Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 32
Landon....
“Sayang… lagi apa?” suara Liam terdengar manja saat kedua lengannya melingkari pinggang Lara dari belakang. Dagunya ia sandarkan di bahu istrinya, sementara aroma kopi hangat memenuhi dapur kecil mereka.
Lara mengangkat spatula tanpa menoleh. “Aku sedang memancing,” jawabnya datar.
Liam berkedip. “Memancing?”
“Ya. Jelas-jelas aku sedang membuat sarapan, tapi kamu tetap tanya aku sedang apa. Jadi aku simpulkan saja kamu butuh jawaban kreatif.”
Liam tertawa kecil, pelukannya mengencang. “Kalau kamu memancing, berarti aku ikannya.”
“Lebih tepatnya… ikan yang bawel,” sahut Lara sambil menahan senyum.
Sebelum Liam sempat membalas, suara lain terdengar dari arah pintu.
“Wah, kedua anak mama sedang bermesraan rupanya.”
Lara dan Liam sontak menoleh. Ibu Liam, Madame Dayana sudah berdiri di sana, tangan terlipat di dada, wajahnya memancarkan tawa menahan godaan.
“Mama kok masuk tanpa suara sih?” protes Liam sambil berdiri tegak, pura-pura tak sedang memeluk istrinya.
Madame Dayana mengibaskan tangan. “Oh, tolonglah. Kalian itu sudah menikah. Bermesraan sedikit bukan kejahatan. Lagipula.” Ia mendekat sambil mencubit pipi Liam, “…anak mama ini memang suka nempel seperti permen.”
Lara tersipu, sedangkan Liam hanya menghela napas pasrah.
“Sudahlah, kalian lanjut saja,” ujar Madame Dayana sambil menuju meja makan. “Mama tunggu sarapan cinta kalian.”
Tanpa terasa, pernikahan Lara dan Liam sudah hampir mencapai tahun pertama. Waktu berjalan begitu cepat, seolah musim-musim yang berganti pun tidak mampu menyaingi kehangatan yang mereka ciptakan setiap hari.
Lara sering berpikir, andai dulu ia tetap terjebak dalam rasa takut, ia pasti tidak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini. Liam memperlakukannya dengan begitu istimewa, seolah Lara adalah pusat dari seluruh hidupnya. Ia selalu memastikan Lara tidak kekurangan apa pun, baik perhatian, kasih sayang, maupun rasa aman.
Namun, ada satu hal yang paling membuat Lara merasa benar-benar dicintai: keberadaan madame Dayana, ibu Liam. Wanita itu mencintainya seperti darah dagingnya sendiri. Dia tidak pernah membuat Lara merasa seperti menantu, melainkan seperti anak perempuan yang sudah lama hilang dan baru ditemukan kembali.
“Lara itu seperti hadiah Tuhan buat keluarga ini,” kata madame Dayana suatu sore ketika mereka sedang minum teh. “Aku tidak tahu apa jadinya rumah ini tanpa senyummu.”
Bahkan Liam sering kali mengangkat alis, cemberut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan perhatian.
“Mama terlalu membela Lara,” protes Liam sambil memeluk kedua tangan di dada. “Aku ini anak kandung, ingat?”
Madame Dayana hanya terkekeh.
“Kalau soal itu, aku tidak bisa berjanji apa-apa. Lara lebih imut.”
Lara tertawa geli melihat ekspresi suaminya yang merajuk, sementara di dalam hatinya ia bersyukur, bahwa akhirnya, luka masa lalunya benar-benar sembuh di rumah yang penuh cinta ini.
“Selesai sarapan, ada yang ingin kubicarakan dengan kalian berdua,” ucap Liam sambil meletakkan gelasnya di meja. Nada suaranya tenang, tetapi jelas ada keseriusan yang tak biasa.
Madame Dayana yang sedang mengusap sudut bibirnya dengan serbet langsung menatap anaknya penuh perhatian. “Apa itu serius?” tanyanya, memiringkan kepala sedikit. Biasanya Liam hanya meminta waktu bicara jika itu penting.
“Ya, ini serius,” jawab Liam sambil mengalihkan pandangannya dari ibunya ke Lara, memastikan keduanya siap mendengarkan.
Lara menahan sendoknya di udara, menatap suaminya dengan rasa penasaran sekaligus sedikit cemas. “Ada apa, Liam?”
Ketika sarapan selesai, mereka bertiga berkumpul di ruang keluarga. Ruangan itu hangat, diterangi cahaya matahari musim semi yang masuk melalui jendela besar. Aroma kopi buatan Madame Dayana masih samar-samar tercium, memberikan suasana yang begitu nyaman.
Liam duduk di antara Lara dan ibunya. Namun, jelas terlihat dari cara ia meremas jemarinya sendiri bahwa ia sedang memikirkan sesuatu yang cukup berat. Lara menyadarinya, bahkan sebelum Liam membuka mulut.
“Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting,” ucap Liam, suaranya tenang tetapi tidak bisa menyembunyikan ketegangan di baliknya.
Madame Dayana mengangkat alis. “Penting sampai butuh suasana seserius ini?” godanya, tetapi nada suaranya tetap waspada.
“Ya, ini serius,” jawab Liam.
Lara menoleh padanya, menunggu.
Liam mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Beberapa hari lalu, perusahaan mendapat tawaran kerja sama baru. Kliennya berasal dari Indonesia.”
Lara langsung menatap Liam dengan lebih fokus.
“Mereka meminta aku secara khusus untuk menangani proyek itu,” lanjut Liam. “Jika aku menerima pekerjaan itu… kita harus tinggal di Indonesia sampai proyeknya selesai. Mungkin berbulan-bulan. Bisa juga lebih.”
Hening mengisi ruangan. Lara menatap wajah Liam yang terlihat begitu hati-hati, seperti seseorang yang sedang khawatir melukai hati orang yang paling ia sayangi.
“Dan tentu saja,” Liam menambahkan sambil menatap Lara, “aku akan menolaknya kalau kamu tidak setuju, sayang.”
Madame Dayana ikut menatap Lara, seolah memberikan ruang bagi menantunya itu untuk memutuskan dengan tenang. Ada kekhawatiran lembut dalam tatapannya, bukan karena pekerjaan Liam, tetapi karena ia tahu apa yang pernah dilalui Lara di masa lalu.
Lara terdiam sejenak. Bukan karena ragu, tetapi karena sedang menyusun jawabannya. Lalu, perlahan, ia tersenyum.
“Kenapa tidak, sayang?” ucap Lara lembut. “Aku tidak masalah. Lagi pula, aku juga sudah rindu Indonesia.”
Liam langsung terkejut kecil. “Kamu tidak apa-apa? Maksudku… benar-benar tidak apa-apa?”
Sebelum Lara menjawab, Madame Dayana menggenggam tangan Lara. “Lara sayang,” ujarnya dengan suara ibu yang penuh ketulusan, “tidak apa-apa kalau kamu tidak ingin kembali ke sana. Kami tahu masa lalumu di sana tidak mudah. Kamu tidak harus menghadapi sesuatu yang bisa membuatmu tidak nyaman. Pekerjaan seperti itu, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dirimu.”
Lara menatap tangan Madame Dayana yang menangkup tangannya dengan hangat. Hatinya terasa penuh. Ia telah kehilangan keluarga di masa lalu, namun kehadiran dua orang ini, Liam dan ibunya, benar-benar membuatnya merasa memiliki rumah baru.
“Ma…” ucap Lara pelan, “aku sungguh tidak apa-apa.”
Madame Dayana mengerutkan kening sedikit, masih tampak khawatir.
Lara melanjutkan, “Kalau kalian cemas karena masa laluku… percayalah bahwa aku sudah melupakan semuanya. Itu hanya cerita lama. Aku tidak ingin hidup di bawah bayangannya lagi. Dan sekarang.” ia menatap Liam, “aku punya kamu.”
Kemudian ia menatap Madame Dayana dan tersenyum lembut. “Dan aku punya Mama.”
Madame Dayana menahan napas, lalu tersenyum, senyum yang lembut dan lega. Ia menarik Lara ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah menenangkan sekaligus merayakan keberanian Lara.
“Kamu anak mama sekarang,” bisiknya.
Liam tersenyum lebar melihat keduanya. Ada rasa bangga, haru, dan bahagia yang bercampur sekaligus di dadanya.
“Kalau begitu…” Liam menatap Lara, “kita ambil pekerjaan itu?”
Lara mengangguk mantap. “Kita ambil.”
Madame Dayana menepuk tangan mereka berdua. “Baiklah, kalau begitu, Indonesia.. bersiaplah menerima keluarga kecil ini.”
jd malas bacanya