NovelToon NovelToon
Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.

Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.

Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.

Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?

Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…

Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?

Baca selengkapnya hanya di NovelToon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

Sore itu, matahari condong ke barat ketika Pak RW melangkah ke rumah wakaf yang selama ini ditempati Ustadz Fathur.

Pintu tertutup. Halaman sepi. Sandal yang biasa tergeletak di depan pun tak ada.

Pak RW berdecak kesal.

“Sudah mulai berani, ya,” gumamnya.

Ia berbalik, langkahnya cepat menuju pondok. Ia tahu kegiatan Ustadz Fathur kalau sore hari. Selain di kampung itu, ia paati berada di pondok. Beberapa santri menunduk hormat saat ia lewat, namun Pak RW hanya membalas dengan anggukan singkat.

“Ustadz Fathur ada?” tanyanya pada salah satu santri.

“Di ndalem Kyai, Pak. Sejak tadi sore,” jawab santri itu sopan.

Pak RW langsung menuju rumah Kyai Huda.

Di teras, ia duduk dengan raut tak sabar, jemari mengetuk lutut. Tak lama kemudian, pintu terbuka.

Kyai Huda keluar lebih dulu, diikuti Ustadz Fathur yang wajahnya tenang, meski sorot matanya waspada.

“Assalamu’alaikum,” ucap Kyai Huda.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Pak RW singkat. Tatapannya langsung mengarah ke Ustadz Fathur.

“Saya mau bicara. Penting.”

“Silakan, Pak RW,” Kyai Huda mempersilakan masuk.

Mereka duduk berhadapan di ruang tamu sederhana. Udara terasa menegang.

Pak RW membuka pembicaraan tanpa basa-basi. “Ustadz, saya dengar sampeyan mau menikah.”

“Iya, Pak.” Jawab Ustadz Fathur mantap.

“Dan setelah itu tetap tinggal di rumah wakaf?” nada suara Pak RW meninggi. “Sampeyan tahu kan rumah itu milik umat? Bukan buat rumah tangga!”

Ustadz Fathur menegakkan punggungnya. “Saya paham, Pak. Saya tidak berniat menjadikannya rumah tangga permanen.”

“Tapi faktanya panjenengan tinggal di sana!” potong Pak RW. “Dan sekarang mau bawa istri? Tidak bisa!”

Suasana makin panas.

Kyai Huda mengangkat tangannya, suaranya lembut tapi tegas.

“Pak RW,” ucapnya. “Tenang dulu. Ustadz Fathur ini santri saya. Saya yang membimbingnya. Niatnya baik.”

“Baik bagaimana, Yai?” Pak RW mendengus. “Aturan tetap aturan.”

Kyai Huda menatap Pak RW dengan teduh.

“Betul. Aturan harus dijaga. Tapi menegur juga harus dengan adab.”

Pak RW terdiam, meski wajahnya masih kaku.

Kyai Huda melanjutkan, menoleh ke Ustadz Fathur.

“Fathur, Nak. Pak RW ada benarnya. Rumah wakaf bukan tempat membangun rumah tangga.”

Ustadz Fathur mengangguk pelan. “Saya siap menerima keputusan, Yai.”

“Kamu kembali tinggal di pondok,” lanjut Kyai Huda.

“Setelah menikah, kamu boleh sering ke rumah istrimu. Tapi tempat tinggalmu tetap di sini sampai ada jalan lain yang jelas.”

Pak RW mengernyit. “Jadi… Ustadz tidak tinggal di rumah wakaf itu lagi?”

“Tidak,” jawab Kyai Huda mantap. “Saya yang menjamin.”

Ustadz Fathur menunduk hormat. “Saya nurut, Yai. Apa pun keputusan panjenengan.” ia tahu Kyai Huda belum diberitahu soal

Pak RW menarik napas panjang. “Kalau begitu, saya anggap urusan ini selesai.”

Namun sebelum berdiri, ia menatap Ustadz Fathur tajam. “Ingat, Ustadz. Jangan bikin kegaduhan di kampung.”

“InsyaAllah, Pak,” jawab Ustadz Fathur tenang.

Pak RW pun berpamitan.

Saat langkahnya menjauh, Kyai Huda menatap Ustadz Fathur lama.

“Jalanmu tidak akan mudah, Fathur,” ucapnya pelan. “Tapi kalau niatmu lurus, Allah tidak akan meninggalkanmu.”

Ustadz Fathur mengangguk.

Di dadanya, ada beban baru... namun keyakinannya tetap berdiri kokoh.

Ustadz Fathur berdiri di hadapan Kyai Huda setelah Pak RW meninggalkan ndalem.

Suasana terasa sunyi, menyisakan rasa yang tak terucap. “Saya pamit dulu, Yai,” ucap Ustadz Fathur pelan, menundukkan kepala.

Kyai Huda menghela napas panjang sebelum menjawab. “Iya, Thur. Malam nanti kembali ke sini saja.”

Nada suaranya tenang, namun ada gurat kecewa yang tak bisa disembunyikan.

Dulu, Kyai Huda sendiri yang sengaja menempatkan Ustadz Fathur di kampung itu.

Perlahan tapi pasti, perubahan terjadi. Warga yang dulu hanya percaya pada petuah turun-temurun mulai diarahkan pada ilmu dan pemahaman agama yang lurus.

Namun kini, dengan satu kalimat penolakan halus dari Pak RW, semua seolah dipatahkan.

Kyai Huda bukan marah.

Hanya… kecewa.

“Maafkan saya, Yai,” ujar Ustadz Fathur lirih.

Kyai Huda menatapnya lama. “Ini bukan salahmu, Nak. Kadang yang benar tidak selalu diterima dengan lapang. Kamu terap bisa syiar di sana, hanya tempat tinggal saja yang harus pindah.”

Ustadz Fathur mengangguk.

“Baik, Yai.”

Ia berbalik melangkah, langkahnya tenang tapi hatinya bergetar.

Di dadanya ada rasa sakit yang sulit dijelaskan... perasaan menjadi seseorang yang tidak benar-benar memiliki tempat pulang.

Ia tak punya rumah yang bisa ia sebut miliknya sendiri. Tak ada halaman yang selalu menunggunya setiap sore. Namun ia sadar, keputusan besar telah ia ambil.

Menikah.

Membina rumah tangga.

Menghadapi segala konsekuensi.

Dan tanggung jawab itu tidak boleh ia tinggalkan, meski hatinya perih.

Di belakangnya, Kyai Huda memandang punggung Ustadz Fathur yang menjauh.

“Ya Allah,” gumamnya pelan, “jaga anak ini. Jangan biarkan kebaikannya dibalas dengan luka.”

Langit sore kian meredup.

Sementara Ustadz Fathur melangkah pergi, membawa keyakinan... bahwa meski jalannya sunyi, ia tetap harus berjalan.

Ustadz Fathur melangkah ke parkiran, menaiki motornya dan pulang menyusuri jalan kampung yang mulai lengang. Langit sore berwarna jingga pucat, angin membawa aroma tanah dan kayu bakar dari rumah-rumah warga.

Langkahnya melambat saat ia melintasi rumah Pak Hadi.

Dari depan gerbang, terdengar suara yang sangat familiar.

“Eh! Kamu ya! Iya kamu!” Aira berdiri dengan kedua tangan di pinggang, wajahnya ditekuk kesal.

“Kok buang air di keset sih? Itu keset tamu, tahu gak? Tamu loh, bukan tamu kucing!”

Seekor kucing oren duduk santai di depan pintu, hanya mengeong pelan, ekornya mengibas malas. Tatapannya seolah tak merasa bersalah sama sekali.

“Meong…”

“Jangan ‘meong-meong’ doang! Ini bukan toilet umum!” Aira menuding keset dengan wajah sebal. “Dasar kucing gak tahu adat!”

Ustadz Fathur spontan berhenti.

Bibirnya terangkat tanpa ia sadari.

Ada kehangatan yang menjalar di dadanya, perlahan tapi nyata.

Bukan karena kejadian itu lucu semata, melainkan karena… Aira.

Perempuan itu, dengan segala kekonyolannya, tetap menjadi pemandangan yang menenangkan. Cara Aira mencak-mencak pada kucing yang sama sekali tak paham membuat Ustadz Fathur merasa... entah kenapa... pulang.

Aira baru menyadari keberadaan seseorang di luar gerbang saat kucing itu tiba-tiba berlari menjauh.

Ia menoleh.

Deg.

“Ustadz…” Suaranya refleks melembut, meski wajahnya langsung memerah. “Sejak kapan di situ?”

“Baru lewat,” jawab Ustadz Fathur lembut. “Kayaknya… kucingnya kalah debat.”

Aira mendecak.

“Iya lah. Dia tuh keras kepala. Dibilangin baik-baik juga gak paham.”

Ustadz Fathur terkekeh pelan, sesuatu yang jarang ia lakukan. “Insya Allah nanti paham.”

Aira melipat tangan. “Kalau nanti masih bandel, aku laporin Mama aja.”

Tawa kecil Ustadz Fathur kembali lolos.

Hangat. Sangat hangat.

Di saat hatinya baru saja terluka oleh penolakan dan rasa tak memiliki tempat, pemandangan sederhana di depan rumah Aira itu seperti penawar.

Untuk pertama kalinya sore itu, ia merasa... keputusan besarnya tidak sepenuhnya menakutkan.

Dan Aira… tanpa sadar, sudah mulai menjadi rumah.

Ustadz Fathur melanjutkan langkahnya hingga tiba di rumah wakaf itu.

Rumah sederhana dengan dinding yang mulai kusam dan lantai keramik sederhana. Tempat yang selama ini ia sebut pulang... meski sejak awal ia tahu, pulang itu sifatnya sementara.

Ia membuka pintu perlahan.

Suara engsel berderit pelan menyambutnya.

Ustadz Fathur berdiri sejenak di ambang pintu, menghela napas panjang, lalu masuk. Tanpa menunda, ia menuju kamar kecil di sudut rumah. Lemari kayu tua dibuka. Isinya tak seberapa—beberapa baju koko, sarung, celana, dan satu jaket tipis.

Ia mulai melipatnya dengan rapi.

Setiap lipatan terasa seperti mengakhiri satu fase. Tidak ada amarah, tidak ada perlawanan. Hanya rasa perih yang dipendam rapi, sebagaimana ia terbiasa menyimpan luka.

“Bukan rezeki menetap,” gumamnya lirih. “Mungkin hanya rezeki singgah.”

Setelah pakaian masuk ke dalam tas, Ustadz Fathur mengambil sapu. Ia menyapu lantai rumah itu dengan tenang, membersihkan debu-debu yang menumpuk. Rak kecil ia lap. Jendela ia buka agar udara sore masuk.

Rumah itu akan ia tinggalkan, tapi tidak dalam keadaan kotor.

Ia membersihkan bukan karena diminta... melainkan karena adab.

Menjelang magrib, azan dari masjid terdengar sayup, lalu semakin jelas. Ustadz Fathur menghentikan pekerjaannya. Ia berdiri menghadap arah suara, dadanya terasa lapang sekaligus perih.

Keputusannya sudah bulat.

Ia tidak akan tinggal di rumah ini lagi.

Tapi ia juga tidak akan meninggalkan masjid itu.

“Masjid bukan milik siapa-siapa,” bisiknya. “Dan dakwah bukan soal tempat tinggal.”

Ia akan pulang-pergi dari pondok. Setiap subuh, setiap magrib, setiap waktu yang Allah beri, ia akan tetap datang. Mengajar anak-anak mengaji. Menjadi imam jika diminta. Menyampaikan kebaikan walau dengan langkah yang lebih jauh dan tubuh yang lebih lelah.

Karena syiar bukan tentang kenyamanan.

Melainkan tentang tanggung jawab.

Ustadz Fathur menutup pintu rumah wakaf itu dengan pelan, mengunci, lalu menyimpan kuncinya di tempat semula. Ia mengangkat tasnya, melangkah menuju masjid.

Langit mulai gelap.

Dan di dalam dadanya, tekad itu justru semakin terang.

***

"Yah, Ustadz. Bagaiamana ngaji saya?"

"Iya Ustadz. Jangan pindah."

"Kami di sini sudah terarahkan. Lalu bagaimana pernikahannya dengan Neng Aira?"

Bersambung

1
Ilfa Yarni
loh knp kaget ustadz itu kan istrimu
Jihan Wati
penasaran malam pertama🤣
Ilfa Yarni
wah siapa tuh yg dtg tmn Aira yg dr kota itu ya
octa viani
lanjut min
Ilfa Yarni
duh aja aja yg julid ga senang liat orang bahagia
Ilfa Yarni
hahahahaha lg sedang guvupnua msh bisa jwb Pontan yg bikin orang ketawa dasar aira ustadz Fatur bisa awet muda trus nih di samping aira krn tertawa trus liat tingkah istrinya
Ilfa Yarni
aura serius dikit napa kn udah sah jd istri ustadz Fatur senyum dong jgn kaget begitu
Ilfa Yarni
dasar aira dia mau nikah msh aja bangun siang saudara ra sadar mau manten jadi istri ustadz fathur
Ilfa Yarni
semoga pernikahan Aira lancar ga sabar malam pengantin mereka rame kali ya hehe
Ilfa Yarni
hadeeh ada lg yg julid modelan seperti aura ini yg bikin suasana jadi, hidup dan berwarna ngerti tidak, wahai julid apa jgn2 anda iri dengki ya pasti itu sijulid pak rw dah
Ilfa Yarni
takut klo km nanti kecewa neng azwa
Ilfa Yarni
pernikahan tetap terjadi mknya ustadz fathur pindah itu rmh bukan haknya nanti setelah menikah dia tinggal drmh Aira kok
Ilfa Yarni
aduh ini pak rw knp ga bagus ya sifatnya ga cocok nih jd rw ga bisa jadi teladan ini mah apakah yai Huda kembaran pak jadi ya makin penasaran ceritanya
Ilfa Yarni
loh kok pd kaget liat aira ada apa kyai huda kok aku yg penasaran dan deg degan
Ilfa Yarni
mang niat baik itu ada aja rintangannya
Ilfa Yarni
bahahahahaha lucu banget aira
Ilfa Yarni
hahahaha lucu banget sih Aira ustadz Fatur nakal terrpingkal2 ketawa ga ya atau ngurut dada liat kerandoman aira
Jihan Wati
🤣🤣🤣
Ilfa Yarni
dasar Aira random alias bar bar bikin ketawa trus nanti ustadz fathur awet muda deh dgn tingkah Aira yg random
Ijah Khadijah: Terima kasih kak
total 1 replies
Ilfa Yarni
aku kli baca cerita Aira ini ketawa sendiri ada aja celotehannya itu nanti ustdz Fatur bisa awet muda nikah sama aira
Ijah Khadijah: Iya kakak😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!