Syima dan Syama adalah kembar identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Syama feminim, sementara Syima dikenal sebagai gadis tomboy yang suka melanggar aturan dan kurang berprestasi akademik.
Hari pernikahan berubah menjadi mimpi buruk, saat Syama tiba-tiba menghilang, meninggalkan surat permintaan maaf. Resepsi mewah yang sudah dipersiapkan dan mengundang pejabat negara termasuk presiden, membuat keluarga kedua belah pihak panik. Demi menjaga nama baik, orang tua memutuskan Devanka menikahi Syima sebagai penggantinya.
Syima yang awalnya menolak akhirnya luluh melihat karena kasihan pada kedua orang tuanya. Pernikahan pun dilaksanakan, Devan dan Syima menjalani pernikahan yang sebenarnya.
Namun tiba-tiba Syama kembali dengan membawa sebuah alasan kenapa dia pergi dan kini Syama meminta Devanka kembali padanya.
Apa yang dilakukan Syima dalam mempertahankan rumah tangganya? Atau ia akan kembali mengalah pada kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Misstie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Checkmate
Devanka mengangkat bantal yang terjatuh di kakinya, menatap Syima dengan ekspresi campuran heran dan geli.
"Assalamualaikum juga, Syima."
"Apa?!" Syima bangkit dengan gerakan tergesa-gesa, hampir tersandung tumpukan buku di lantai. "Saya belum bilang boleh masuk lho!"
"Bapak yang bilang boleh masuk," jawab Devanka sambil melangkah hati-hati menghindari barang-barang berserakan.
"Kamu sakit? Tadi temanmu bilang kamu pulang karena tidak enak badan."
Syima terdiam sejenak, matanya menyipit curiga. "Teman yang mana?"
"Gama."
Wajah Syima langsung memerah, entah karena malu atau kesal. Dia mengacak rambutnya frustrasi. "Astaga... dasar tukang gosip. Cuma ngantuk, bukan sakit beneran!"
Devanka mengamati wajah Syima yang memang masih pucat. Mata gadis itu sedikit sembab, bibir kering.
"Sudah makan?" tanya Devanka, nadanya melembut.
"Belum lapar," jawab Syima singkat, kembali duduk di lantai sambil memeluk bantal lagi.
"Saya gak tanya lapar atau tidak. Tanya sudah makan atau belum."
Syima mendengus, tidak menjawab.
Devanka duduk di tepi kasur. Posisinya jadi sedikit lebih tinggi dari Syima yang masih di lantai.
"Syi, kita perlu bicara."
"Soal apa?" Syima memeluk bantalnya lebih erat, seperti tameng.
"Soal semuanya." Devanka menggerakkan tangannya, mengambil beberapa buku yang tercecer di dekatnya dan menumpuknya di kasur.
"Pernikahan kita. Situasi kita sekarang. Kita belum membicarakan ini." Syima terdiam, matanya menatap lantai.
"Dan saya harus mengonfirmasi beberapa hal terkait kehidupan pribadi kamu."
"Apa urusannya pernikahan kita sama kehidupan pribadi saya?"
"Saya tidak mau ada masalah di depannya. Karena mau tidak mau, ke depannya kita akan hidup bersama, berdampingan sebagai pasangan menikah."
Syima mendongak. "Siapa bilang selamanya?"
Devanka mengernyit. "Kamu gak mau?"
"Ya jelas enggak! Bapak kan maunya Syama! Kita menikah karena darurat. Lagipula jangan berharap lebih sama saya. Saya gak bisa masak, gak bisa beres-beres, mandi juga kadang skip."
Dia mengibaskan tangan ke sekeliling kamar. "Tuh lihat, kamar aja kayak kapal pecah. Kalau kapal pecah sih masih bisa diperbaiki, ini mah kena meteor!"
Devanka nyaris tertawa, tapi ditahan. "Terus?"
Syima mengerjap, mendadak bingung. "Lho, emang gak masalah punya istri kayak gini?"
"Kenapa harus masalah?"
"Karena istri tuh harus cantik, rapi, bisa ngurus rumah, pintar masak, jago dandan. Kayak Ibu, kayak Syama. Saya itu cuma versi trial and error!"
Devanka bangkit dari kasur dan berjongkok di depan Syima, menyamakan tinggi pandangan mereka. "Memangnya kenapa kalau kamu berantakan? Kenapa kalau kamu gak bisa masak? Kenapa juga kalau kamu gak bisa dandan?"
Syima terdiam, menatap Devanka dengan tatapan bingung. Jantungnya berdegup aneh mendengar nada lembut di suara Devanka.
"Syima," Devanka memanggil nama itu dengan cara yang lembut, sabar, tanpa paksaan. "Kita memang dinikahkan dalam keadaan terpaksa. Saya tahu itu. Kamu juga tahu itu."
Syima mengangguk pelan.
"Tapi sekarang, kita sudah sah jadi suami istri. Mau gimana lagi?" Devanka mengambil napas dalam. "Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mencoba."
Kedua netra Syima melotot. "Emang makanan bisa dicoba, kalau gak enak dilepeh."
Syima masih menatapnya penuh keraguan. "Lagian Bapak kan gak cinta saya, saya juga gak cinta sama Bapak." Pernyataan jujur itu kembali membuat Devanka terdiam sejenak.
"Kamu benar," jawab Devanka jujur. "Saya memang belum cinta sama kamu. Kamu juga belum cinta saya. Tidak apa-apa belum ada cinta. Yang penting ada kemauan untuk saling menghargai, saling peduli." Devanka menjeda sejenak. "Kamu mau mencoba?"
Syima memeluk bantalnya lebih erat, matanya menatap Devanka dengan ekspresi ragu tapi penasaran. "Caranya?"
"Mulai dari hal kecil. Misalnya..." Devanka melirik sekeliling kamar. "Kamu izinkan saya bantuin beresin kamar ini?"
"HAH?!" Syima bangkit dengan cepat, hampir kehilangan keseimbangan. "Gak usah! Ini kamar pribadi!"
"Katanya kita mau nyoba saling peduli?"
"Saya belum jawab mau nyoba atau enggak. Bapak jangan main mutusin sendiri dong," jawab Syima jengkel.
"Kalau kamu gak mau, biar saya aja yang nyoba. Jadi izinkan saya untuk merapikan ini. Karena saya suamimu, saya ingin terlibat dalam hal apapun tentang kamu."
"Tapi... tapi..." Syima langsung berdiri, saking paniknya. Matanya berkilat-kilat melihat betapa memalukan kondisi kamarnya.
"Bapak mending keluar aja deh, biar saya beresin dulu, baru nanti bapak masuk lagi," pinta Syima dengan wajah memohon.
Devanka menggeleng sambil tertawa kecil. Tawa hangat pertama terdengar sejak kemarin. Dia mulai memunguti buku satu-satu. Syima mendengus panjang, tapi akhirnya ikut bergerak. Bedanya, dia sambil misuh-misuh.
Syima menunjuk sembarang arah. "Kamar saya ini kayak gudang film horor, kalau bapak nemu boneka tanpa kepala, jangan kaget ya. Itu bekas eksperimen gagal!"
Tawa Devanka semakin lepas, seraya melipat selimut. "Saya pikir kamu cuma malas bersih-bersih, ternyata imajinatif juga."
"Saya serius!" Syima menyembunyikan sesuatu di bawah bantal.
"Itu apa?" tanya Devanka penasaran
"Bukan mayat kok. Jangan khawatir," jawab Syima sekenanya.
Kepala Devanka kembali menggeleng, sambil menaruh tumpukan buku di meja, dan kembali duduk di tepi kasur. Matanya melirik Syima yang sibuk mengumpulkan kaus kaki dari bawah meja, yang jumlahnya bisa lebih banyak dari siswanya di kelas.
"Syima," panggil Devan, suaranya lembut dan berat.
"Iya? Kalau bapak nemu bra, pura-pura gak lihat aja ya," sahut Syima santai.
Devanka menahan tawa. "Bukan itu. Saya cuma mau nanya, kenapa kamu sekarang lebih berani ngomong dibandingkan waktu di hotel?"
Syima berhenti, menoleh dengan ekspresi setengah bingung, setengah defensif. "Hah? Maksudnya?"
"Di hotel, kamu masih kaku, malu-malu, ngomong disensor, sampai gak tidur semalaman. Sekarang galak, bawel, seperti orang yang berbeda."
Syima melotot sambil memegang dua kaus kaki yang tidak sepasang. "Ya terus? Bapak lebih suka saya yang kaku dan malu-malu?"
"Bukan begitu. Saya cuma heran aja. Perubahannya drastis sekali. Pagi masih diam, malu-malu, sekarang rame." Devanka tertawa kecil, membayangkan Syima yang kikuk selama di hotel.
Syima nyengir tipis, tapi cepat ditutup dengan wajah cemberut lagi. "Ya wajar lah! Di hotel itu masih awkward. Tiba-tiba nikah sama calon suami kembaran saya, terus dosen sendiri pula. Kita ngobrol aja jarang, kecuali pas bimbingan. Mana mungkin saya bisa langsung santai."
Dia menarik kursi meja belajar, duduk menghadap Devanka. "Tapi pas di kampus tadi, saya mikir, kenapa harus jaga image? Toh kita nikahnya juga kepaksa. Jadi ya udah, saya bakal jadi diri saya sendiri."
Lalu dia berdiri lagi, menyodorkan kaus kaki beda warna. "Kayak ini. Nih, pasangan hidup yang gak cocok tapi dipaksa bareng. Jadi terserah Bapak, mau lanjut nikah sama saya atau enggak. Yang jelas saya gak bakal nutupin kepribadian saya."
Devanka nyaris tertawa lagi. “Gak masalah. Saya suka kamu apa adanya. Lagian kaus kaki masih bisa dipakai walau gak sepasang. Apalagi kita.”
Syima terdiam. Mukanya memerah, tapi mulutnya tetap cerewet. “Huh! Perumpamaan bapak tuh... cheesy banget."
Tiba-tiba Devanka menatap serius. "Kamu punya pacar?"
Syima menoleh sebentar, sambil menutup lemari pakaiannya. "Gak ada," jawabnya santai.
"Gama?" tanya Gama datar.
"Dia sahabat saya dari SMA. Dalam kamus saya, tidak ada pacar-pacaran dulu."
"Kenapa?" tanya Devanka penasaran.
"Ribet. Lihat Syama aja kalau mau kencan, ribetnya minta ampun. Nyalon dulu, pilih baju, dandan. Bikin capek.."
Devanka mengangguk-angguk, tanda dia paham maksud Syima, dengan tangan yang meraba-raba ke bawah bantal di sampingnya.
"Terus kamu–"
"Pak!" potong Syima, menatapnya tajam. "Bapak ini mau wawancara saya, atau bantu beresin kamar sih?" tanyanya jengkel.
Devanka tetap tenang. "Saya cuma mau bilang... kenapa kamu umpetin bra di bawah bantal?" ujarnya. Jari telunjuknya mengangkat bagian tali bra merah milik Syima.
Semua otot Syima langsung kaku. Wajahnya merah padam.
"Mau dipakai lah. Saya kan tadi belum sempat pakai bra, keburu Bapak masuk ngajak beres-beres!" tembak Syima, sudah kepalang malu.
Wajah Devanka memerah sampai telinga. Ekspresinya dipaksa untuk tetap datar, padahal jelas-jelas kaku.
Melihat itu, Syima buru-buru merebut branya dari tangan Devanka. Dia berbalik sambil menyunggingkan senyum nakal.
“Skakmat,” gumamnya puas. Dan baru sekarang dia sadar, sumber utama semua kejengkelannya sejak tadi adalah suaminya sendiri.
tp Thor jgn ada yang aneh2 ya sejenis Kunti alias PELAKOR 👍👍👍👍
aku juga mau digendong pak Devan... gimana ya ra
sanya.....ga bisa bayangin...
Gatau diri jg nina
lanjutkan 💗💗💗💗🌷🌷
Apapun tar alasan syama pas kabur jgn smpe devan goyah & mau balikan ke syama
thank Thor for update ya 👍👍🌷🌷