Kelahiran seorang bayi perempuan keluarga Pak Burhan, menjadi malapetaka. Sebuah perjanjian yang dilakukan bersama iblis untuk memiliki anak, harus dibayar oleh nyawa Pak Burhan. Sayangnya, kehadiran sang anak pun tidaklah membawa kebahagiaan. Bu Ratmi, istri Pak Burhan, menolak keras kehadiran putrinya karena wajahnya lebih mirip setan daripada bayi manusia pada umumnya.
Melihat reaksi Bu Ratmi, bidan pun membuang bayi perempuan itu ke TPS. Rupanya bayi perempuan itu diketahui oleh si pemulung yang bernama Pak Risman itu. Lelaki itu membawanya ke rumah dan memperkenalkannya pada sang istri, Bu Inah. Kondisi bayi perempuan yang menyedihkan itu membuat Bu Inah iba, dan ingin menjadikannya sebagai adik untuk putrinya, Atikah. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengurus bayi itu dan menamainya Sukma.
Tak disangka, kehadiran Sukma membawa keberuntungan bagi keluarga Pak Risman. Profesi Pak Risman yang semula pemulung, berubah menjadi tukang kebun. Semakin Sukma dewasa, kekayaan dan kemahsyuran didapatkan Pak Risman dengan mudah. Akan tetapi, seorang ahli supernatural mengatakan bahwa kekayaan Pak Risman hanya tipu daya iblis. Pak Risman harus membayar semua kekayaannya dengan nyawa Sukma saat genap berusia 17 tahun. Jika tidak, maka nyawa Pak Risman yang akan menjadi taruhannya. Akankah Pak Risman merelakan nyawanya untuk Sukma? Atau justru mencari jalan lain agar ia dan Sukma tetap hidup?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kediaman Farida
Sukma merasa takjub melihat isi rumah Farida yang lebih luas dari bayangannya. Memang, rumah itu terlihat biasa saja dari luar, tapi jika masuk ke dalamnya, maka akan terlihat satu ruangan tanpa sekat yang digunakan untuk menerima tamu sekaligus ruang televisi. Sementara di sisi kiri, terdapat dua kamar yang bersebelahan. Farida menyuruh Sukma duduk di salah satu kursi kayu kuno, yang di atasnya memiliki busa dilapisi kulit berwarna hijau. Selanjutnya, wanita itu masuk ke kamar depan, menjanjikan pada Sukma membawakan boneka Susan yang dimaksud.
Merasa jenuh, Sukma berjalan-jalan di rumah Farida. Beranjaklah ia menuju ruangan televisi. Benda-benda di sana cukup kuno dan antik. Sebuah meja berukuran tidak begitu tinggi, dipakai Farida untuk menaruh TV jadul yang memiliki antena di atasnya. Di sampingnya terdapat lemari kaca berisi gelas dan piring-piring antik. Selanjutnya, Sukma melihat-lihat beberapa foto yang terpajang di dinding luar kamar kedua. Tampak foto Farida, adik perempuannya, bersama kedua orang tuanya yang sudah sepuh. Sukma terkagum-kagum melihat potret keluarga Farida yang harmonis, sehingga terbesit di benaknya akan kerinduan pada Pak Risman, Bu Inah, dan Atikah.
"Eh, kamu di sini rupanya," ujar Farida mengagetkan Sukma.
Gadis kecil itu terperanjat, lalu membalikkan badannya. "Tante? Sejak kapan ada di sini?"
"Baru tadi," ucap Farida tersenyum simpul. "Ini, boneka Susan-nya."
Kedua mata Sukma berbinar-binar. Hatinya tak berhenti berdecak kagum, melihat boneka yang sama persis seperti milik Maurin. Diambilnya boneka itu dari tangan Farida, lalu memeluknya.
"Terima kasih, Tante. Akhirnya boneka ini balik lagi."
"Sama-sama, Anak Manis. Oya, dari tadi Tante belum tahu nama kamu. Nama kamu siapa?"
"Sukma."
"Sukma? Nama yang bagus," puji Farida mengelus kepala gadis kecil itu. Namun, beberapa saat kemudian, tangannya segera dikibaskan karena terasa disengat listrik.
"Oya, kalau boneka Susan kembali lagi, apa Maurin juga akan datang ke sini?"
"Semoga saja begitu. Kalau menurut kamu boneka ini mirip sama Susan, dia pasti ke sini."
"Asyik!"
"Ya sudah, sekarang kita makan, yuk! Kamu pasti lapar, 'kan?"
"Iya, Tante. Kalau begitu, aku bawa boneka ini sambil makan, ya. Boleh, 'kan, Tante?"
"Tentu saja, Sayang."
Keduanya bergegas menuju ruang makan yang berada di balik tembok ruang televisi. Terdapat meja makan berukuran sedang dengan empat kursi yang mengelilinginya. Sukma dibantu oleh Farida untuk duduk. Rupanya, di atas meja sudah tersedia sebakul nasi beserta lauk pauk. Farida mengambil dua piring, lalu mengisi salah satunya untuk gadis kecil itu.
"Sukma, kamu mau pakai lauk apa aja?"
"Aku suka capcay, tempe goreng, sama peyek."
Dengan senang hati, Farida mengambilkan lauk pauk yang diinginkan Sukma. Selanjutnya, ia memberikan piring berisi makanan tersebut pada gadis kecil itu. Sukma tampak senang dan makan dengan lahap. Matanya berbinar-binar, seperti baru sekarang menyantap makanan yang sangat lezat.
Farida menyusul makan bersama Sukma. Mereka duduk berhadapan. Sukma yang teringat pada foto keluarga yang terpampang di ruang televisi, memberanikan diri untuk membuka percakapan.
"Tante, keluarga Tante yang lain pada ke mana? Kenapa mereka nggak kelihatan?" tanya Sukma di tengah kunyahannya.
Raut wajah Farida berubah sendu tatkala ditanyai oleh Sukma perihal keluarganya. Setelah menelan makanan di mulutnya, wanita itu berkata, "Bapak dan ibu Tante sudah tiada. Mereka sudah sepuh. Bapak meninggal karena stroke, sedangkan ibu kena serangan jantung."
"Lalu, adik Tante?"
"Dia sudah menikah dan dibawa oleh suaminya. Setelah menikah, dia tidak pernah datang lagi ke sini."
"Lalu, apa Tante nggak punya suami? Atau anak sebesar aku?"
Farida menghela napas dalam-dalam, kemudian menatap Sukma sembari mengulum senyum. "Suami Tante sudah meninggal. Dia meninggal karena kecelakaan. Makanya Tante hidup sendirian."
"Oh, begitu."
"Tapi, sekarang Tante nggak kesepian lagi. 'Kan ada kamu yang nemenin Tante sekarang."
Seulas senyum tergambar di bibir Sukma. Kendati baru mengenal Farida beberapa saat lalu, gadis kecil itu sangat nyaman berada di dekatnya. Sikapnya yang hangat dan ramah, membuat Sukma lupa akan rumah tempat seharusnya pulang.
Berbeda dengan Sukma yang merasa bahagia bersama Farida, Bu Inah justru mencemaskan keadaan putri bungsunya. Sejak Atikah mengabarkan bahwa Sukma tidak ikut mengaji, hati Bu Inah tak tenang. Ia khawatir, Sukma diculik orang dan dijual kepada pihak tak bertanggung jawab. Usianya yang masih kecil, sangat rawan menjadi korban kekejian orang-orang jahat.
Kini, malam yang seharusnya menjadi waktu beristirahat, justru berubah tegang tatkala Sukma tak kunjung pulang. Pak Risman bersama sopir dan satpam yang bekerja di rumah Hilman, mencari Sukma ke sekitar perkomplekan. Pun dengan Hilman, yang merasa sangat bertanggung jawab akan keselamatan keluarga pegawainya. Dengan menggunakan mobil, ia menyusuri jalanan, mencari Sukma ke setiap pedagang emperan.
Lain Hilman, lain pula Farah. Wanita itu justru merasa risih dengan pencarian Sukma yang dilakukan semua pegawai lelaki dan suaminya. Menurutnya, sikap orang-orang rumah atas hilangnya Sukma sangatlah berlebihan. Ia pun tanpa ragu mendatangi paviliun. Dari teras, tampak Bu Inah sedang menangis sesenggukan, ditemani oleh Atikah yang berusaha menenangkan ibunya.
"Heh, Bu Inah! Nggak usah lebay, kenapa? Nanti juga dia pulang sendiri. Udahlah, suruh suami saya dan pegawai lainnya pulang. Kasihan, besok dia harus kerja lagi," cerocos Farah melipat kedua tangan.
"Tapi, bagaimana dengan nasib anak saya, Bu Farah? Kasihan, dia masih kecil. Bagaimana kalau dia kelaparan di luar sana? Bagaimana kalau sampai dilukai oleh orang-orang jahat? Saya takut, Bu," kata Bu Inah dengan suara gemetar.
"Salahmu sendiri, ngurus anak nggak becus! Lagian, kalau anak ngaji itu ditungguin. Bukan ditinggalin gitu aja."
"Saya juga maunya begitu, Bu. Tapi kerjaan di rumah Ibu masih banyak."
"Kalau begitu, suruh anak sulung kamu nungguin dia. Gitu aja kok repot. Udahlah, nggak usah nangis-nangis terus! Apa gunanya, sih, anak miskin kayak si Sukma itu? Paling juga kalau keliaran malam-malam, cuma dianggap anak gelandangan. Kalau kelaparan, toh nanti juga ada yang ngasih."
"Cukup, Tante!" segah Atikah berang. "Tante ini nggak ada kasihannya sama sekali, ya, sama adek aku. Biarpun begitu, dia juga manusia, dia masih kecil."
"Berani-beraninya kamu bentakin orang tua!" bentak Farah menoyor kepala Atikah, kemudian melirik Bu Inah. "Bu, ajarin anak Ibu yang satu ini nih! Dari sulu saya nggak suka sama anak ini. Bawa pengaruh buruk aja sama Albi."
Bu Inah yang semula sedih atas hilangnya Sukma, berubah kesal melihat sikap kasar Farah pada Atikah. Sesaat, ia mengusap kepala putri sulungnya, kemudian berdiri menatap tajam pada majikannya. Bagaimanapun juga, Bu Inah tetaplah manusia. Ia tak terima jika harga dirinya diinjak serendah-rendahnya oleh Farah.
"Sudah puas menghina anak-anak saya, Bu? Kalau Anda nggak bersedia membantu, sebaiknya pulang! Baru kali ini saya menemukan orang nggak punya hati," ucap Bu Inah dengan nada datar. Matanya seolah mengancam Farah untuk cepat bungkam.
jngn " dia raja iblis yg menyamar lgi, atau jngn " lelaki yg dijodohkan dengan x dri kerajaan gaib oleh ayah kandung sukma ya 😆, bisa juga tngn kanan ayah sukma, untuk memata matai sukma.
biarin aja sukma, si giska itu knp2 lgian dibilangin ngeyel.
klo mbah suro bru cocok 😆😆