seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Suasana di sekitar meja itu masih sunyi. Kristal hitam yang tadi menampakkan wajah iblis kini telah retak di bagian bawahnya, seperti tidak sanggup menahan apa pun yang telah disentuhkan padanya.
Rynz masih berdiri kaku, napasnya belum teratur. Namun mata tuanya yang tajam tidak memandang dengan ketakutan… melainkan dengan keyakinan.
Orang tua itu berdiri perlahan dari kursinya. Tubuhnya kurus dan terlihat ringkih, namun auranya berubah—seolah ia bukan lagi sekadar penjaga meja, melainkan seseorang yang memiliki kedalaman yang tak kasat mata.
Ia menatap lurus ke mata Rynz, lalu membuka mulutnya perlahan.
"Akar spiritual ganda."
Keempat murid yang masih di tempat itu terkejut. Mereka saling berpandangan, beberapa bahkan membisikkan sesuatu dengan nada bingung dan tak percaya.
"Ganda…? Tapi barusan dia… itu 'tingkat petani', kan?"
Orang tua itu mengangkat tangan, menyuruh mereka diam.
Lalu melanjutkan:
"Tangan kananmu memang membawa akar yang lemah…
tapi tangan kirimu… membawa sesuatu yang tidak bisa diklasifikasikan oleh metode biasa."
Ia berjalan mengelilingi meja, mendekat ke Rynz. Matanya menyipit.
"Itu bukan akar api biasa. Bahkan bukan roh api murni."
"Itu—" ia berhenti sejenak, seolah menimbang kalimatnya,
"adalah warisan dari kehampaan."
Angin di sekitar mereka tiba-tiba terasa berubah. Daun-daun yang tadi diam, kini berputar perlahan. Suara bisikan terdengar samar dari jauh—atau mungkin hanya ilusi… dari kekuatan itu sendiri.
Orang tua itu akhirnya tersenyum tipis.
"Namaku adalah Lu Ban.
Aku tetua penguji sekaligus pengelola akar spiritual di Lembah Angin."
Ia menatap Rynz lebih dalam, nadanya berubah menjadi lebih tajam.
"Sekarang, aku akan bertanya sekali saja.
Mau jadi muridku… atau tidak?"
Keheningan menggantung.
Empat murid lain membeku.
Angin berhenti.
Dan semua mata kini menunggu satu jawaban… dari seorang pemuda asing… yang tangan kirinya telah dicap oleh kekuatan iblis.
Rynz mengangguk pelan.
"Aku setuju."
Hanya dua kata, namun cukup untuk mengikatkan nasibnya pada pria tua itu—dan juga pada tempat sederhana yang kini disebut Sekte Lembah Angin.
Begitu keputusan itu diucapkan, Lu Ban mengangguk, lalu menoleh pada keempat murid lainnya yang masih terdiam.
"Kalian berlima, ikut aku. Mulai sekarang, kalian resmi menjadi murid Sekte Lembah Angin."
Tanpa banyak kata, mereka semua dibimbing menyusuri jalan setapak menuju ke dalam. Melewati celah di antara dua tebing yang membentuk lembah, suasana berubah perlahan. Udara di dalam terasa lebih sejuk, lebih bersih… dan sunyi. Terlalu sunyi.
Bangunan-bangunan kecil dari kayu berdiri berjauhan. Beberapa tampak seperti pernah digunakan, namun kini sepi. Tak ada murid lalu-lalang. Tak ada suara latihan.
Hanya angin yang mengalir perlahan, menyapu daun-daun kering di tanah.
Di tengah area itu, ada sebuah aula besar dari batu, sangat sederhana, namun kuat dan berdiri kokoh di antara semak dan pohon.
Lu Ban berdiri di depan aula itu dan membalikkan tubuhnya menghadap kelima murid barunya.
"Dengarkan baik-baik," katanya dengan suara berat.
"Aku bukan hanya penguji, bukan hanya tetua.
Aku adalah guru, pemilik… dan kepala Sekte Lembah Angin."
Kelima murid langsung terdiam. Beberapa tampak kaget, lainnya kebingungan.
"Apa? Dia kepala sekte… tapi…"
"Lalu… mana tetua lainnya? Mana murid-murid lainnya?"
Lu Ban hanya tersenyum tipis. Seolah sudah terbiasa dengan pertanyaan semacam itu.
Namun sebelum dia menjawab, pintu aula besar itu terbuka.
Dari dalam muncul seorang pria muda, berusia sekitar awal dua puluhan. Tubuhnya tinggi tegap, dengan rambut panjang terikat ke belakang. Pakaiannya sederhana, tapi rapi. Matanya tajam, namun pembawaannya tenang. Ada kalimat yang terukir dari gerakannya:
pengendalian diri.
Ia berjalan ke depan dengan langkah mantap, lalu berhenti di samping Lu Ban.
"Namaku Li Jiu," katanya dengan suara tenang.
"Aku adalah murid pertama dari Guru Lu Ban."
Semua murid baru menoleh ke arahnya. Ia menatap mereka satu per satu, lalu menundukkan kepala pelan sebagai tanda hormat.
"Selamat datang di Lembah Angin.
Meskipun tempat ini tampak kecil dan sunyi… kalian akan tahu sendiri kelak bahwa kekuatan sejati tidak membutuhkan sorak-sorai."
Rynz memperhatikan wajah Li Jiu dengan seksama. Tidak ada kesombongan, tidak ada aura yang menekan. Tapi justru karena itulah, dia bisa merasakan… sosok ini bukan murid biasa.
Setelah itu, satu per satu murid baru pun memperkenalkan diri:
"Namaku Chen Mo."
"Aku Fei Rong, dari Desa Batu Tengah."
"Zhou Lan, aku... hanya pembantu di rumah bangsawan sebelumnya."
"Aku Miya." Suaranya halus, namun matanya tajam.
Dan terakhir…
"Rynz," katanya singkat.
Ia tidak menambahkan asal usul apa pun. Ia hanya menyebut namanya, dan itu sudah cukup.
Beberapa hari telah berlalu sejak kelima murid baru itu resmi bergabung dengan Sekte Lembah Angin. Namun seperti tak sesuai bayangan mereka, tak ada pelatihan seni bela diri, tak ada latihan spiritual, dan tak satu pun pelajaran kultivasi yang diberikan.
Yang mereka lakukan… hanyalah pekerjaan harian.
Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menyentuh dasar lembah, mereka sudah dibangunkan oleh suara ketukan Li Jiu di pintu masing-masing.
"Bangun. Hari ini giliran kalian membersihkan ruang latihan."
"Zhou Lan, bantu aku di ladang. Tanaman akar angin perlu disiram dengan cairan khusus."
"Fei Rong dan Chen Mo, periksa ulang genteng dapur yang bocor."
Rynz sendiri lebih banyak diberi tugas berat—mengangkat batu, memotong kayu, membersihkan kolam yang penuh lumut, hingga membetulkan pagar belakang yang roboh.
Semuanya dilakukan tanpa penjelasan.
Tidak ada teknik jurus. Tidak ada meditasi. Tidak ada seni pedang.
Bahkan tidak ada satu pun buku yang diberikan untuk dipelajari.
“Apakah ini… semacam ujian mental?”
“Atau sekte ini memang sekte petani?”
“Sial… aku bisa melakukan semua ini di dunia asal.”
Keluhan-keluhan mulai muncul di antara murid. Fei Rong sempat mencoba bertanya langsung pada Li Jiu, namun hanya dijawab dingin:
"Kalau kau tidak bisa mengendalikan tubuhmu,
bagaimana kau akan mengendalikan energi?"
Rynz tak banyak bicara. Meski dalam hatinya juga muncul tanda tanya besar, tapi ia tahu satu hal:
tubuhnya memang belum stabil.
Tangan kirinya yang dibalut kain itu sering berdenyut sendiri. Kadang terasa panas seperti bara, kadang terasa dingin seperti batu mati. Dan api hitam itu belum pernah muncul lagi sejak pertarungan melawan monster babi.
Setiap malam sebelum tidur, ia mencoba memanggil api itu. Tapi tak ada hasil.
Seolah sesuatu dalam tubuhnya sedang menyimpan napasnya sendiri, menunggu saat yang tepat.
Di sisi lain, perlahan-lahan, tubuhnya mulai terasa lebih ringan. Nafasnya lebih panjang, refleksnya membaik. Tanpa disadari, pekerjaan kasar yang ia jalani hari-hari ini… mulai membentuk ulang fondasi fisiknya.
Namun tetap saja, di satu titik,
semua murid akhirnya berkumpul diam-diam di halaman belakang, dan mulai bertanya-tanya hal yang sama:
"Apa benar tempat ini sekte kultivasi?"
Sore itu, langit di atas Lembah Angin berwarna keemasan. Matahari mulai condong, menyinari rumput-rumput tinggi dan pohon liar yang tumbuh di sekeliling sekte.
Kelima murid baru berdiri dalam formasi setengah lingkaran di halaman utama. Wajah mereka tampak letih namun penuh tekad. Keringat masih menetes dari pelipis, hasil dari rutinitas harian yang tak kunjung berubah—membersihkan, menanam, mengangkut, menambal, dan seterusnya.
Rynz berdiri paling belakang, lengan kirinya tetap terbalut, sementara keempat murid lain berdiri di depannya, mewakili perasaan yang kini mereka semua rasakan: rasa penasaran yang semakin menyesakkan.
Fei Rong akhirnya membuka suara.
"Guru Lu Ban... kami tidak bermaksud kurang ajar.
Tapi... kapan kami akan belajar kultivasi?"
Zhou Lan menunduk, tapi ikut menambahkan,
"Kami ingin tahu… apakah tempat ini benar-benar sekte kultivasi… atau sekadar tempat pengasingan…"
Lu Ban yang sedang duduk di bawah pohon tua hanya menutup matanya sejenak. Ia tidak tampak marah, justru tersenyum tipis seperti sudah menunggu pertanyaan ini sejak hari pertama mereka datang.
Ia perlahan membuka mata, menatap kelima murid satu per satu dengan pandangan yang dalam dan tak terbaca.
"Kalian ingin jawaban?"
Ia berdiri, menyusun tangannya di belakang punggung. Suaranya tetap tenang, tapi tegas.
"Baik."
"Jika kalian benar-benar ingin tahu apakah tempat ini sekte kultivasi…
jika kalian ingin tahu kenapa kalian tidak diajarkan jurus, tidak diberi energi…
Maka kalahkan Li Jiu."
Kelima murid itu langsung membeku.
Mata mereka beralih pelan ke arah sisi kanan halaman…
di mana Li Jiu berdiri bersandar pada tiang kayu, menatap langit sore dengan santai, seolah tak mendengar percakapan barusan.
Tapi detik berikutnya, pria itu melangkah pelan ke depan.
Matanya menatap lurus ke arah mereka semua.
"Aku bersedia.
Lima melawan satu pun tak masalah."
Fei Rong menelan ludah. Chen Mo langsung melangkah mundur setengah langkah. Miya mengernyit, dan Zhou Lan bahkan tak tahu harus berkata apa.
Hanya Rynz yang tak bergerak.
Tatapannya tajam menatap Li Jiu, seolah mulai membaca sesuatu dari postur tubuh pria itu.
Lu Ban menyambung:
"Jika kalian bisa menjatuhkannya, bahkan hanya sekali…
maka aku akan mengajarkan segalanya."