Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sandiwara yang Rusak
Menghancurkan segalanya.
Gunawan mematung, ponsel di tangannya terasa seperti bara api yang membakar. Matanya tak lepas dari foto lama itu: ia, remaja belasan tahun, tersenyum canggung di depan gerobak rujak yang sudah usang, di samping seorang gadis berwajah sinis yang kini ia yakini adalah wanita ‘penguji’ di semifinal.
Wanita yang telah mengusik ketenangannya, wanita yang entah mengapa ia sama sekali tidak bisa ingat. Siapa dia? Dan rahasia apa yang mereka bagi di masa lalu?
“Gun…” Dewi terisak, suaranya pecah,
“Itu… itu siapa?”
Gunawan tidak bisa menjawab. Pikirannya kalut, berputar-putar mencari kepingan memori yang hilang. Ia mencoba menyatukan potongan-potongan teka-teki itu, namun kepalanya hanya dipenuhi kabut. Rasa ngeri mencengkeramnya.
Sebuah ancaman dari masa lalu yang tak dikenalnya, datang di saat mereka baru saja mencapai puncak kebohongan. Ini adalah lubang hitam yang siap menelan mereka bulat-bulat.
Malam itu terasa panjang, penuh bisikan ketakutan dan pertanyaan tanpa jawaban. Mereka berdua duduk di samping gerobak yang kini terasa dingin dan asing, terbungkus kegelapan dan kegelisahan. Dewi, setelah tangisnya reda, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang foto itu, tentang wanita itu. Gunawan hanya bisa menggelengkan kepala, mengakui ketidakmampuannya untuk mengingat. Ini bukan hanya sandiwara yang terancam, ini adalah identitasnya sendiri yang dipertaruhkan.
Keesokan harinya, tekanan yang mereka rasakan semakin menggila. Jika kemarin lapak mereka hanya dikepung wartawan, hari ini terasa seperti badai yang lebih besar. Sebuah panggung kecil dan lampu sorot raksasa sudah dipasang di depan gerobak mereka, mengubah suasana lapak menjadi studio siaran langsung. Tim produksi televisi nasional yang berlogo ‘Cinta di Kaki Lima’ bergerak cepat, memasang kabel, mengatur kamera, dan mengecek suara. Aroma seblak dan rujak kini berbaur dengan bau keringat kru televisi dan parfum mewah para jurnalis.
“Selamat pagi, Bapak Gunawan, Ibu Dewi!” sapa seorang jurnalis wanita berambut bob pendek dan berwajah ramah namun tajam, mengenakan blazer merah menyala. Namanya Mbak Rina, pembawa acara utama program mereka.
“Sudah siap untuk siaran langsung perdana ‘Cinta di Kaki Lima’ hari ini?”
Dewi memaksakan senyum, sementara tangannya mencengkeram lengan Gunawan erat-erat di balik gerobak. Tatapan matanya masih menyimpan bayangan ketakutan dari malam sebelumnya. Gunawan, meskipun masih dilingkupi kegelisahan tentang masa lalu, mencoba mengumpulkan keberanian. Ini adalah pertarungan baru.
“Siap, Mbak Rina,” jawab Gunawan, suaranya sedikit serak. Ia melirik Dewi, mencoba memberikan ketenangan lewat tatapan matanya.
“Demi lapak dan… demi pemirsa setia kami.”
Mbak Rina tersenyum lebar.
“Bagus! Semangat ini yang kami tunggu! Nah, untuk siaran perdana ini, kita akan ngobrol santai seputar perjalanan cinta kalian yang luar biasa. Kalian siap berbagi cerita, kan?”
Gunawan dan Dewi mengangguk kaku. Siap tidak siap, mereka tidak punya pilihan. Seluruh warga lapak, dari Pak RT hingga Bu Ida dan Love Brigade, kini sudah berkumpul di belakang kamera, menonton dengan antusiasme yang berlebihan. Mereka adalah penonton setia, sekaligus penjaga gawang reputasi.
“Baiklah, lima menit lagi kita on air!” teriak seorang koordinator.
Jantung Gunawan berdebar kencang. Ia bisa merasakan keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia melirik Dewi, yang kini terlihat pucat pasi. Ketakutan itu masih ada, menggerogoti setiap sudut hatinya.
*
“Selamat pagi, Indonesia! Kembali lagi bersama saya, Rina, di program yang paling ditunggu-tunggu, ‘Cinta di Kaki Lima’!” Mbak Rina memulai, suaranya ceria dan lantang, memegang mikrofon dengan logo stasiun TV.
“Dan hari ini, kita akan langsung menyapa pasangan fenomenal kita, Gunawan dan Dewi, dari Rujak Seblak Mesra!”
Lampu sorot menyorot wajah mereka. Kamera-kamera mulai merekam. Gunawan dan Dewi mencoba tersenyum, melambaikan tangan dengan canggung.
“Gunawan, Dewi, ini kan siaran perdana kalian. Gimana perasaannya jadi bintang televisi nasional?” Mbak Rina bertanya, nadanya bersahabat.
Gunawan menarik napas dalam-dalam.
“Rasanya… seperti rujak seblak, Mbak. Campur aduk. Ada manisnya, pedasnya, asamnya. Tapi yang pasti, kami senang bisa berbagi cerita sama pemirsa di rumah.” Ia tersenyum, mencoba terlihat santai.
“Wah, metaforanya selalu pas, ya!” Mbak Rina tertawa renyah.
“Dewi, kalau Gunawan bilang campur aduk, kamu gimana? Apa yang paling pedas dari perjalanan cinta kalian sejauh ini?”
Dewi terdiam sejenak. Ia teringat pesan dari 'teman lama' semalam, dan rasa takut mencengkeramnya lagi.
“Yang paling pedas, ya… mungkin… adaptasinya, Mbak,” jawab Dewi, suaranya sedikit bergetar.
“Kami ini kan tadinya… dua gerobak yang saling bertabrakan. Terus tiba-tiba harus jalan bareng. Banyak banget bumbu-bumbu yang harus disesuaikan.”
“Bumbu-bumbu apa itu, Dewi?” Mbak Rina mengejar, senyumnya tidak pudar, namun tatapannya semakin tajam.
“Apakah itu bumbu kecurigaan? Atau bumbu… rahasia masa lalu?”
Pertanyaan itu menghantam Dewi seperti pukulan telak. Rahasia masa lalu. Kata-kata itu bergaung di telinganya, bercampur dengan ancaman di pesan WhatsApp semalam. Ia teringat kembali keengganannya untuk berkomitmen, ketakutannya akan pengkhianatan yang berakar dari pengalaman buruk. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tercekat.
“Rahasia… masa lalu?” Dewi mengulang, matanya membelalak. Ia merasa seluruh dunia berputar. Apakah Mbak Rina tahu sesuatu? Atau ini hanya pertanyaan jebakan? Tanpa sadar, ia mulai meremas kain kebaya Gunawan.
“Maksudnya… eh… rahasia yang… yang soal… kami ini kan… awalnya…”
Dewi tergagap, nyaris saja keceplosan tentang kontrak palsu mereka. Wajahnya memucat, bibirnya gemetar. Bu Ida dan Love Brigade di belakang kamera langsung menegang, saling pandang dengan cemas. Pak RT mengerutkan kening.
Melihat Dewi di ambang kehancuran, Gunawan tahu ini adalah saatnya ia bertindak. Ini bukan lagi sandiwara untuk juri, ini adalah pertarungan nyata untuk reputasi mereka, dan yang lebih penting, untuk melindungi Dewi.
Dengan sigap, Gunawan menyela, sambil tersenyum lebar dan merangkul pinggang Dewi dengan akrab, seolah-olah itu adalah hal yang paling alami di dunia.
“Waduh, Mbak Rina ini jago banget mancingnya! Jangan-jangan Mbak Rina sendiri juga punya rahasia masa lalu yang pedas nih, ya?” Ia tertawa renyah, berusaha menciptakan suasana ringan.
“Dewi ini, Mbak, dia itu orangnya kalau sudah sayang, dia akan total. Makanya dia takut banget sama yang namanya ‘masa lalu’ yang bisa bikin hati jadi tawar. Dia maunya yang manis-manis aja kayak gula merah di rujak saya!”
Ia melirik Dewi, mengedipkan mata, memberi isyarat agar Dewi ikut bermain. Dewi, yang masih shock, berusaha mengendalikan diri. Ia menatap Gunawan, di matanya ada campuran rasa terima kasih dan kelegaan.
“Betul, Mbak!” Dewi mencoba ikut tertawa, suaranya masih sedikit serak.
“Pokoknya, saya itu maunya yang masa depan aja. Kalau masa lalu, sudah kita ‘ulek’ aja jadi bumbu kenangan. Biar pedas-pedas manis gimana gitu.”
Mbak Rina tertawa lebar, merasa berhasil mendapatkan ‘konten’ yang menarik. Ia tidak tahu betapa dekatnya ia dengan kebenaran.
“Hahaha, ada-ada saja kalian ini! Memang pasangan serasi! Gunawan ini manisnya bisa menetralkan pedasnya Dewi, ya!”
Warga lapak di belakang kamera menghela napas lega. Bu Ida mengusap dadanya.
Gunawan dan Dewi terus menjawab pertanyaan, berimprovisasi dengan piawai, menciptakan kisah romantis yang kini terasa semakin meyakinkan di mata publik. Mereka berbicara tentang bagaimana mereka mengatasi perbedaan, tentang rencana pernikahan di pantai, dan tentang impian mereka untuk membawa Rujak Seblak Mesra keliling Indonesia dengan food truck. Setiap jawaban mereka disambut tepuk tangan dari warga dan anggukan puas dari Mbak Rina.
Namun, di balik senyum dan tawa itu, Gunawan merasakan kegelisahan yang mendalam. Kata-kata "rahasia masa lalu" yang dilontarkan Mbak Rina, ditambah dengan pesan semalam, terus menghantui. Ia melihat Dewi, yang kini terlihat lebih tenang, namun tatapan matanya masih menyimpan gurat ketakutan.
Setelah siaran langsung berakhir, dan kru TV mulai membongkar peralatan mereka, Gunawan menarik Dewi menjauh dari keramaian, menuju sudut lapak yang lebih sepi.
“Wi,” Gunawan memulai, suaranya rendah,
“Kamu tadi hampir aja…”
Dewi mengangguk, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku tahu, Gun. Aku nggak tahu kenapa Mbak Rina tiba-tiba nanya soal masa lalu. Aku langsung panik. Untung kamu cepat tanggap.”
“Itu pertanyaan yang bahaya, Wi,” kata Gunawan, menatapnya dalam.
“Kita harus lebih hati-hati. Sandiwara kita ini… rapuh banget di bawah sorotan kayak gini. Apalagi setelah pesan semalam itu.”
Dewi menghela napas berat, menyandarkan punggungnya ke dinding gerobak.
“Aku tahu. Aku juga mikir. Sampai kapan kita bisa begini? Setiap hari harus akting, setiap kata harus dipikirkan matang-matang. Rasanya… melelahkan.”
“Aku juga ngerasa gitu,” Gunawan mengakui.
“Mungkin sudah saatnya kita… mikirin konsekuensi terburuknya.”
“Maksudmu… kalau sampai rahasia kita terbongkar?” Dewi bertanya, suaranya pelan.
Gunawan mengangguk.
“Atau, kalau ada yang lebih gila lagi. Kalau ada yang sengaja mau mengungkapnya.” Ia teringat lagi foto lama itu, wanita berwajah sinis di sampingnya. Siapa dia? Dan apa yang ia inginkan?
Tiba-tiba, Mbak Rina kembali menghampiri mereka, senyumnya masih mengembang.
“Gunawan, Dewi! Kalian luar biasa! Chemistry kalian itu… on point! Nggak salah kami pilih kalian!”
“Terima kasih, Mbak,” kata Gunawan, berusaha tersenyum.
“Oh iya,” Mbak Rina melanjutkan, mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya.
“Ada sedikit detail yang harus kita diskusikan. Untuk episode selanjutnya, tim produksi sudah merencanakan sebuah segmen spesial. Kita akan melakukan ‘Kunjungan ke Rumah Masa Kecil’ kalian berdua! Tujuannya, untuk menggali lebih dalam kisah cinta kalian dari akarnya. Gunawan, kami ingin memulai dari kampung halamanmu. Tim sudah mendapatkan alamatnya. Kita akan berangkat besok pagi…”
Gunawan merasakan darahnya berdesir hebat. Kunjungan ke rumah masa kecil? Kampung halaman? Ini adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Masa lalu yang ia sendiri tidak ingat, kini akan digali di depan kamera. Masa lalu yang mungkin menyimpan rahasia kelam dan wanita di foto itu.
Ini bukan lagi sandiwara yang rapuh. Ini adalah bom waktu yang siap meledak di wajah mereka, dan Gunawan tahu, ia harus kembali ke kampung halamannya, ke tempat yang mungkin menyimpan kunci untuk… mengungkap identitas wanita itu dan mengapa ia mengancam mereka.
Dewi menatap Gunawan dengan tatapan ngeri, seolah membaca pikiran Gunawan. Ia tahu, di balik senyum paksa Gunawan, ada ketakutan yang lebih besar dari sekadar sandiwara. Ini bukan lagi tentang lapak, atau perjodohan. Ini adalah tentang… identitas.
Gunawan merasakan seluruh tubuhnya menegang. Ia melihat Dewi di sampingnya, ketakutan yang sama terpantul di mata wanita itu.
Besok. Mereka harus kembali ke sana. Ke tempat yang mungkin akan menghancurkan… segala.