Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang Tunggu Kematian
Suara pintu UGD terbuka menginterupsi keheningan tegang yang menyelimuti Roy dan Pramudya. Seorang wanita dengan langkah tergesa dan raut wajah khawatir muncul dari balik pintu itu.
Rambutnya sedikit berantakan, dan ia mengenakan pakaian seadanya, seolah baru saja meninggalkan rumah dengan terburu-buru. Itulah Shila, istri Roy. Ia menoleh ke sekeliling, mencari sosok suaminya. Tatapan matanya yang cemas langsung menangkap Roy yang duduk tertunduk, dan Pramudya di sampingnya.
Shila menghampiri mereka dengan cepat. "Roy! Bagaimana Nika? Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, pandangannya beralih antara Roy dan Pramudya. Berita tentang Nika yang kritis membuatnya tak bisa diam di rumah. Shila memang baru mengenal Nika karena kesalahpahaman waktu itu , tetapi nalurinya sebagai sesama wanita dan seorang ibu membuatnya merasa ikut prihatin dengan kejadian yang menimpa Nika.
Roy mengangkat kepalanya, matanya merah karena menahan kantuk dan cemas. "Sayang? Kamu sudah sampai? Nika... dia pendarahan hebat. Kondisinya kritis, Shila. Dokter sedang berusaha menyelamatkan dia dan bayinya." Suara Roy terdengar lirih, penuh keputusasaan.
Shila menutup mulutnya dengan tangan, terkejut mendengar betapa seriusnya kondisi Nika. Ia tahu Nika sedang hamil, dan mendengar kata "bayinya" membuat hatinya ikut mencelos. Terlepas kesalahpahaman menuduh Nika sebagai selingkuhan Roy, Shila tidak bisa mengabaikan rasa kemanusiaannya. Ia tahu Nika sedang dalam bahaya besar.
Pramudya, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, kini menatap Shila. "Terima kasih sudah datang, Shila," katanya, suaranya serak. "Gue nggak tahu lagi harus berbuat apa."
Shila memaksakan senyum tipis, mencoba menenangkan dirinya sendiri dan juga kedua pria di hadapannya. "Tidak apa-apa, Pram. Gue akan menunggu di sini bersama kalian.
"Kamu kesini bagaimana dengan Mey? " tanya Roy kepada Shila, sedikit mengkhawatirkan putri mereka yang masih bayi.
"Mama akan menjaganya. Jangan khawatirkan itu," jawab Shila, kemudian mengusap wajahnya lelah.
Ketiganya larut dalam keheningan yang mencekam, hanya sesekali diselingi suara pengumuman dari pengeras suara rumah sakit atau derit roda brankar yang melintas.
Pramudya bangkit dan mondar-mandir, tak bisa duduk tenang. Shila sesekali menoleh ke arah pintu UGD, berharap ada kabar baik. Roy hanya terdiam, pandangannya kosong menatap lantai.
Beberapa jam berlalu terasa seperti selamanya. Ketegangan semakin memuncak. Mereka sesekali mencoba berbicara, tetapi tidak ada kata-kata yang bisa menghilangkan kegelisahan yang membelenggu mereka. Pikiran Pramudya dipenuhi penyesalan dan ketakutan.
Ia membayangkan skenario terburuk, dan itu membuatnya mual. Shila, meskipun bukan keluarga kandung Nika, merasakan empati yang mendalam.
Ia membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Nika, berjuang antara hidup dan mati, dan itu membuatnya ingin menangis. Roy, di sisi lain, bergulat dengan rasa bersalah yang menusuk. Kejadian ini, secara tidak langsung.
Beberapa jam yang terentang terasa seperti abadi, setiap detiknya mencabik saraf. Di antara derit roda brankar dan gumaman pengumuman rumah sakit, keheningan di antara Roy, Shila, dan Pramudya adalah badai yang tertahan. Pramudya, bak singa yang terperangkap, mondar-mandir, bayangan skenario terburuk memuntir isi perutnya. Shila menahan napas, empati seorang ibu merobek hatinya. Sementara Roy, diliputi rasa bersalah yang menusuk, menatap lantai seolah mencari jawaban di kedalaman ubin porselen.
Lalu, pintu itu terbuka.
Dokter yang menangani Nika muncul, wajahnya lelah, namun sorot matanya kini membawa ketenangan yang menampar ketegangan. Tiga sosok yang nyaris membeku itu serentak bangkit, memburunya dengan tatapan yang memohon.
"Bagaimana, Dok?" Suara Pramudya tercekat di tenggorokan, lebih seperti bisikan putus asa.
Dokter itu menghela napas, panjang, dalam. "Pendarahannya... sudah berhasil kami kendalikan. Pasien Arunika telah stabil, dan kami sudah memindahkannya ke ruang perawatan intensif untuk observasi."
Seolah ada tangan raksasa yang baru saja melepaskan cekalan di dada mereka, tiga helaan napas lega berembus bersamaan. Roy menutup mata, mengucapkan syukur yang bergetar. Air mata lega Shila menetes, membasahi pipi.
Namun, jeda itu segera dihancurkan oleh pertanyaan Roy yang mengandung harapan dan ketakutan yang sama besar:
"Lalu... bagaimana dengan bayinya, Dok?"
Dokter terdiam sejenak. Keheningan itu kembali menelan segalanya, memompa kecemasan mereka hingga ke ambang batas. Ia menatap mereka satu per satu, wajahnya serius, sebelum kata-kata itu keluar.
"Untuk bayinya... Kami berhasil menyelamatkannya. Detak jantungnya normal, dan pendarahan di rahim telah berhenti." Dokter itu berhenti, lalu menelan ludah. "Namun, kami menemukan residu obat peluruh kandungan di tubuh pasien. Ini yang menyebabkan pendarahan hebat. Syukurlah intervensi kami tepat waktu. Kami akan memantau kondisi janin ketat dalam beberapa hari ke depan."
Kabar itu menghantam mereka bukan seperti palu, melainkan seperti petir yang menyambar di hari yang cerah.
Napas Pramudya tercekat. Roy merasakan seluruh kekuatannya menguap, kakinya goyah. Shila menutup mulutnya, air mata lega yang tadi ada kini membeku digantikan oleh kengerian dan keterkejutan.
Obat peluruh kandungan?
"Obat... peluruh kandungan?" ulang Pramudya, suaranya bergetar, diselimuti rasa tidak percaya yang dingin.
Dokter mengangguk tegas. "Ya. Dari hasil pemeriksaan. Kami akan menyelidiki bagaimana pasien mengonsumsi zat tersebut."
Rasa bersalah yang tadi memberati Roy seketika bercampur dengan kemarahan yang membingungkan. Nika mencoba... membunuh bayinya sendiri?
"Bisakah kami melihatnya?" Shila bersuara, berhasil mengendalikan nada emosinya.
Dokter mengizinkan satu orang masuk. Roy menatap Pramudya, tatapan matanya menjadi perintah. Pramudya mengangguk, matanya kosong, namun tekadnya membara. Ia mengikuti dokter menuju ruang perawatan intensif, meninggalkan Roy dan Shila dalam badai kebingungan yang baru.
Di dalam ruangan yang diterangi cahaya redup, hanya suara monitor detak jantung yang berirama konstan yang memecah kesunyian. Nika terbaring lemah, wajahnya pucat pasi, namun matanya perlahan terbuka saat Pramudya mendekat. Tatapan mereka bertemu. Air mata Nika langsung tumpah, sunyi, namun penuh kepedihan.
Pramudya duduk. Hatinya bergolak, perpaduan antara kelegaan yang getir dan kepahitan dari kenyataan yang baru ia dengar. Setelah menghela napas panjang untuk menguatkan dirinya, ia melontarkan pertanyaan yang telah menjadi palu godam di benaknya:
"Nika," ia memulai, suaranya keras, tajam, dan tidak menyisakan ruang untuk basa-basi. "Dokter bilang... mereka menemukan obat peluruh kandungan di tubuhmu. Katakan padaku... APA YANG TERJADI?"
Mata Nika terbelalak panik. Wajahnya berubah drastis dari kelegaan menjadi kengerian yang sesungguhnya. "Obat peluruh kandungan? Apa maksudmu, Pram? Aku bersumpah... Aku tidak pernah menyentuh obat seperti itu!" Ia mencoba bangkit, sebuah gerakan putus asa yang menyakitkan.
"Tapi ada residunya, Nika!" desak Pramudya, tatapannya menusuk, menuntut kebenaran.
Nika menggeleng lemah, air mata mengalir deras. "Aku tidak akan pernah menyakiti bayiku, Pram! Aku bersumpah!"
"Aku tidak mengerti, Nik!" Suara Pramudya parau dengan rasa dikhianati. "Kenapa kamu lakukan ini sekarang? Kenapa tidak sejak awal?! Aku sudah siap bertanggung jawab atas kalian berdua! KENAPA, NIKA?!"
Nika menatapnya, matanya menyala dalam kesakitan yang tulus. "Aku... tidak pernah melakukan itu, Pram..."
"Tapi... residunya..."
"Tunggu! Kemarin siang... ada kurir yang datang. Dia bilang itu makanan darimu, Pram. Ayam goreng crispy." Nika terengah. "Aku sangat lapar dan mual seharian... Mencium aroma itu membuatku langsung memakannya. Itu satu-satunya yang kumakan dari luar..."
Pramudya terdiam, kalimat Nika menciptakan jurang kegelapan di benaknya. Ayam goreng crispy? Ia tidak mengirimkan apa-apa. Jantungnya mencelos. Rasa pahit dari pengkhianatan lenyap, digantikan oleh firasat dingin yang menusuk.
Bukan Nika yang melakukannya. Seseorang yang lain.
Seseorang telah dengan sengaja meracuni Nika, mengemasnya sebagai 'hadiah' darinya. Sebuah jebakan yang keji.
Wajah Pramudya mengeras. Matanya kini tidak lagi dipenuhi keraguan, melainkan oleh kemarahan yang membara dan tekad yang dingin. Siapa yang begitu kejam? Dan mengapa harus dengan cara yang paling menghancurkan ini?