NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1

Ruang kantor divisi pengembangan produk sebuah perusahaan F&B tampak lengang dan redup. Lampu-lampu sudah padam, hanya cahaya dari luar menembus lewat jendela besar. Meja-meja tertata rapi, komputer-komputer terdiam, menyisakan bayangan di layar hitam. 

Keheningan hanya dipecah suara detik jam dan desis lembut pengharum ruangan yang menyemprot sesekali.

Lalu terdengar langkah sepatu bergesekan dengan lantai keramik dingin. Seorang wanita muncul di ambang pintu, berpakaian sederhana, rambutnya agak berantakan. Ia menghela napas kecil, menyadari sesuatu tertinggal di mejanya.

Tangannya bergerak tergesa saat menggeledah laci meja kerjanya, mencari sebuah flashdisk kecil miliknya. Wajahnya tampak tegang, campuran antara cemas dan takut. Siapa pun akan merasa sama: kantor itu benar-benar kosong dan sunyi. Andai bukan karena file penting untuk presentasi besok, dia pasti tak akan nekat datang selarut ini hanya demi benda sekecil itu.

“Di mana aku menaruhnya?” gumamnya panik, suaranya bergetar seiring jemarinya yang terus mengacak isi laci. Detik berikutnya, matanya menangkap kilau kecil di sudut:  flashdisk itu. Napasnya terhembus lega. Tanpa pikir panjang, ia segera berdiri dan melangkah cepat, tak ingin berlama-lama di tempat yang sunyi itu.

Langkahnya terhenti saat suara pecahan terdengar, seperti gelas beling yang jatuh ke lantai. Seketika kepalanya menoleh cepat ke arah pantry, jantungnya berdetak kencang. Ketakutannya memuncak. Ia memutuskan untuk segera pergi, tak peduli apa pun yang ada di sana. 

Namun baru satu langkah diayunkan, suara lain terdengar lagi, pelan, namun jelas. Suara yang mencurigakan, cukup untuk membuatnya ragu apakah harus lari… atau mencari tahu.

Semakin lama ia mendengarkan, semakin yakin bahwa ada sesuatu di dalam pantry itu. Rasa takutnya perlahan tertelan oleh rasa penasaran yang kian mendesak. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat.

Tirai jendela pantry tertutup rapat, tapi ada celah tipis yang cukup untuk mengintip. Ia mencondongkan tubuh, matanya menyipit mencoba melihat lebih jelas ke dalam ruangan yang remang. Lalu tiba-tiba matanya membelalak. Seketika tangannya menutup mulut rapat-rapat, menahan teriakan yang nyaris pecah karena terkejut.

Tubuhnya mendadak membeku. Kakinya seolah tertancap di lantai, napasnya tercekat, dan pikirannya kosong seketika. Dari celah tirai itu, ia bisa melihat, meski samar, dua sosok tengah berhubungan badan di atas sofa.

Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar. Tapi bukan itu yang paling membuatnya terpaku. Karena ketika salah satu dari mereka menoleh ke arah jendela… wajah yang terlihat di balik cahaya redup itu adalah seseorang yang sangat ia kenal. 

***

Jovita Diana Juno, staf senior di divisi pengembangan produk, baru saja tiba di gedung kantornya pagi itu. Ia berdiri di depan lift bersama beberapa karyawan lain yang menunggu giliran berikutnya. Tangannya memegang ponsel, matanya sesekali melirik jam di layar. Bukan karena terburu-buru, hanya kebiasaan yang tak pernah hilang setiap pagi.

Tiba-tiba sebuah tepukan di pundaknya membuat Jovita tersentak kecil. “Jo!” seru seseorang riang di belakangnya.

Ia menoleh cepat, ternyata Sena, rekan kerjanya. Jovita menghela napas, memegangi dadanya yang sempat terkejut.

“Kebiasaan banget sih, selalu ngegetin,” ujarnya setengah protes.

Sena hanya tertawa pelan, senyum jahilnya tak hilang dari wajah.

Jovita kembali menunduk, membuka ponselnya dan mengecek email yang baru masuk. Matanya menatap layar dengan fokus, tapi pikirannya melayang ke beberapa hari lalu, saat sesuatu yang tak adil menimpanya.

Prototipe yang ia rancang dengan susah payah dicuri dan diakui oleh orang lain. Padahal ide itu sudah lama ia pikirkan, ia kembangkan, bahkan ia sempurnakan lewat malam-malam lembur. Kini, ia sedang menunggu hasil banding yang dia ajukan ke atasannya, satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa karyanya benar-benar telah diplagiat.

Sementara itu, Sena terus melirik ke arah Jovita berkali-kali, dengan pandangan gelisah dan tangan yang tampak tak tenang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tertahan di ujung lidah. Suasana di antara mereka terasa aneh, canggung tanpa alasan yang jelas.

Hingga akhirnya bunyi ting dari lift memecah keheningan. Pintu terbuka, dan keduanya melangkah masuk tanpa sepatah kata pun.

Begitu tiba di ruang kantor, keduanya langsung menuju meja masing-masing. Kebetulan, meja Sena dan Jovita bersebelahan, hanya dipisahkan sekat tipis di antara mereka.

Jovita segera menyalakan komputernya, layar menyala menampilkan tumpukan email yang belum berbalas. Ia mengetik lagi email banding yang sama, dengan nada lebih tegas kali ini. Sudah beberapa hari sejak ia mengirimnya, namun tak ada satu pun tanggapan. Rasa kesal dan kecewa mulai memenuhi dadanya. Semuanya terasa tidak adil bagi Jovita. 

“Belum ada jawaban?” tanya Sena pelan, kepalanya sedikit condong ke arah meja Jovita. Nada suaranya ragu, tapi jelas dipenuhi rasa ingin tahu.

Jovita menghela napas lemas sambil menggeleng. Sena ikut menarik napas panjang, merasa ikut jengkel. Menurutnya, Jovita masih terlalu sabar. Kalau hal itu terjadi padanya, mungkin ia sudah ribut dengan si plagiat sejak hari pertama.

“Itu sebabnya aku gak suka dia dari awal,” gumam Sena kesal. “Terus juga dia…” ucapnya terhenti di tengah kalimat. Tatapannya bergeser ke arah Jovita, ragu untuk melanjutkan.

“Kenapa?” tanya Jovita cepat, menangkap perubahan ekspresi itu.

Sena hanya menggeleng buru-buru. “Enggak, bukan apa-apa.” Ia segera kembali menatap layarnya, pura-pura sibuk. Jovita menatapnya beberapa detik, mencoba membaca sesuatu di wajahnya, sebelum akhirnya ikut kembali pada pekerjaannya sendiri.

Sena menggigit bibirnya pelan, hatinya terasa berat. Ia ragu, tapi dorongan untuk bicara semakin kuat. Ia bergeser sedikit lebih dekat.

“Jo,” panggilnya pelan.

“Hm?” sahut Jovita tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar komputer.

“Hubungan kamu sama Adam… baik-baik aja kan?” tanyanya hati-hati.

Jovita sempat berhenti mengetik, lalu mengangguk ringan. “Hm. Kami bakal nikah tiga bulan lagi,” jawabnya tenang, bahkan sempat tersenyum tipis.

Namun bukannya lega, Sena justru tampak makin gelisah. Ia menatap meja, jemarinya mengetuk pelan permukaannya. Jovita menyadari perubahan itu dan menoleh.

“Kenapa nanya begitu?” tanyanya curiga.

Sena menelan ludah. “Itu…”

Belum sempat Sena melanjutkan kalimatnya, suara langkah dan aroma parfum yang khas membuat mereka spontan menoleh. Arum, staf junior yang tiga tahun lebih muda dari Jovita, dengan senyum manis yang terasa dibuat-buat.

Tatapan Jovita seketika berubah, antara malas dan kesal. Sementara Sena menatapnya dengan ekspresi dingin, bahkan sedikit jijik, seolah kehadiran Arum membuat udara di ruangan itu mendadak berat.

“Kenapa liatin begitu?” tanya Arum santai. Suaranya ringan, tapi ada nada menantang di baliknya. Seolah dia sama sekali tak merasa bersalah atas apa pun yang pernah terjadi.

Sekitar dua minggu lalu, Arum dipanggil ke ruangan atasan mereka. Suasananya tegang, pintu tertutup rapat cukup lama, dan kabarnya, ia mendapat teguran keras karena kinerjanya yang berantakan dan sering lalai dari tugas.

Begitu keluar dari ruangan itu, wajahnya tampak murung, matanya sembab seolah baru menangis. Sementara di sisi lain ruangan, Jovita, Sena, dan beberapa rekan sedang asik berdiskusi tentang ide produk baru.

Sebagai senior, Jovita berusaha profesional. Ia sempat memanggil Arum, menanyakan kesulitannya, lalu dengan sabar membimbingnya agar bisa memperbaiki pekerjaan. Sikapnya lembut, penuh empati, murni ingin membantu tanpa maksud apa pun.

Namun perhatian itu justru disalahartikan. Dalam pandangan Arum, setiap kali ia dipanggil dan ditegur atasan, kemudian keluar dari ruangan dengan perasaan hancur, ia selalu mendapati Jovita sedang tertawa bersama rekan-rekannya. Pemandangan itu menanamkan rasa sakit dan curiga dalam hatinya. Arum yakin Jovita menertawakannya, bahwa seniornya itu diam-diam merendahkannya di depan yang lain.

Sampai akhirnya hari itu datang, hari di mana Arum benar-benar buntu. Ia duduk di depan layar komputernya berjam-jam, mencoba membuat rancangan ide untuk produk terbaru, namun tak satu pun konsep terasa tepat. Jovita yang melihatnya hanya ingin membantu.

“Kalau kesusahan, lihat aja ini. Kamu boleh pakai buat inspirasi,” ujar Jovita sambil menyerahkan setumpuk prototipe lama yang pernah ia buat sendiri. Ia tersenyum kecil, sama sekali tak menyangka apa yang akan terjadi setelahnya.

Malam itu, Arum tetap tinggal di kantor, bahkan ketika seluruh karyawan sudah pulang. Dalam tekanan dan rasa frustasi yang menyesakkan, takut gagal, takut kehilangan pekerjaannya. Arum akhirnya nekat. Ia menyalin seluruh rancangan milik Jovita, menggantinya dengan namanya sendiri, bahkan menghapus file asli milik sang senior dari sistem.

Keesokan harinya, saat presentasi berlangsung, Jovita nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setiap sketsa, setiap detail, bahkan urutan konsep yang dipaparkan Arum, semuanya persis seperti miliknya.

Darahnya mendidih. Begitu sesi berakhir, ia langsung memprotes, menjelaskan bahwa ide itu hasil kerjanya sendiri. Namun bukannya mendapat dukungan, atasannya justru menatapnya datar dan berkata,

“Jovita, kamu merasa terancam, ya? Ide Arum bagus dan fresh. Kalau kamu gak bisa bikin sebaik itu, jangan menuduh orang sembarangan.”

Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari apa pun. Jovita terdiam, tak sanggup membela diri lagi. Sejak hari itu, ia mulai mengumpulkan bukti. Ia mengirimkannya berkali-kali, berharap ada keadilan. Tapi sampai sekarang, kotak masuknya tetap sepi. Tak satu pun balasan datang. Dan rasa frustrasi itu perlahan berubah jadi getir.

Jovita menatap Arum dengan dingin, amarahnya nyaris meluap tapi ia tahan. Sementara Arum duduk santai, tanpa sedikit pun rasa bersalah di wajahnya, seolah tak ada yang perlu disesali.

“Jo,” panggil seseorang lembut dari arah belakang. Jovita menoleh cepat, dan seketika rasa kesalnya lenyap begitu saja.

Adam Pranadipta, tunangan sekaligus rekan sekantornya dari divisi keuangan, berjalan santai mendekat. Senyum tipis tersungging di wajahnya, sementara di tangannya tergenggam segelas kopi latte kesukaan Jovita, masih mengepul hangat.

Jovita tersenyum lebar, seolah semua beban yang menekan dadanya lenyap begitu saja. “Kenapa ke sini?” tanyanya lembut, menatap Adam dengan penuh sayang.

“Ada yang harus aku bicarain sama dia,” jawab Adam pelan, pandangannya beralih ke arah Arum.

Senyum di wajah Jovita perlahan memudar. Tatapannya berpindah dari Adam ke Arum, lalu kembali lagi. Ia tahu, mereka pasti akan membicarakan anggaran untuk produk baru itu. Sedikit menyakitkan baginya, karena meski Adam tahu seluruh kebenarannya, tunangannya itu tetap diam dan memilih menjalankan perintah atasan.

Adam mengusap lembut rambut Jovita, suaranya tenang seolah menenangkan anak kecil. “Jangan terlalu marah, kamu pasti bisa bikin ide yang lebih bagus lagi. Kamu kan ahlinya.”

Namun bukannya tenang, dada Jovita justru terasa sesak. Jangan terlalu marah? Kata-kata itu terdengar seperti pisau tumpul yang tetap menyakitkan. Ia sudah menghabiskan waktu, tenaga, dan malam-malam panjang untuk ide itu dan kini disuruh tidak marah?

Adam melirik Arum sekilas sebelum kembali menatap Jovita. Ia mencubit pipi gadis itu gemas, tak tahan melihat wajah cemberutnya. Tatapannya kemudian tertumbuk pada Sena yang sedari tadi memperhatikan mereka dengan ekspresi aneh.

“Kenapa lihat aku begitu?” tanya Adam bingung.

“Topengmu bagus sekali,” gumam Sena sebelum kembali ke komputernya, membuat Adam makin heran.

Arum berdiri sambil membawa laptop dan alat tulis. “Ayo, kita meeting,” ujarnya dengan senyum manis yang jelas dibuat-buat.

Adam menatap Jovita sebentar. “Kita lanjut nanti,” katanya pelan, lalu pergi, meninggalkan Jovita yang masih kesal.

Waktu terus berjalan. Di tengah kesibukan mereka, hati Sena tetap gelisah. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Jovita.

Jovita yang sedang meregangkan tubuh menangkap tatapan itu. Ia mengerutkan dahi.

“Kenapa sih dari tadi lirik-lirik terus?” tanyanya, nada kesal terdengar samar.

Sena menghentikan ketikan, menarik napas panjang, lalu memutar kursinya menghadap Jovita.

“Kayaknya aku harus bilang sesuatu,” ujarnya pelan.

***

Siang semakin meninggi saat Adam dan Arum keluar dari ruang meeting. Wajah Arum berseri-seri, penuh kepuasan. Prototipe hasil curiannya disetujui untuk dikembangkan. Pencapaian besar pertamanya setelah satu setengah tahun bekerja di sana.

Dari mejanya, Jovita menatap tajam ke arah mereka. Tangannya terlipat di dada, rahangnya mengeras. Bukan cuma idenya yang direbut perempuan itu, tapi juga tunangannya.

Sena baru saja menyerahkan sebuah rekaman video, bukti dari apa yang dilihatnya semalam di pantry. Saat menontonnya, hati Jovita serasa remuk. Tunangannya, orang yang paling ia percaya, justru berbuat hal tak senonoh dengan wanita yang menusuknya dari belakang.

Ketika Adam keluar dari ruang meeting dan sempat berbicara pada Arum sebelum menghampirinya dengan senyum manis, tak ada lagi senyum yang menyambut. Wajah Jovita kini dingin dan hampa.

Begitu Adam tiba di hadapannya, Jovita berdiri sambil meraih gelas latte yang pagi tadi diberikan oleh pria itu. Tanpa ragu, ia melemparkannya tepat ke wajah Adam. Suara gelas yang jatuh memecah keheningan, membuat semua orang menatap kaget.

“Jo… kamu kenapa tiba-tiba gini?” tanya Adam dengan suara bergetar, masih berusaha memahami apa yang terjadi.

Namun belum sempat ia mendekat, tamparan keras mendarat di pipinya. Ruangan seketika senyap.

Jovita menatapnya dengan mata berair tapi penuh bara. “Kamu...” suaranya nyaris pecah, namun amarah menahannya.

Adam menatapnya dengan sorot tidak mengerti. Baru tadi pagi mereka saling melempar senyum, namun sekarang keadaan berubah drastis. 

“Jo?” 

Satu tamparan lagi mendarat, lebih keras dari sebelumnya. Adam hanya bisa menatap, sementara Arum berdiri membeku di belakangnya, wajahnya pucat pasi.

Adam membeku.

Sena yang duduk di kursinya hanya bisa menatap, sementara seluruh tim menahan napas.

Dan sebelum ada yang sempat bicara lagi, suara pintu ruangan atasan terbuka lebar.

to be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!