Jadi Kesayangan Suami Konglomerat

Dengan mantap, William menerima jabat tangan pak penghulu yang membimbingnya untuk mengikrarkan ijab qobul dengan Al Qur'an sebagai saksinya.

"Saudara William Arjun Prawira, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Safeea Azkayra binti Muhammad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan juga perhiasan emas dibayar tunai...."

"Saya terima nikah dan kawinnya Safeea Azkayra binti Muhammad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas, dibayar tunai." ucap William dengan lantang dan dalam sekali tarikan napas.

"Bagaimana para saksi?"

"Sah....."

Safeea memejamkan matanya dengan erat saat akhirnya para saksi mengesahkan pernikahannya dengan William, ada rasa lega dan juga haru di hati Safeea saat meyakinkan dirinya kalau ia telah menjadi istri dari William. Sekarang ia tidak hidup sendirian lagi. Sekarang bayi yang ada di dalam kandungannya telah mendapatkan identitas yang jelas dari ayahnya. Dan untuk itu Safeea merasa bersyukur atas akhir yang didapat setelah semua yang terjadi pada hidupnya.

Setelah ijab qobul dilakukan, Safeea kemudian mencium tangan William untuk pertama kalinya sebagai tanda bakti seorang istri, sementara William membalas cium tangan yang dilakukan oleh Safeea dengan mengusap rambutnya dengan lembut.

"Mulai sekarang kau bukan lagi Safeea, mulai sekarang kau adalah Nyonya Safeea William Arjun Prawira, menantu dari keluarga Prawira yang terhormat." ucap William kepada Safeea.

Seusainya prosesi akad nikah selesai, William segera mengajak Safeea kembali ke rumahnya. Safeea sesekali melirik ke arah William yang tengah fokus mengemudi. Ada perasaan hangat sekaligus bingung di hatinya. Ia tahu kini dirinya telah sah menjadi istri William, namun dalam hatinya ia masih punya sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada William.

“Pak William…” panggil Safeea pelan yang hampir ragu ragu saat ingin mengutarakan maksud keinginannya kepada William.

“Ya, Safeea? Ada apa?”

Safeea menggigit bibir bawahnya sebentar sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya,

“Saya… Saya ingin tetap bekerja di hotel pak. Saya tahu mungkin kedengarannya aneh, apalagi setelah saya resmi menjadi istri Anda, tapi… saya sudah terlanjur nyaman dengan pekerjaan itu. Saya tidak ingin tiba-tiba berhenti begitu saja. Teman-teman saya pasti akan curiga kalau saya tiba-tiba menghilang tanpa alasan.”

William terdiam sejenak, sembari fokus mendengarkan semua perkataan Safeea. Tatapannya kembali ke jalan, tapi hatinya menaruh penuh perhatian pada kata-kata istrinya.

Safeea melanjutkan perkataannya dengan suara lembut namun tegas.

“Bekerja di hotel membuat saya merasa berguna pak, bukan berarti saya tidak menghargai apa yang sudah Anda lakukan untuk saya. Hanya saja, saya ingin tetap menjalani hari-hari saya seperti biasa, tanpa menimbulkan tanda tanya bagi orang-orang di sekitar saya."

William sempat meliriknya lagi. Ada kekaguman yang tidak bisa ia sembunyikan. Gadis ini benar-benar berbeda. Ia tidak meminta harta, tidak menuntut kemewahan, bahkan di saat statusnya kini sudah berubah, Safeea justru ingin tetap hidup sederhana apa adanya.

Dengan suara tenang, William akhirnya berkata,

“Baiklah. Kalau itu yang kau mau, aku izinkan. Kau tetap bisa bekerja di hotel. Aku tidak akan melarang mu.”

Kedua mata Safeea sedikit melebar, seolah tak menyangka William akan semudah itu mengabulkan permintaannya.

“Benarkah, Pak William? Anda tidak keberatan?”

William tersenyum kecil sambil menghela napas tipis.

“Aku bukan tipe pria yang akan mengurung istrinya. Aku hanya ingin kau bahagia, Safeea. Kalau bekerja bisa membuatmu merasa senang, lakukanlah. Aku akan mendukungmu. Tapi ingat, kau tidak boleh lupa kalau kau sedang mengandung anakku. Dan aku tidak mau sampai terjadi sesuatu kepada kehamilanmu karena kau terlalu semangat dalam bekerja."