Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
keheningan pun bisa memekakkan
Ia harus tahu semuanya. Namun, setelah semalaman memutar ulang setiap kejadian, pesan misterius, tatapan tajam Cakra, kehangatan keluarga Rahadja, hingga bisikan Cala yang membelah dunianya, Aruntala sampai pada satu kesimpulan yang pahit, menuntut jawaban dengan kebisingan hanya akan membuat Kevin semakin rapat menutup diri. Selama ini, ia selalu berteriak untuk didengar. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia harus diam untuk bisa mendengar.
Maka, keesokan paginya, Aru tidak mengirim rentetan pesan interogasi. Ia tidak menelepon tindakan yang kini terasa begitu bodoh. Ia hanya datang ke kafe “Suara Hati” dengan sebuah misi personal yang terasa lebih sulit daripada mendaki Everest, tutup mulut.
Kevin sedang berada di balik bar, membersihkan mesin espreso dengan gerakan yang presisi. Saat ia mengangkat kepala dan melihat Ala masuk, alisnya sedikit terangkat. Ia pasti sudah mengantisipasi badai, tetapi yang datang justru ketenangan yang ganjil.
Ala hanya tersenyum tipis, berjalan ke meja paling pojok, duduk, dan mengeluarkan laptopnya. Ia tidak memesan, tidak menyapa dengan celotehan seperti biasa. Ia hanya ada di sana, hadir dalam keheningan.
Satu jam berlalu. Aruntala pura-pura sibuk dengan tugas kuliahnya, meskipun matanya lebih sering mengamati interaksi di dalam kafe. Ia melihat bagaimana seorang barista perempuan, yang ia tahu bernama Rina, berkomunikasi dengan pelanggan menggunakan tablet.
Ia melihat bagaimana Kevin memberi arahan pada stafnya hanya dengan anggukan kepala dan isyarat tangan yang nyaris tak terlihat. Dunia ini memiliki ritmenya sendiri, sebuah tarian sunyi yang selama ini tertutup oleh musik keras di kepalanya. Kebisingannya telah membuatnya buta dan tuli.
Kevin sesekali melirik ke arahnya, tatapannya penuh selidik. Aruntala tahu pria itu bingung. Ia pasti bertanya-tanya kapan bom waktu ini akan meledak. Namun, Ala tetap diam. Ia memesan kopi melalui aplikasi di meja, dan ketika Kevin mengantarkannya, Aruntala hanya membalas dengan senyuman dan anggukan terima kasih.
Dua jam. Tiga jam. Kafe semakin ramai saat jam makan siang. Aruntala mulai merasa gelisah. Menahan diri untuk tidak berbicara ternyata menguras energi lebih banyak daripada maraton mengomel. Ia merasa seperti gunung berapi yang menahan letusannya.
Dan kemudian, letusan itu nyaris terjadi.
Seorang pria berpenampilan necis, mungkin seorang eksekutif muda yang sedang istirahat makan siang, memanggil Rina dengan jentikan jari yang arogan. Rina, yang sedang membersihkan meja lain, tidak mendengarnya. Pria itu menjentikkan jarinya lagi, lebih keras, wajahnya mengeras karena kesal.
“Pelayan! Hei! Budek, ya?” bentaknya, suaranya yang sengau memecah suasana tenang kafe.
Beberapa pelanggan menoleh. Rina akhirnya sadar dan bergegas menghampiri, wajahnya menyiratkan permintaan maaf. Ia menyodorkan tablet untuk mencatat pesanan.
Pria itu mendengus.
“Saya panggil dari tadi, lho. Kalian ini kerja atau melamun? Pesan _cappuccino_ satu, panas. Jangan kelamaan. Saya nggak punya waktu seharian buat nungguin orang cacat kerja.”
Darah Aruntala mendidih seketika. Kata ‘cacat’ itu, yang diucapkan dengan nada merendahkan, bagai bensin yang disiramkan ke api amarahnya. Naga di dalam dirinya terbangun. Tangannya sudah mengepal di bawah meja, mulutnya sudah siap membuka untuk menyemburkan api. Ia akan membuat pria sombong itu menyesal telah lahir ke dunia.
Aruntala baru saja akan berdiri ketika sebuah tangan yang besar dan hangat mendarat di atas kepalan tangannya. Ala menoleh kaget. Kevin sudah berdiri di samping mejanya, entah sejak kapan. Ia tidak menatap Aruntala, matanya lurus tertuju pada pria itu, tetapi genggaman tangannya di tangan Aruntala terasa begitu kuat, begitu menenangkan. Sebuah perintah tanpa suara: *Jangan. Biar aku yang urus.*
Kevin berjalan dengan tenang ke arah meja pria itu. Ia tidak menunjukkan amarah. Wajahnya tetap datar seperti biasa. Ia mengambil tablet dari tangan Rina, menepuk pundak gadis itu dengan lembut seolah berkata ‘tidak apa-apa’, lalu mengetik sesuatu di tablet itu dengan cepat. Ia memutarnya ke arah si pelanggan.
Pria itu membacanya, wajahnya yang tadi sombong perlahan berubah pias. Ia melirik ke sekeliling, melihat beberapa pasang mata menatapnya dengan tajam. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia bangkit dari kursinya, melemparkan beberapa lembar uang ke meja dengan kasar, dan bergegas keluar dari kafe dengan wajah memerah karena malu.
Aruntala menatap punggung pria itu, napasnya masih memburu. Ia penasaran setengah mati.
“Apa yang lo tulis?” bisiknya pada Kevin saat pria itu kembali ke dekat mejanya.
Kevin tidak menjawab. Ia kembali ke balik bar, mengambil buku notes dan pulpen, lalu kembali ke meja Aruntala. Ia duduk di hadapan gadis itu dan mulai menulis. Bukan satu atau dua kalimat. Ia menulis dengan tekun, mengisi satu halaman penuh, lalu halaman berikutnya. Tangannya bergerak tanpa henti, setiap goresan pulpen seolah menuangkan sesuatu yang selama ini terpendam dalam-dalam.
Setelah hampir sepuluh menit, ia berhenti. Ia menyobek kedua lembar kertas itu, melipatnya sekali, dan mendorongnya ke seberang meja. Tatapannya bertemu dengan tatapan Aruntala, dalam dan penuh arti, sebelum ia bangkit dan kembali bekerja.
Dengan tangan sedikit gemetar, Aru membuka lipatan kertas itu.
*Pegawai ku.Namanya Rina. Dia kehilangan pendengarannya saat SMA karena infeksi. Tapi dia adalah peracik latte art terbaik yang pernah aku temui. Yang di kasir itu Banyu, dia tuna wicara sejak lahir, tapi dia bisa menghitung stok lebih cepat dari kalkulator mana pun. Kafe ini bukan tempat penampungan orang kasihan, Aru. Ini adalah panggung untuk mereka yang suaranya tidak terdengar.*
*Aku benci dunia korporat bukan hanya karena kebisingannya. Aku benci karena di sana, orang dinilai dari seberapa keras mereka bisa berteriak, bukan dari seberapa baik mereka bisa bekerja. Di sini, nilai seseorang tidak diukur dari volume suaranya. Di sini, keheningan adalah kekuatan. Setiap cangkir kopi yang mereka buat adalah suara mereka. Itu adalah cara mereka berkata, “Aku di sini. Aku mampu. Aku berharga.”*
*Aku tahu kamu ingin membelanya tadi. Aku lihat api di matamu. Terima kasih. Tapi amarahmu, kebisinganmu, hanya akan membuat pria itu merasa benar. Dia akan berpikir, “Lihat, kan, mereka butuh orang normal untuk membela mereka.” Dengan diam, aku menunjukkan padanya bahwa kami tidak butuh pembelaan. Kami hanya butuh dihormati. Keheningan kami jauh lebih memekakkan telinga daripada teriakanmu.*
Aruntala membaca surat itu tiga kali. Setiap kata meresap ke dalam hatinya, memadamkan sisa-sisa amarahnya dan menggantinya dengan gelombang pemahaman yang hangat. Ia mengangkat kepala, menatap Kevin yang sedang mengajari Banyu teknik *tamping* baru. Ia melihat kesabaran di setiap gerakannya, rasa hormat di tatapannya.
Pria ini… pria ini membangun sebuah kerajaan dari keheningan. Sebuah benteng untuk orang-orang seperti dirinya. Dan Aru, dengan segala kebisingannya, nyaris merobohkan dinding itu karena impulsivitasnya. Rasa malu menjalari dirinya, tetapi kali ini bukan malu yang memalukan, melainkan malu yang mendewasakan.
Ia menunggu hingga kafe sedikit lebih sepi. Kevin kembali menghampirinya, membawa segelas air putih. Ia duduk tanpa berkata-kata, hanya menatap Aru, seolah menunggu responsnya.
Aru mendorong kertas itu kembali ke arahnya.
“Maaf,” bisiknya tulus. “Gue… gue baru ngerti.”
Kevin tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tulus. Ia mengambil tangan Aruntala yang tergeletak di atas meja. Dengan gerakan yang sangat lembut, ia membuka telapak tangan gadis itu. Ia mengambil pulpen dari sakunya, dan dengan ujung yang dingin, ia menulis satu kata di kulit Aruntala yang hangat.
S. A. B. A. R.
Setiap huruf terasa seperti sebuah kecupan, sebuah janji. Aruntala menatap tulisan itu, merasakan jantungnya berdebar dengan ritme yang aneh. Sentuhan itu, pesan itu, terasa jauh lebih intim dan kuat daripada teriakan “Aku cinta kamu” mana pun. Ini adalah bahasa mereka.
“Makasih, Kev,” gumam Aruntala, suaranya serak.
Saat itulah Rina menghampiri meja mereka. Gadis itu tersenyum manis pada Aruntala, lalu jemarinya bergerak lincah membentuk isyarat-isyarat. Aruntala menatapnya bingung.
Kevin menatap Rina, lalu mengambil notes-nya lagi dan menulis terjemahannya untuk Aruntala.
*“Dia bilang, terima kasih sudah mau membelaku tadi. Dia bisa lihat kamu orang baik.”*
Aru tersenyum pada Rina.
“Sama-sama. Kamu nggak salah apa-apa, kok.”
Rina sepertinya mengerti dari ekspresi Aruntala. Ia tersenyum lebih lebar, lalu kembali membuat isyarat tangan, kali ini ditujukan pada Kevin. Gerakannya lebih cepat, lebih kompleks. Aruntala hanya bisa menonton, mencoba menebak-nebak.
Namun, saat Rina menyelesaikan isyaratnya, Aruntala melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Wajah Kevin yang biasanya tenang dan tak terbaca, kini mengeras. Kepanikan yang jelas dan nyata melintas di matanya. Genggamannya pada pulpen mengerat hingga buku-buku jarinya memutih.
“Kev? Kenapa?” tanya Aru cemas.
“Dia ngomong apa?”
Kevin tidak bergerak. Ia seolah membeku, tatapannya terkunci pada Rina, seolah memohon gadis itu untuk berhenti.
Rina, yang tidak menyadari perubahan drastis pada atasannya, menatap Aruntala dengan ramah. Ia mungkin berpikir Aruntala juga ingin tahu apa yang ia tanyakan. Mengira Kevin terlalu lambat untuk menerjemahkan, Rina mengeluarkan ponselnya sendiri, mengetik dengan cepat, lalu menyodorkan layarnya ke hadapan Aru.
Di layar itu, terpampang sebuah kalimat singkat yang membuat tulisan ‘Sabar’ di telapak tangan Aru terasa seperti sebuah lelucon kejam.
*Aku cuma tanya, apa Tuan Kevin sudah siap untuk bertemu lagi dengan Tuan Santosa di rapat minggu depan?*