Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Aeris bertemu Ayah?
Alina turun dari taksi bersama Aeris yang terus menggenggam tangannya erat. Bocah kecil itu langsung jingkrak-jingkrak kegirangan begitu melihat gedung tinggi menjulang yang megah di hadapannya.
"Ayo Mama, masuk!" serunya penuh semangat, wajahnya berbinar-binar. "Aeris udah nggak sabar pengen guling-guling di ruangan Mama!"
Alina hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum geli melihat tingkah putra kecilnya. Ia melangkah masuk, mengisi daftar hadir karyawan di meja resepsionis, lalu kembali menggandeng tangan Aeris untuk membawanya menuju ruang kerjanya di lantai atas.
Di tengah perjalanan menyusuri koridor, seorang karyawan pria melintas di dekat mereka.
"Hai Om Ganteng!" sapa Aeris dengan suara lantang, membuat beberapa kepala menoleh ke arah mereka.
"Sayang… jangan teriak-teriak begitu," bisik Alina pelan, merasa sedikit malu dengan perhatian spontan dari rekan-rekan kerjanya.
"Aeris nggak teriak, Aeris cuma nyapa, kok," jawab bocah itu dengan wajah santai.
"Jangan nyapa orang yang nggak dikenal," tegur Alina lagi.
"Lah? Om itu kan juga kerja di sini," bantah Aeris cerdas.
"Ya tapi—"
"Al! Tunggu! Tunggu!" Terdengar suara seseorang memanggil dari arah belakang. Alina menoleh dan mendapati Siska, teman akrabnya di kantor, berlari kecil menghampiri mereka.
"Kenapa?" tanya Alina heran melihat napas Siska yang sedikit tersengal.
Siska tersenyum lebar, lalu membungkuk sebentar untuk mencubit pipi Aeris dengan gemas. "Katanya besok bakal ada direktur baru. Pak Erwin kabarnya bakal turun jabatan."
"Turun jabatan?" ulang Alina, matanya membelalak terkejut.
"Iya."
"Kok bisa tiba-tiba banget?"
"Ya, hasil rapat kemarin membuktikan kalau ada banyak kecurangan di perusahaan. Pak Erwin nggak mau dong perusahaannya bangkrut begitu saja. Jadi katanya, dia memilih mundur dan menyerahkan kepemimpinan ke orang lain yang lebih kompeten. Meskipun nggak menjabat lagi, ya tetap saja dia masih dapat bagian dari keuntungan perusahaan," jelas Siska panjang lebar.
"Terus kamu tahu siapa direktur barunya?" tanya Alina mulai merasa penasaran.
Siska mendekat, matanya berbinar penuh kekaguman. "Ganteng, woy! Aku lihat fotonya dari ponsel Teri kemarin. Pokoknya ganteng banget. Kamu pasti bakal terpesona deh begitu lihat dia!"
Alina hanya mendengus kecil mendengar antusiasme temannya itu. "Nggak mungkinlah," katanya santai, tidak terlalu peduli pada masalah fisik sang atasan.
"Kamu lihat saja besok!" kata Siska sambil menepuk lengan Alina ringan. Ia menyempatkan diri mengusap kepala Aeris sebelum akhirnya melangkah pergi menuju divisinya sendiri.
"Waah... jadi Mama bakal punya bos baru ya?" tanya Aeris sambil mendongak.
"Hmm," gumam Alina pendek sambil terus berjalan.
"Nggak takut, Ma, kalau bos barunya lebih galak?"
"Buat apa takut? Toh dia juga makan nasi kan?" jawab Alina enteng.
Aeris hanya mengangguk setuju. Dalam benaknya, tidak ada yang lebih menyeramkan daripada Alina saat wanita itu sedang marah besar.
Sesampainya di ruangan, Aeris segera duduk di sofa kecil yang tersedia. Sementara itu, Alina langsung tenggelam dalam kesibukannya. Ia menatap layar laptop dengan serius, jemarinya menari cepat di atas keyboard untuk menyelesaikan naskah yang tertunda.
Lama-kelamaan, Aeris mulai merasa bosan. Ia mulai gelisah, bergerak ke sana kemari karena bingung harus melakukan apa di ruangan yang sunyi itu. Ponsel milik Alina tergeletak begitu saja di atas meja tanpa disentuh.
"Mama...." panggilnya pelan.
"Hum?" jawab Alina tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
"Boleh keluar nggak? Bosan di sini."
"Kamu mau ke mana?" tanya Alina mulai memberikan perhatian.
"Taman samping, ya. Mau main di sana," kata Aeris sambil menunjuk ke arah jendela yang menampakkan sedikit area hijau di bawah.
"Hum, hati-hati," ucap Alina singkat memberikan izin.
Tanpa menunggu dua kali, Aeris segera melangkah keluar ruangan dan berlari-lari kecil menuju lift.
Sementara itu, di lobi utama, Pak Erwin berdiri dengan sikap formal menyambut dua tamu penting yang baru saja tiba.
"Mari ke ruangan saya, Pak," ucapnya dengan sangat sopan.
Revan dan Devi baru saja sampai di perusahaan milik Pak Erwin. Revan menatap sekeliling ruangan dengan tatapan datar dan dingin.
Sejujurnya, ia tidak begitu tertarik dengan perusahaan berbasis penerbitan buku seperti ini, mengingat fokus bisnisnya yang lain.
Namun, karena Pak Erwin dulu pernah membantu ayahnya di masa-masa sulit, Revan merasa memiliki tanggung jawab moral. Ia setuju mengambil alih kepemimpinan demi memastikan perusahaan ini tetap berjalan stabil dan tidak jatuh ke tangan yang salah.
Beberapa karyawan yang berada di lobi tampak berbisik-bisik saat melihat kedatangan mereka yang penuh karisma.
"Wah... itu direktur barunya."
"Kayaknya sih iya, soalnya mukanya mirip banget sama yang di foto itu."
"Siapa cewek yang di sampingnya?"
"Katanya sih sekretarisnya. Tapi kok kayak lebih cocok disebut pasangannya gitu ya?"
"Iya, cocok banget. Auranya klop sekali."
Di sisi lain, Aeris yang sedang berjalan-jalan kecil berhenti seketika. Matanya membelalak saat melihat tiga orang berjalan ke arahnya sambil mengobrol. Karena ketiga orang dewasa itu tampak terlalu asyik bercakap-cakap, tidak ada yang menyadari kehadiran Aeris yang kecil.
Dengan refleks, Aeris segera bersembunyi di balik pilar besar.
"Om Toilet!? Apa yang Om itu lakukan di sini!?" serunya dalam hati, sangat terkejut melihat sosok Revan.
Ia mengintip diam-diam dengan penuh rasa ingin tahu.
"Mari, Pak," kata Pak Erwin saat membuka pintu ruangannya. Revan mengangguk tipis lalu masuk ke dalam, diikuti oleh Devi yang setia mendampingi di sisinya.
"Jadi... saya percayakan perusahaan ini kepada Anda," ucap Pak Erwin dengan nada lega setelah mereka duduk di dalam. "Besok Anda sudah resmi menjabat sebagai direktur baru di sini. Saya akan mundur sepenuhnya dari operasional."
"Anda masih punya wewenang di sini, Pak Erwin. Jadi, sesekali datanglah. Lagipula saya juga tidak akan meninggalkan perusahaan utama saya. Saya hanya akan datang jika benar-benar dibutuhkan," sahut Revan.
Aeris yang bersembunyi akhirnya berani keluar setelah melihat ketiganya masuk ke dalam ruangan. Ia mendongak, menatap pintu kayu ruangan Pak Erwin yang kini tertutup rapat.
"Mataku belum buram. Itu tadi beneran Om Toilet!" gumamnya pelan.
Dengan rasa penasaran yang memuncak, ia mencoba menempelkan telinganya ke pintu, tapi ia sama sekali tidak bisa mendengar apa-apa. Ruangan itu kedap suara. Lalu, ia tiba-tiba teringat ucapan Siska tadi. Mulutnya refleks menutup rapat.
"Apa jangan-jangan Om Toilet itu yang bakal jadi bos baru Mama!?"
Aeris menimbang-nimbang dalam hati, apakah harus memberitahu Alina atau tidak. Tapi setelah berpikir sejenak dengan logika bocah kecilnya, ia memutuskan untuk merahasiakannya.
"Kalau dari mukanya sih, Om itu nggak kelihatan jahat… Kenapa orang ganteng dan manis gitu dibilang jahat ya? Kapan lagi coba Aeris lihat orang seganteng Om Toilet?" pikirnya polos.
•
•
Alina melirik jam tangannya dengan cemas. Sudah satu jam sejak Aeris keluar, dan bocah itu belum juga kembali. Rasa khawatir mulai menyusup ke dadanya. Tanpa pikir panjang, Alina berdiri dan keluar dari ruangan. Tepat saat itu, Aeris tampak berlari ke arahnya dengan wajah yang sangat ceria.
"Mama!!!" pekiknya senang.
Alina berdiri berkacak pinggang, menatap putranya dengan pandangan menginterogasi. "Lama banget ke taman," katanya dengan nada setengah kesal namun lega.
Aeris hanya menyeringai kecil, lalu dengan semangat menarik tangan ibunya. "Mama... ada kejutan, loh!" katanya penuh antusias.
"Kejutan apa, heh?"
"Mama akan tahu nanti," jawabnya penuh rahasia.
Beberapa detik kemudian, ia menatap Alina sambil mengelus perutnya yang terasa kosong. "Mama, Aeris lapar..." rengeknya.
"Yaudah, makan di dalam," ajak Alina.
"Hari ini Mama yang suapin ya," pinta Aeris dengan nada manja.
Alina menghela napas pasrah, lalu menggendong bocah itu, membawanya kembali ke ruang kerja untuk menghabiskan bekal mereka.
•
•
Di dalam ruangan direktur, Revan akhirnya telah menandatangani dokumen perjanjian yang disaksikan oleh saksi resmi. Setelah semua urusan administratif selesai, Pak Erwin menyodorkan tangan dengan senyum tulus.
"Selamat atas jabatan barunya, Pak Revan," ucap Pak Erwin.
Revan membalas uluran tangan itu dengan mantap. Setelahnya, mereka bersiap untuk berpamitan.
"Besok, Anda bisa memperkenalkan diri pada seluruh karyawan. Anda punya wewenang penuh di sini, termasuk dalam hal evaluasi atau bahkan mengganti karyawan yang kurang kompeten," jelas Pak Erwin lagi.
"Baik, akan saya laksanakan. Lagipula seperti yang Anda bilang, perusahaan ini memang memiliki banyak hal yang harus segera dibenahi," sahut Revan tegas.
"Kami permisi," kata Revan kemudian sambil menangkupkan kedua tangan dengan sopan.
"Saya antar sampai bawah," tawar Pak Erwin.
"Tidak perlu, Pak," jawab Revan singkat menolak dengan halus.
Pasangan bos dan sekretaris itu kemudian berjalan beriringan keluar dari area kantor Pak Erwin. Saat suasana koridor mulai sepi dan tidak banyak orang yang memperhatikan, tangan mereka saling menggenggam erat satu sama lain.
"Selamat atas kedudukan barumu, Pak Revan," ucap Devi dengan senyum lembut yang menenangkan.
Revan terkekeh pelan, menatap wanita di sampingnya dengan pandangan hangat. "Kayaknya kerjaanku bakal makin banyak. Tapi... selama ada kamu di sisiku, semua pasti terasa mudah."
Ia menangkup lembut pipi Devi, lalu mencium kening wanita itu dengan penuh kasih sayang. "Terimakasih sudah temenin aku," bisiknya pelan.