Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelecehan
Arini menatap penampilan Haira dari atas hingga bawah. Dalam hati berkata jika wanita itu adalah calon pembantu di rumah sang kakak.
Mirza kembali menaiki tangga menuju lantai dua. Membiarkan Haira yang masih dalam kebingungannya. Tak tahu mau kemana, semua orang yang ada di rumah itu hanya cuek dan tak menyambut kedatangannya.
Ia bukan seperti mempelai yang disambut hangat, namun bak pengemis yang kesasar. Tak tahu arah dan tempat yang akan ia kehendaki. Ingin bertanya, ia pun tak mengenal siapapun, satu-satunya orang yang berinteraksi dengannya pun sudah pergi.
Arini berjalan lenggang menghampiri Haira yang masih mematung di tempat.
"Kamu siapa?" tanya Arini ketus. Memutari tubuh Haira yang lebih pendek darinya.
Melihat penampilannya yang kampungan saja sudah menjijikkan membuat Arini mual dan geli. Apalagi Mirza, pasti tidak akan sudi mendekatinya.
"Saya calon istri Tuan Mirza," jawab Haira lantang, bahkan tak hanya Arini yang mendengar, beberapa pelayan yang ada di sekelilingnya pun ikut menghentikan aktivitasnya. Memastikan apa yang mereka dengan dari bibir ranum Haira. Mengejutkan, mana mungkin Tuan Mirza yang terhormat memiliki calon istri yang jauh di atas kriteria.
Arini bergelak tawa, menarik rambut Haira dari belakang hingga sang empu tersentak kaget.
"Calon istri? Jangan mimpi kamu." Arini mendorong tubuh Haira. Melepaskan tangannya hingga gadis itu terhuyung dan hampir jatuh.
Terus aku harus bilang apa, bukankah itu yang ada di tulisan tadi.
Haira hanya mengucap dalam hati. Ia tak ingin memperkeruh suasana yang memang sudah mencekam.
Salah satu pelayan paruh baya menghampiri Haira.
"Nona silakan, saya akan tunjukkan kamar, Anda."
Wanita itu berjalan diikuti Haira dari belakang. Meninggalkan Arini yang masih nampak kesal padanya. Tak mengelak jika rumah itu sangat mewah, namun sedikitpun tak ada kenyamanan di sana yang membuat hati Haira gelisah.
Setibanya di depan sebuah ruangan, wanita itu menghentikan langkahnya. Membantu Haira membuka pintu.
"Ini kamar, Nona. Silahkan masuk, semua barang-barang Anda sudah ada di dalam."
Haira menyembulkan kepala. Matanya menyusuri ruangan yang lumayan luas. Benar saja, ia melihat koper miliknya sudah bertengger di sisi ranjang.
Tempat apa ini, Ya Tuhan. Sebentar lagi aku terjebak pernikahan dengan Tuan Mirza, apa sebaiknya aku bicara lagi sebelum menikah.
"Terima kasih, Bi," ucap Haira lembut.
"Bi," panggil Haira sebelum wanita tadi menjauh.
"Nama Bibi siapa?" tanya Haira.
"Panggil saya Bi Enis, Nona."
Haira mengangguk lalu menutup pintu setelah bi Enis berlalu."
"Dari kemarin aku belum menghubungi nenek, pasti dia sangat khawatir padaku."
Haira mengambil tas kecilnya lalu duduk di tepi ranjang. Merogoh benda pipihnya yang jadul.
Akibat kecelakaan itu, layar ponsel Haira pun pecah, untung masih bisa dipakai, meskipun sedikit tak layak, ia tetap mempertahankan benda itu demi bisa berkomunikasi dengan keluarganya. Apalagi gaji bulan ini belum masuk, hingga ia tak bisa mengirim uang.
Haira segera menghubungi Nenek Jubaida dan sang adik.
"Halo, Ra," sapa nenek Jubaida dengan nada yang lemah.
Mata Haira berkaca, ia tak sanggup mengatakan apa yang terjadi pada dirinya. Pasti nenek akan ikut merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Terlebih tubuhnya yang sudah lanjut usia tak mungkin mampu mengemban beban pikiran yang berat.
Haira menjauhkan ponselnya sejenak. Mengusap air matanya yang lolos membasahi pipi.
Aku harus kuat, semua ini pasti berlalu dan aku bisa hidup dengan tenang bersama nenek dan Nada.
Haira menempelkan benda pipihnya di telinga, menahan tangis yang hampir meledak.
"Halo, Nek. Maaf aku tidak bisa menghubungi, Nenek."
"Pasti kamu sibuk," sahut nenek Jubaida sambil tertawa renyah.
"Nggak papa, Ra. Yang penting kamu sehat, jaga diri kamu baik-baik, nenek dan Nada akan selalu berdoa untuk kamu. Nanti hari ulang tahun Nada kamu bisa pulang, kan?" tanya nenek Jubaida.
Pasalnya, Haira sudah berjanji akan pulang saat sang adik ulang tahun.
Bagaimana ini, apa Tuan Mirza akan mengizinkanku. Ah bodo amat, itu urusan nanti, yang penting aku menjawab Iya supaya nenek lega.
"Iya, Nek. Aku pasti pulang."
Ceklek
Pintu terbuka lebar
Haira hanya menoleh dengan ponsel yang masih terhubung dengan neneknya.
Tubuh tinggi Mirza mematung di ambang pintu. Berjalan pelan menghampiri Haira. Merebut ponsel milik gadis itu lalu membanting nya hingga hancur berkeping-keping.
Haira menatap nanar ponsel kesayangannya itu tergeletak tak berbentuk. Bagaimana ia bisa menghubungi neneknya jika benda itu remuk. Hanya itu satu-satunya jalan untuk mengurai rindu, namun kini sudah musnah.
"Tu…Tuan, kenapa hp saya dibuang?" ucap Haira dengan bibir bergetar. Wajahnya pucat pasi. Ia menggeser duduknya saat Mirza terus melangkah mendekat.
Mirza mengulurkan tangannya. Mencengkram rahang Haira dengan kuat. Mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu yang tampak meringis kesakitan.
Saking dekat nya, Haira bisa merasakan hembusan nafas Mirza yang memburu.
"Kamu sudah menanda tangani surat perjanjian itu, artinya kamu tidak berhak ikut campur dengan apa yang aku lakukan." Melepaskan cengkeramannya. Menarik tubuh Haira ke tengah ranjang, lalu menghempaskannya dengan kasar. Kedua lututnya mengunci Haira hingga gadis itu tak bisa berkutik.
"Tuan mau apa?" tanya Haira lirih.
Mirza melepas sabuk yang melingkar di perutnya. Wajahnya pias dipenuhi dengan ambisi. Pergerakannya terlalu cepat hingga Haira tak bisa menghindar lagi, ia menerima begitu saja saat Mirza mengikat kedua tangannya ke atas.
"Aku punya permainan untuk kamu, tenang saja."
Mirza meraba bagian dada Haira yang terlihat kembang kempis. Tertawa meledek saat gadis di bawahnya itu nampak semakin ketakutan.
"Tuan, saya mohon jangan!" ucap Haira memohon, kakinya berusaha menendang-nendang. Namun percuma, Mirza sudah mengungkungnya dengan rapat dan tak memberi ruang untuk bergerak.
Mirza melepas kancing baju Haira bagian atas. Menampakkan dada putihnya, bahkan penutup gunung kembar Haira yang berwarna hitam ikut terekspos.
Kini Haira merasa hancur. Harga dirinya diinjak-injak. Hatinya bak terhimpit batu besar. Sakit, bahkan lebih sakit dari apapun saat Mirza melecehkannya.
"Tuan, saya akan melakukan apa saja, asalkan jangan nodai saya," lanjut Haira di sela-sela tangisnya.
Mirza merobek semua baju Haira hingga tubuh gadis itu hanya tertutup bra dan celana segitiga yang menutupi area sensitifnya.
Jemari Mirza merayap. Menyusuri setiap bagian lekuk tubuh Haira, hingga membuat sang empu menangis histeris.
"Kamu sudah menghancurkan hidupku. Sekarang giliranku yang akan menghancurkan hidupmu," ucap Mirza penuh penekanan. Tangannya berhenti di paha Haira.
"Ampuni saya, Tuan. Jangan lakukan ini!" Haira tak henti-hentinya memohon, berharap belas kasih pada Mirza yang kini menguasai dirinya.
Mirza menyunggingkan bibirnya. Ia yakin Haira menganggap jika dirinya akan benar-benar menyentuh tubuh gadis itu.
"Kamu pikir aku akan menyentuhmu? Menjijikkan, bahkan sampai kapanpun aku tidak akan menjadikanmu istri sungguhan, aku hanya ingin membuat hidupmu hancur dan tidak punya masa depan," ujar Mirza turun dari ranjang.
Haira mengucap syukur dalam hati, meskipun harga dirinya kini sudah direndahkan setidaknya kesuciannya masih bisa terselamatkan.
Mirza membuka pintu tanpa melepas ikatan tangan Haira. Membiarkan gadis itu telanjang.
"Kalian bantu dia ganti baju, pernikahannya akan dilangsungkan satu jam lagi," ucap Mirza pada seseorang yang ada di depan pintu.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣