NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27: Runtuhnya Benteng Terakhir

​Tiga hari setelah Bara keluar dari rumah sakit, Penthouse-nya yang biasanya sunyi menjadi sedikit lebih hidup.

​Kaluna mengambil alih peran sebagai perawat pribadi. Ia datang setiap pagi sebelum ke kantor (atau bekerja jarak jauh dari meja makan apartemen) untuk memastikan Bara meminum obatnya dan tidak melakukan gerakan bodoh dengan tangan kirinya yang digips.

​Siang itu, saat Kaluna sedang menyuapi Bara buah potong—karena Bara bersikeras tangannya "terlalu lemah" untuk memegang garpu, padahal tangan kanannya sehat walafiat—ponsel Bara berdering.

​Nama Mbok Nah (kepala asisten rumah tangga di rumah orang tua Bara) muncul di layar.

​Bara menghela napas panjang, meletakkan ponsel itu di meja dengan layar menghadap ke bawah.

​"Nggak diangkat?" tanya Kaluna.

​"Nggak penting. Paling disuruh pulang buat dengar ceramah Mama lagi," jawab Bara ketus, mengunyah apelnya.

​"Angkat dulu, Bar. Mbok Nah jarang menelepon kalau nggak darurat. Biasanya beliau cuma WA," desak Kaluna.

​Bara mendengus, tapi akhirnya menuruti Kaluna. Ia menggeser tombol hijau dan menyalakan loudspeaker.

​"Halo, Mbok?"

​"Den Bara..." suara tua di seberang sana terdengar panik dan terisak. "Den, tolong pulang... Ibu, Den..."

​Jantung Bara berdegup kencang. "Kenapa dengan Mama?"

​"Ibu pingsan di kamar mandi tadi pagi. Tensi darahnya naik sampai 200. Dokter pribadi sudah datang, tapi Ibu menolak dibawa ke rumah sakit. Ibu ngigau manggil nama Den Bara terus..."

​Wajah Bara mengeras. Ada kilatan kekhawatiran di matanya, tapi segera tertutup oleh tembok pertahanan diri.

​"Bilang sama dokter, kasih obat penenang. Saya sibuk," ucap Bara dingin.

​Kaluna membelalak. Ia merebut ponsel itu dari tangan Bara.

​"Mbok Nah, ini Kaluna. Tolong pastikan Ibu minum obatnya. Kami akan segera ke sana," ucap Kaluna tegas, lalu mematikan sambungan.

​"Kaluna!" protes Bara. "Aku nggak mau ke sana. Mama cuma drama. Dia pasti mau manipulasi aku lagi supaya minta maaf ke Siska."

​"Siska sudah nggak ada, Bara. Kamu sudah menang," Kaluna menangkup wajah Bara dengan kedua tangannya, memaksanya menatap lurus. "Dengarkan aku. Ibumu sakit beneran. Tensi 200 itu bahaya, bisa stroke seperti Papamu. Kamu mau menyesal seumur hidup kalau terjadi apa-apa?"

​"Dia nggak peduli padaku, Lun. Dia cuma peduli ambisinya."

​"Dia ibumu," potong Kaluna lembut. "Seburuk apa pun dia, dia yang melahirkanmu. Dan sekarang dia sendirian di rumah besar itu. Papamu di Singapura, kamu di sini. Dia kesepian, Bar."

​Bara memalingkan wajah, rahangnya berkedut menahan emosi.

​"Ayo," ajak Kaluna, mengambil kunci mobil Bara. "Aku yang nyetir. Kamu duduk manis. Kita jenguk sebentar saja. Kalau dia mulai bicara jahat, kita langsung pulang. Oke?"

​Bara menatap Kaluna lama. Wanita ini... wanita yang pernah diusir dan dihina ibunya, justru sekarang yang memaksanya untuk pulang. Hati Kaluna terbuat dari apa?

​"Oke," gumam Bara akhirnya, menyerah. "Tapi jangan jauh-jauh dari aku."

​Rumah besar keluarga Adhitama di kawasan Menteng terasa seperti mausoleum. Dingin, sepi, dan berbau obat-obatan.

​Mbok Nah menyambut mereka di pintu depan dengan mata sembab. "Alhamdulillah Den Bara pulang... eh, ada Non Kaluna juga?"

​Mbok Nah tampak kaget, tapi segera tersenyum lega. Ia tahu sejarah mereka. "Mari, Den, Non. Ibu di kamar."

​Bara berjalan kaku menaiki tangga melingkar yang megah itu. Kaluna mengikutinya, meremas tangan kanan Bara untuk memberinya kekuatan.

​Pintu kamar utama terbuka.

​Di atas ranjang besar bergaya Eropa klasik, Ratna Adhitama terbaring lemah. Tidak ada make-up tebal, tidak ada sanggul sasak tinggi, tidak ada kebaya sutra. Hanya seorang wanita tua yang rapuh dengan rambut beruban yang berantakan dan wajah pucat pasi.

​Melihat kondisi ibunya, langkah Bara terhenti di ambang pintu. Kemarahannya menguap seketika, digantikan rasa iba.

​"Ma?" panggil Bara pelan.

​Ratna membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi saat melihat sosok tegap di pintu, air mata langsung mengalir dari sudut matanya.

​"Bara..." bisik Ratna serak. Tangan keriputnya terulur lemah.

​Bara mendekat, duduk di tepi ranjang, dan menggenggam tangan ibunya. "Aku di sini, Ma."

​"Kamu pulang... Mama pikir kamu sudah buang Mama..." isak Ratna.

​"Aku cuma sibuk, Ma," jawab Bara singkat, tidak ingin membahas pertengkaran terakhir mereka di kontainer.

​Mata Ratna beralih ke sosok di belakang Bara. Kaluna berdiri sopan di dekat pintu, tidak ingin mengganggu momen ibu dan anak.

​"Kaluna..." panggil Ratna.

​Kaluna tersentak. "Ya, Bu?"

​"Sini..."

​Kaluna melirik Bara. Bara mengangguk. Kaluna berjalan mendekat, berdiri di samping Bara.

​Ratna menatap Kaluna lamat-lamat. Tatapan itu berbeda dari biasanya. Tidak ada kebencian. Hanya ada penyesalan yang mendalam.

​"Siska..." Ratna memulai cerita dengan suara gemetar, "kemarin dia datang ke sini. Dia memaki-maki Mama. Dia bilang Mama wanita tua bodoh yang tidak becus mendidik anak. Dia melempar vas bunga kesayangan Mama ke dinding."

​Bara mengepalkan tangannya. "Siska melakukan itu?"

​Ratna mengangguk lemah. "Dia menagih kembali semua hadiah yang pernah dia kasih. Tas, perhiasan... dia ambil semuanya paksa. Dia bilang keluarga Adhitama sekarang miskin dan tidak level dengannya."

​Air mata Ratna menetes makin deras.

​"Mama baru sadar, Bar... selama ini Mama memelihara ular," Ratna terisak. "Mama silau sama hartanya. Mama pikir dia wanita terhormat yang bisa menjaga martabat keluarga kita. Ternyata... dia cuma preman bergaun mahal."

​Ratna menoleh pada Kaluna.

​"Sedangkan kamu..." Ratna menatap Kaluna dengan mata basah. "Kamu yang saya hina, kamu yang saya usir, kamu yang saya ancam... justru kamu yang merawat anak saya saat dia celaka. Kamu yang menemani dia saat dia jatuh. Dan sekarang... kamu yang membujuk dia pulang ke sini, kan?"

​Kaluna tidak menjawab, hanya menunduk.

​"Saya dengar semuanya dari Pak Hadi," lanjut Ratna. "Bagaimana kamu berjuang mempertahankan desain hotel, bagaimana kamu tetap di samping Bara meski dia bangkrut."

​Tangan Ratna yang gemetar meraih tangan Kaluna. Kulit mereka bersentuhan—kulit keriput sang Nyonya Besar dan kulit halus sang Arsitek yang dulu dianggap tidak pantas.

​"Maafkan saya, Kaluna," ucap Ratna. Dua kata yang sepertinya sangat sulit keluar dari mulutnya selama ini. "Saya salah menilai kebahagiaan. Saya pikir uang adalah segalanya. Ternyata... ketulusan itu yang mahal."

​Kaluna merasakan tenggorokannya tercekat. Permintaan maaf ini... adalah hal yang tidak pernah ia harapkan, namun ternyata sangat ia butuhkan untuk menutup luka batinnya.

​"Saya sudah memaafkan Ibu," jawab Kaluna tulus, meremas pelan tangan Ratna. "Yang penting sekarang Ibu sembuh. Bara butuh Ibunya."

​Bara menunduk, menyembunyikan wajahnya di tangan ibunya. Bahunya berguncang.

​"Maafkan Bara juga, Ma," bisik Bara. "Bara kasar sama Mama waktu itu."

​"Nggak, Sayang. Kamu benar," Ratna mengelus kepala anaknya yang diperban. "Kamu berhak marah. Mama yang egois."

​Ratna menarik napas panjang, seolah melepaskan beban berat yang menghimpit dadanya selama bertahun-tahun.

​"Bara," panggil Ratna.

​"Ya, Ma?"

​"Nikahi dia," perintah Ratna tegas, meski suaranya lemah.

​Bara dan Kaluna sama-sama terbelalak.

​"Ma?"

​"Jangan tunggu Mama mati baru kalian nikah," ujar Ratna. "Mama sudah capek ngurusin perjodohan. Mama cuma mau lihat kamu bahagia, Bar. Dan jelas-jelas..." Ratna melirik Kaluna, "...bahagiamu itu dia."

​Ratna menatap Kaluna lagi.

​"Kaluna, tolong terima anak saya yang keras kepala ini ya. Dia mungkin sekarang cuma CEO boneka, gajinya nggak seberapa, tangannya patah pula. Tapi..." Ratna tersenyum tipis, "...dia laki-laki paling setia yang pernah saya tahu. Persis Papanya."

​Wajah Kaluna memerah padam, sementara Bara tersenyum lebar—senyum paling lega yang pernah ia miliki.

​"Jadi... gimana, Lun?" tanya Bara menggoda, menoleh pada Kaluna. "Udah dapat restu nih. Masih mau nolak?"

​Kaluna tertawa kecil, air mata haru menetes di pipinya. Ia menatap Bara, lalu menatap Ratna.

​"Saya nggak pernah nolak Bara, Bu. Bara yang ninggalin saya di pinggir jalan tol Cirebon kemarin," canda Kaluna.

​"Itu karena kamu nyetel lagu rock!" bela Bara.

​Ruangan yang tadinya suram itu kini terasa hangat. Tawa kecil terdengar di antara isak tangis yang mereda. Benteng terakhir yang memisahkan mereka—restu orang tua—akhirnya runtuh, bukan karena serangan, tapi karena ketulusan.

​Sore itu, Kaluna memasakkan bubur sumsum untuk Ratna. Bara menyuapi ibunya (dengan tangan kanan yang canggung), sementara Kaluna membacakan berita positif tentang progres hotel.

​Mereka belum menjadi keluarga yang sempurna. Masih banyak canggung, masih banyak luka yang perlu kering. Tapi setidaknya, mereka sudah berada di halaman buku yang sama.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!