Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Reina terpaksa mengangkat tangannya untuk berpegangan pada tubuh suaminya, mencengkeram ringan di sisi lengan dan bahu Aditya agar dirinya tidak kehilangan keseimbangan. Detak jantungnya terasa begitu keras hingga ia hampir bisa mendengarnya menggaung di dalam telinganya sendiri. Nafasnya tercekat karena ciuman Aditya semakin dalam, semakin kuat, dan membuat suhu tubuhnya meningkat drastis.
Ciuman itu seperti menyampaikan sesuatu yang tidak terucap. Sebuah kepemilikan, Sebuah penerimaan dan sebuah keputusan.
Aditya tidak mengherankan ciumannya, bahkan ketika ia mulai menggerakkan tubuh Reina untuk perlahan mundur. Tangan Aditya tetap berada di wajah istrinya, sementara tubuhnya membimbing Reina beberapa langkah ke belakang. Reina mengikuti tanpa sadar, dan tenggelam dalam sensasi yang membuat kakinya seolah berjalan sendiri.
Setiap langkah terasa menegangkan, seolah ia mendekati garis tipis yang memisahkan kehidupannya sebelum dan sesudah malam ini.
Hingga punggung kaki Reina akhirnya menyentuh tepi ranjang.
Dan dalam satu gerakan yang terjadi sangat alami, tubuh Reina terjatuh perlahan di atas kasur, namun tidak pernah terlepas dari alunan ciuman Aditya. Aditya mengikuti gerakan itu bukan dengan terburu-buru, melainkan dengan ritme yang selaras hingga membuat tubuh mereka berdua sama-sama jatuh ke ranjang dengan sangat lembut.
Ranjang itu berguncang pelan, dan membuat kelopak mawar yang berserakan di atasnya berhamburan mengikuti gerakan mereka.
Reina membuka matanya ketika Aditya akhirnya menghentikan ciumannya. Nafasnya yang tersengal-sengal membuat dadanya terangkat dan turun dengan cepat. Wajahnya memerah, bibirnya sedikit bergetar, dan matanya belum sepenuhnya sanggup menatap langsung ke arah suaminya. Namun Aditya menahan sisi wajahnya, membuat Reina tidak bisa memalingkan pandangannya lebih lama.
Untuk sesaat, Aditya diam. Tatapannya mempelajari wajah Reina, memperhatikan rona merah di pipinya, cara napas istrinya memburu, dan betapa gugup namun beraninya wanita itu untuk tetap menatap balik meski hanya beberapa detik.
Kemudian, dengan suara berat yang menggema lembut di ruang kamar yang temaram dan harum melati itu, Aditya berkata:
“Reina…” Ia mengusap pipi istrinya pelan dengan ibu jarinya. “Mari kita buat anak kita sendiri.”
Reina membeku.
Aditya melanjutkan perkataannya dan menatapnya tanpa berkedip.
“Anak yang kelak akan membuat hubungan kita semakin erat.”
Ia menunduk sedikit mendekati wajah Reina.
“Dan menjadi pewaris satu-satunya keluarga Wiranegara.”
Kata-kata itu menghantam jantung Reina dengan keras, membuat kedua matanya perlahan melebar. Bukan karena ketakutan—melainkan karena beratnya makna perkataan Aditya itu. Karena keinginan Aditya barusan bukan keinginan yang biasa. Itu bukan sekadar keintiman suami dan istri.
Itu adalah pengakuan.
Bahwa Aditya menginginkan masa depan bersamanya. Bahwa ia ingin membangun keluarga dengannya. Bahwa ia memilih Reina.
Bukan Alisha. Bukan wanita mana pun. Hanya Reina.
Reina ingin mengatakan sesuatu, menanyakan, memastikan, atau sekadar menyahut, namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Tenggorokannya terlalu sempit oleh rasa haru, gugup, dan sebuah kehangatan baru yang muncul di dadanya.
Melihat itu, Aditya hanya bisa tersenyum kecil. Senyum itu sangat tipis, hampir tidak terlihat, namun bisa membuat Reina melihatnya dan senyum itu cukup untuk membuat sesuatu di dalam hatinya bergetar halus.
"Aku ingin kau tahu bahwa aku menginginkan ini. Menginginkan kita bisa secepatnya punya anak sekaligus membangun keluarga kecil kita yang bahagia.” bisik Aditya dengan menggoda dan membuat Reina menelan ludahnya dengan pelan sekali.
Dan meski tidak ada kata yang keluar, Reina akhirnya mengangguk kecil, tanpa dipaksa, tanpa takut, hanya dengan keyakinan yang menyelinap masuk ke dalam dirinya setelah mendengar kata-kata suaminya barusan sekaligus membuat Aditya tersenyum saat mengetahui jawaban Reina atas keinginannya yang ingin memiliki anak itu.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/