”

Ling’er menoleh, sorot matanya menatap Xu Hao dengan kedalaman yang sulit ditebak. Senyumnya samar, seperti menyembunyikan sesuatu yang tak dapat ia ungkapkan. “Karena… mungkin itu hanya takdir. Saat itu, tiba-tiba saja aku ingin seperti itu.”

Xu Hao menatap api unggun lagi, seolah mencari jawaban dalam kobaran yang berputar. “Jawaban yang aneh, penuh keanehan,” gumamnya.

Ling’er menghela napas panjang, matanya melunak. “Jika kau tidak ingin, itu tidak masalah. Tapi perlu kau ketahui, aku bisa membantumu menerobos ke ranah Core Formation dengan lancar, tanpa kegagalan sedikit pun.”

Xu Hao menoleh lagi, matanya memancarkan cahaya tekad. “Jika memang benar begitu, tentu saja aku tidak akan keberatan. Meskipun… aku masih menyimpan niat untuk membentuk inti spiritual dengan esensi jiwa.”

Ling’er menatapnya dengan tatapan lembut bercampur khawatir. “Kau ini... sebaiknya kau berjalan di jalan yang semestinya. Biarkan jalan sesat itu hanya menjadi pilihan terakhir. Aku akan menyimpan sebagian esensi jiwaku dalam tubuhmu. Jika suatu saat kultivasimu runtuh, kau masih bisa bangkit kembali… meskipun jalannya adalah jalan sesat.”

Xu Hao menatap Ling’er dengan tatapan tegas, lalu berkata singkat, “Jangan dibicarakan lagi. Nona sudah mengatakan hal itu sebelumnya.”

Ling’er menutup mulutnya, lalu mengangguk pelan. Senyumnya samar, tapi matanya masih menyimpan rasa yang sulit ditebak. “Kalau begitu, apa kau siap untuk proses penyaluran esensi jiwa? Proses ini akan memakan waktu setidaknya dua hari penuh.”

Xu Hao mengangkat wajahnya, matanya berkilat di bawah sinar api unggun. “Aku siap. Justru aku ingin segera melewati ini, agar aku bisa cepat menerobos ke Core Formation.”

Ling’er tersenyum tipis, suaranya lembut namun mengandung ketegasan yang halus. “Baiklah. Jika itu keputusanmu. Saat kau bersiap menerobos, aku akan mengarahkan mu sepenuh hati.”

Xu Hao menunduk sedikit, lalu berkata dengan tulus, “Terima kasih, nona.”

Ling’er menatapnya dengan pandangan yang lembut, senyumnya seolah bintang yang berpendar di tengah malam hutan. “Kau tidak perlu berterima kasih. Ini adalah jalanku juga.”

Cahaya api unggun menari di wajah keduanya, sementara langit malam semakin pekat dan bintang-bintang berkelip redup, seakan menjadi saksi awal mula ikatan takdir yang perlahan menjerat mereka.

Ling’er perlahan bangkit dari duduknya. Gaun merah mudanya yang terbuka di beberapa bagian tersibak lembut, mengikuti gerakan tubuhnya. Cahaya api unggun yang berpendar jatuh di lipatan kain itu, membuatnya tampak seolah dilingkupi cahaya dewi. Aroma manis yang selalu melekat pada dirinya semakin pekat, seakan memenuhi udara, memabukkan dan menggoyahkan hati Xu Hao.

Tatapan mata Ling’er menembus hati Xu Hao, penuh kelembutan sekaligus tekad yang tersembunyi. Dengan suara bening yang tenang namun berwibawa, ia berkata, “Berdirilah di hadapanku.”

Xu Hao menghela napas dalam-dalam, lalu bangkit dan berdiri tepat di depan Ling’er. Kedua mata mereka bertemu, seakan ada lapisan takdir yang sedang terbuka di antara mereka.

Ling’er mengulurkan kedua tangannya, jari-jarinya ramping bagaikan giok, lalu menyuruh Xu Hao menyatukan tangannya dengan miliknya. Xu Hao, meski hatinya dipenuhi keraguan, tetap menuruti tanpa bertanya. Saat telapak tangan mereka bertemu, seolah ada aliran hangat yang menembus dari tubuh Ling’er ke dalam dirinya.

Dengan suara pelan namun penuh tekanan, Ling’er berkata, “Selama proses penyaluran esensi jiwa, kau tidak boleh melawan. Biarkan hatimu terbuka, jangan ada penghalang. Jika hatimu tertutup, esensi ini akan menolak dan tubuhmu bisa hancur. Jadi bersiaplah.”

Xu Hao mengangguk pelan.

Saat itu, Ling’er melepaskan napas panjang, lalu dari tubuhnya memancar cahaya merah muda yang pekat. Qi khas wanita dari klan Serigala Mistik mulai membungkus keduanya. Kabut merah muda yang harum perlahan menyelimuti, begitu tebal hingga dunia luar seolah menghilang. Aroma manisnya menusuk sanubari Xu Hao, membuat wajahnya merah, pupil matanya bergetar lalu berubah menjadi merah muda samar, tanda bahwa ia sudah masuk dalam jalinan esensi jiwa Ling’er.

Ling’er melepaskan genggaman tangannya. Dengan lembut ia mengangkat jemari dan menyentuh pipi Xu Hao. Sentuhan itu membuat Xu Hao seakan terhenti, matanya kosong, tubuhnya tidak mampu menolak. Senyum Ling’er tipis namun penuh rasa bersalah.

“Maafkan aku, Xu Hao…,” bisiknya, suaranya nyaris patah. “Aku melakukan ini bukan hanya untukmu. Aku… aku membutuhkan keturunan berjiwa petarung murni, agar aku bisa membalaskan dendam orang tua dan seluruh klanku yang dibantai oleh Dewa Kuno dan para Buddha. Maafkan aku jika harus melakukannya tanpa seizin hatimu.”

Xu Hao hanya terdiam. Tatapannya kosong, seperti terikat oleh kabut merah muda itu.

Ling’er memeluknya erat, tubuhnya bergetar halus. “Namun, kau pun sudah bertemu pria itu. Bukankah itu artinya takdirmu memang telah digariskan? Kau membutuhkan terobosan dan esensi jiwa murni, sedangkan aku… aku membutuhkan penerus. Ini bukanlah kerugian bagi siapa pun, bukan?”

Xu Hao menatap Ling’er dengan mata yang masih kosong, seakan kehilangan kendali atas pikirannya.

Ling’er melanjutkan, suaranya semakin lirih, penuh kepedihan. “Aku malu, Xu Hao… sangat malu. Selama ini aku mencari pria yang bisa mencintaiku dengan tulus. Tapi dunia kultivasi penuh dengan tipu daya. Mereka semua hanya menginginkan garis keturunanku, ingin menjadikan tubuhku sebagai tungku peleburan. Tidak ada ketulusan di antara mereka. Karena itulah, ketika pria itu masuk ke Alam Rahasia, aku memohon agar ia mencarikan pemuda dengan jiwa petarung murni untukku. Dan kau… kau adalah jawabannya.”

Perlahan-lahan tubuh keduanya melayang lembut, pelukan Ling'er terlepas. Lalu kabut membentuk sebuah tangan, lalu melepaskan pakaian Xu Hao dan gaun merah muda Ling'er. Ling'er menatap Xu Hao dengan kekaguman namun penuh dengan rasa malu dan bersalah, Lalu Ling'er kembali memeluk Xu Hao dan berkata. "Kau masih sangat murni, begitu juga dengan ku yang masih suci. Aku berharap saat kau mengetahui ini dimasa depan, setidaknya jangan pernah membenci anak kita."

Kabut merah muda semakin padat, hingga api unggun di samping mereka padam seketika, tertelan oleh aura yang keluar dari tubuh Ling’er. Hutan yang tadinya sunyi kini seakan ikut tenggelam dalam suasana mistis. Aroma manis menjalar ke segala arah, bahkan pepohonan tampak berguncang pelan seperti ikut berdansa dalam kabut.

Di luar selimut kabut itu, alam memberi tanda. Dari kejauhan terdengar suara serupa jeritan lembut, bagai ratapan sekaligus nyanyian peri surgawi. Burung-burung berkicau bersahutan, merangkai melodi yang harmonis, seperti menyambut penyatuan dua takdir. Kelinci-kelinci kecil tampak berlarian di antara rerumputan, seakan memainkan teater cinta tentang seorang pangeran dan tuan putri.

Waktu berjalan tanpa terasa. Malam berubah menjadi pagi, lalu siang, lalu kembali malam. Alam seakan ikut larut dalam arus esensi, sementara kabut merah muda tidak juga menipis. Suara dua daging beradu terdengar samar, penuh harmoni seperti musik surgawi yang tak pernah berhenti.

Hari demi hari berlalu. Pada hari kelima, kabut merah muda perlahan mulai pudar, menghilang bersama aroma manis yang sebelumnya memenuhi hutan.

Di bawah pohon raksasa yang rindang, Xu Hao terbaring di atas hamparan bunga ungu, wajahnya tenang seolah tertidur lelap. Di sampingnya, Ling’er duduk dengan wajah pucat. Ia mengangkat tangannya yang lemah, mengelus pipi Xu Hao dengan lembut. Setetes air mata jatuh dari sudut matanya, membasahi kulit Xu Hao yang hangat.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ling’er yang kehilangan banyak tenaga perlahan rebah di sisi Xu Hao. Tubuhnya ikut tertidur, kelelahan setelah hari-hari panjang itu.

Di atas mereka, cahaya pagi menembus celah pepohonan, menyinari wajah dua insan yang kini berbaring berdampingan. Embusan angin lembut membawa aroma bunga ungu yang mekar, seakan dunia memberi mereka restu. Alam seolah berkata, “Tidurlah… untuk sementara, lupakan semua penderitaan.”

Sore harinya, sinar matahari yang keemasan menembus celah-celah dedaunan raksasa, menyinari hutan dengan warna tembaga yang hangat. Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga liar dan sisa kabut merah muda yang sudah menipis.

Xu Hao perlahan membuka matanya. Sekujur tubuhnya terasa ringan, namun di dalam dantiannya ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ada aliran energi yang murni, hangat dan berkilau, seperti sungai emas yang berputar di tengah perutnya. Energi itu bukan Qi, melainkan esensi jiwa yang lembut sekaligus tegas, seakan berdenyut mengikuti ritme kehidupannya.

Ia menatap kosong ke arah langit sore, lalu senyum tipis muncul di wajahnya. “Energi ini… berada tepat di tengah perutku. Jika aku membentuknya menjadi inti, aku bisa menerobos.” Ia bergumam pelan, namun bayangan wajah Ling’er terlintas dalam ingatannya. Kata-kata peringatannya menggema kembali. “Tapi… nona Ling’er mengingatkan agar aku tidak melalui jalan itu. Ah, sudahlah. Untuk saat ini, fokusku hanya satu, menerobos ke ranah Core Formation.”

Tangannya mengepal erat, matanya menatap ke cakrawala yang mulai temaram. “Tunggulah aku, ayah, ibu. Selangkah demi selangkah, aku akan menjadi jauh lebih kuat. Aku akan mencari pria berjubah hitam itu… dan menuntut balas dengan tanganku sendiri.”

Xu Hao kemudian menoleh, menyadari hutan sekitar mulai terasa asing dalam kesunyian. Ia mengerutkan kening. “Dimana nona Ling’er?”

Namun, sebelum ia bangkit, matanya menangkap sesuatu di sampingnya. Tubuh Ling’er yang anggun terbaring lelap, wajahnya pucat, kedua lengan terbuka lebar seakan merangkul langit. Gaun merah mudanya berantakan, membuat posisinya terlihat janggal namun tetap memancarkan pesona. Xu Hao menelan ludah tanpa sadar. “Apa semua wanita tidur seperti ini? Aneh sekali…” gumamnya sambil menepuk dahinya.

Dengan ragu ia mendekat, lalu menggoyangkan tubuh Ling’er pelan. “Nona… nona, bangunlah. Apa yang terjadi?”

Kelopak mata panjang Ling’er bergetar sebelum terbuka perlahan. Begitu sadar posisinya, ia buru-buru merapikan pakaiannya dengan wajah sedikit memerah, lalu duduk bersila di samping Xu Hao. Napasnya dalam, suaranya terdengar lembut tapi lemah. “Penyaluran esensi jiwa sudah selesai… ternyata memakan waktu lima hari. Lebih lama dari yang kubayangkan.”

Xu Hao menundukkan kepala, wajahnya penuh rasa hormat. “Aku berutang budi pada nona. Terima kasih sudah repot-repot membantu diriku.”

Mata Ling’er sempat tertegun, bergetar seakan tersentuh, namun ia cepat-cepat menenangkan diri. Bibirnya tersenyum tipis, meski ada rasa bersalah yang tersembunyi di baliknya. “Tidak perlu berterima kasih, dan tidak perlu merasa berutang budi.”

Xu Hao menggeleng. “Jika begitu, aku merasa tidak enak hati.”

Ling’er menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pembicaraan dengan suara yang sedikit lebih tegas. “Xu Hao… saat proses penyaluran esensi jiwa, aku sempat melihat sebagian memori ingatanmu. Orang yang membunuh ayah dan ibumu… dia sangat kuat. Aku tidak mengenalnya, tapi dari auranya, kemungkinan besar dia adalah kultivator dari Planet Tianxu ini. Kau bisa mencari informasi tentangnya sambil menjelajahi dunia ini.”

Xu Hao terdiam namun sorot matanya menunjukkan kelegaan, tubuhnya sedikit gemetar. Wajahnya kemudian menunduk dalam-dalam, hampir setengah bersujud. Suaranya berat, penuh emosi. “Meskipun aku membenci seseorang melihat ingatanku, namun karena informasi dari nona… aku sangat terbantu. Terima kasih, nona. Aku akan selalu mengingat kebaikanmu sepanjang hidupku.”

Mata Ling’er bergetar keras. Ia buru-buru meraih bahu Xu Hao, mengangkatnya dengan lembut. “Bangkitlah, Xu Hao. Kau tidak perlu merasa begitu. Aku membantumu karena ini takdir. Jadi jangan merendahkan diri seperti itu.”

Namun Xu Hao hanya menggeleng perlahan. “Tidak, nona. Biarkan aku membalas kebaikanmu di masa depan. Itu janji dari diriku sendiri.”

Ling’er tertegun. Ada kilatan halus di matanya, entah itu rasa haru atau getir. Akhirnya ia mengangguk pelan. “Baiklah… aku akan menerima balasan darimu di masa depan.”

Xu Hao menatapnya, senyum tulus muncul di wajahnya. “Kalau begitu, nona, aku ingin segera menerobos. Jika tidak keberatan, tolong bimbing aku.”

Ling’er menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Seperti yang kubilang sebelumnya… kau harus membentuk inti spiritual dengan Qi murni. Jangan gunakan esensi jiwa saat ini.”

“Aku mengerti, nona,” jawab Xu Hao mantap.

Ling’er lalu berdiri, gaun merah mudanya bergoyang tertiup angin sore. Ia menunjuk sebuah batu besar tak jauh dari sana. “Duduklah di sana. Batu itu cukup stabil untuk menahan pusaran energi saat kau menerobos.”

Xu Hao bangkit, berdiri tegak di samping Ling’er. Mereka berjalan perlahan menuju batu besar itu. Setiap langkah terasa berat, namun dipenuhi keyakinan.

Langit sore begitu tenang. Awan berarak pelan, sinar emas matahari membasuh hutan dengan cahaya damai. Angin berdesir lembut, seolah ikut menyambut perjalanan Xu Hao menuju langkah besar dalam jalan kultivasinya.

Xu Hao duduk bersila di atas batu besar yang dingin, tubuhnya tegak lurus bagaikan tombak kuno yang tertancap di bumi. Cahaya sore yang keemasan menyinari wajah mudanya, membuat sorot matanya terlihat semakin dalam meski kini tertutup rapat.

Ling’er berdiri di sampingnya, rambut hitam panjangnya bergoyang lembut tertiup angin. Suaranya pelan namun sarat ketegasan. “Ingat, jangan gunakan pil apapun. Qi di hutan ini sangat murni, bahkan lebih jernih daripada pegunungan spiritual di sekte besar. Kau tidak membutuhkan bantuan benda eksternal. Biarkan alam yang menuntunmu.”

Xu Hao mengangguk tanpa membuka mata. “Baiklah, nona.”

Ia mulai menarik napas panjang, mengatur ritme tubuhnya. Perlahan, udara di sekitarnya bergetar. Daun-daun berdesir, seakan seluruh hutan menundukkan diri pada proses sakral yang akan terjadi. Xu Hao membuka jalur meridiannya, membiarkan Qi alam dari segala penjuru mengalir masuk.

Dalam sekejap, tubuhnya seperti pusat pusaran. Kabut tipis spiritual di hutan mulai berkumpul. Dari tanah, air, dan udara, Qi alam tertarik deras menuju dirinya. Cahaya lembut seperti riak sungai mengalir menuju dantian. Tubuh Xu Hao bergetar kecil, keringat dingin muncul di pelipisnya.

Dantian-nya bagai lautan luas yang tiba-tiba dilanda badai. Qi yang masuk semakin banyak, menabrak dinding dantian, berputar dengan liar. Seperti naga yang berebut wilayah, Qi itu saling menekan dan menindih.

Namun tiba-tiba, esensi jiwa yang diberikan Ling’er ikut bergetar. Bagai cahaya asing yang melintas, ia mendekati pusaran Qi. Dantian Xu Hao langsung berguncang keras. Wajahnya memucat, lalu tanpa bisa ditahan ia menyemburkan darah segar ke tanah.

Ling’er langsung bersuara lantang, nadanya penuh ketegasan. “Xu Hao! Geserkan esensi jiwa murni itu. Jangan biarkan ia bercampur dengan Qi-mu, atau tubuhmu akan meledak!”

Xu Hao mengertakkan giginya, wajahnya tegang. Ia mengendalikan pikirannya, memaksa esensi jiwa itu bergeser menjauh dari inti pusaran Qi. Butiran peluh jatuh dari dahinya, tubuhnya gemetar seperti menahan gunung yang hendak runtuh.

Dengan napas berat, ia berhasil menyingkirkan esensi jiwa ke sisi dantian. Kini pusaran Qi murni berputar bebas tanpa campuran. Riak energi semakin kuat. Suara mendengung terdengar dari dalam tubuhnya, seperti genderang perang yang dipukul ribuan kali.

Langit sore mulai berubah. Awan yang sebelumnya tenang berputar lambat di atas hutan. Kini, angin menderu, membawa daun-daun beterbangan. Burung-burung yang berdiam di pepohonan terbang panik, seakan merasakan sesuatu yang besar tengah lahir.

Qi alam semakin deras masuk ke tubuh Xu Hao. Dantian yang tadinya hanya berisi pusaran Qi kini mulai mengental. Energi itu memadat, berubah dari wujud gas tipis menjadi cairan kental, lalu perlahan membentuk inti padat. Warna merah pekat mulai muncul, bagaikan darah naga purba yang mewujudkan diri di dalam tubuhnya.

Wajah Xu Hao tegang, tubuhnya bergetar keras. Darah menetes dari sudut bibirnya, namun tatapannya di balik kelopak mata tetap tegas. “Aku… tidak akan gagal. Demi ayah dan ibu… demi dendam yang harus kubalas… inti ini harus terbentuk!”

Qi semakin menekan, semakin padat, semakin murni. Cahaya merah pekat bersinar dari tubuh Xu Hao, menembus kulitnya hingga tampak jelas dari luar. Aura itu menyebar ke segala penjuru, membuat tanah retak halus dan pohon-pohon bergetar.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan dari dalam tubuhnya, seperti pecahan kaca yang hancur. Xu Hao memuntahkan darah sekali lagi, namun bersamaan dengan itu, inti di dalam dantian akhirnya terkondensasi sempurna. Sebuah inti spiritual berbentuk bulat, berkilau merah pekat seperti permata darah yang dipoles dengan hati-hati, mengambang di pusat dantian.

Saat inti itu terbentuk, Qi alam berhenti berputar liar. Semua energi yang masuk kini diserap dengan lembut dan stabil, mengalir ke inti merah itu. Tubuh Xu Hao terasa ringan, meridiannya terbuka lebih luas, kekuatannya melonjak berkali lipat.

Ia perlahan membuka matanya. Sepasang mata hitamnya kini dipenuhi cahaya merah pekat, berkilau seperti bara api yang membakar tekad. Wajahnya dipenuhi keringat dan darah, namun sorot matanya bagaikan pedang tajam yang baru saja ditempa.

Ling’er menatapnya dengan mata bergetar. Senyuman samar muncul di wajahnya. “Kau berhasil… Xu Hao, kau telah menerobos ke ranah Core Formation.”

Xu Hao menarik napas dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. Aura dari tubuhnya meledak keluar, membuat batu besar tempat ia duduk retak di beberapa bagian. Ia mengepalkan tangannya, merasakan kekuatan baru yang mengalir deras dalam tubuhnya.

Senyumnya perlahan muncul. “Core Formation… akhirnya, aku berhasil.”

Langit sore yang penuh awan merah seakan ikut memberi restu. Cahaya matahari terakhir menyelimuti Xu Hao, membuatnya tampak seperti sosok pahlawan muda yang baru saja dilahirkan kembali dari api.

1
Christian Matthew Pratama
author sdh mulai bingung buat lanjuti critanya, mknya macet updatenya
Christian Matthew Pratama
macet updatenya
Daniel Simamora
Thor, jangan banyak pengulangan kata dong.
plotnya juga terlalu santai.
Andi Widodo
semakin ke sini semakin berbelit2 nih cerita..tinggal ngaku aja..terus masa baru 4 THN dah nggak ingat wajahnya..aneh
Nasution Muktar
bagus ..
Daniel Simamora
ini layak ditunggu.
baru 1 bab aja udah kelam banget
Didi Mahardeka
hi
Muh Hafidz
keren
Untung Prasetyo
ceritanya terlalu berbelit-belit,masak MC kok kalah Mulu,lama banget menaikkan kultivasi, dasar autor gila lu
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Xu Huo... gulungan kuno mungkin memilihmu
Daryus Effendi
bertele tele/lilir
Christian Matthew Pratama
macet updatenya
y@y@
🌟👍🏾👍🏻👍🏾🌟
y@y@
💥👍🏼👍🏿👍🏼💥
y@y@
🌟👍🏿👍🏼👍🏿🌟
Muh Hafidz
update thor
Muh Hafidz
mantap
Muh Hafidz
good
Muh Hafidz
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!