Rapa & Cleona : Menjaga Hati

Rapa berjalan dengan gaya tampannya, melewati koridor yang sudah ramai di jam 7.00 pagi ini. Sapaan demi sapaan terlontar dari mereka yang mengenal Rapa, apalagi semenjak menjabat jadi ketua OSIS namanya semakin di kenal oleh warga SMA Negeri Kebaperan. Dan akibat dari kepopuleran serta ketampanannya itu pun banyak siswi, dari mulai adik kelas, seangkatan, hingga kakak kelas mengidolakan Rapa, bahkan tidak sedikit yang terang-terangan menyatakan cintanya langsung. Memang beginilah resiko cowok ganteng.

Papinya pernah bilang, bahwa sebagai cowok tampan kita tidak boleh sombong pada siapapun, terlebih pada kaum perempuan yang sejatinya butuh kelembutan. Maka dari itu, Rapa selalu bersikap ramah pada siapa pun dan menanggapi mereka yang mendekatinya, karena ia cukup tahu bagaimana rasanya di acuhkan dan di abaikan, apalagi oleh orang yang sangat disayangi. Bagaimana tidak, dua tahun Rapa mengalami, dan itu cukup menyesakan.

Namun tidak untuk sekarang, karena pujaan hatinya kini sudah tidak lagi menghindar, tidak lagi membenci dan bahkan sudah dapat dirinya jadikan kekasih. Kebahagiaan Rapa yang sangat dirinya syukuri.

“Pagi Rapa, gimana udah bisa nerima gue belum?” seorang perempuan cantik dengan rambut panjang, hidung mancung dan kulit putih mulusnya, mencegat Rapa di ambang pintu.

“Sorry aja nih, gue udah punya cewek sekarang, jadi gak bisa terima lo,” jawab Rapa dengan senyum yang terukir di bibirnya, tidak sama sekali merasa bersalah atau pun tidak enak hati.

“Beneran lo udah punya cewek? Cantikkan mana sama gue?”

“Benar lah, ya, kali gue bohong. Cantikkan dia dong, secara cewek gue.” Rapa dengan bangga mengucapkan itu. Perempuan yang masih berada di depannya memajukan bibir, Cemberut.

“Ceweknya yang waktu MOS itu bukan?”

Rapa mengangguk. “Pujaan gue sejak orok itu, Mir asal lo tahu.”

“Jadi gue harus patah hati lagi nih?” tanyanya dengan wajah sedih.

Rapa tertawa di tempatnya, mengusak rambut sahabatnya itu dengan gemas. “Sejak awal lo udah patah hati, Mirna, jadi stop suka sama gue. Noh, ada Dava yang setia nunggu lo dari kelas X.”

Mirna menoleh ke arah yang di tunjuk Rapa, dan seorang laki-laki tinggi yang cukup tampan tersenyum ke arahnya. “Gue juga sejak kelas X setia nunggu lo, Rap, tapi lo malah pacaran sama orang lain.”

“Itu beda lagi, pendek. Gue sama Queen udah sama-sama sejak bayi, lagi pula kami udah di jodohin,” kata Rapa dengan senyum terukir. “Lo sahabat gue, Mir, dan gue gak mau selalu menjadi alasan lo patah hati. Gue pengen lo bahagia. Dan gak ada salahnya lo mencoba menerima Dava.”

“Kalau gue gak bisa?”

“Suka sama Dava gak akan sulit, apalagi selama ini lo tahu bagaimana berjuangnya dia untuk dapetin lo.”

“Tapi lo juga selama ini tahu bagaimana risinya gue sama dia,” dengus Mirna.

“Itu karena di hati lo masih ada gue.”

“Sekarang juga masih ada."

“Iya, tapi sebentar lagi akan hilang.” Rapa kemudian menggeser Mirna untuk memberinya jalan masuk ke dalam kelas.

Mirna adalah salah satu dari sekian banyaknya perempuan yang menyukai Rapa, bahkan dia beberapa kali menyatakan perasaannya, meski selalu Rapa tolak. Di bandingkan yang lainnya, mungkin bisa di bilang bahwa Mirna lah yang beruntung, karena bisa menjadi sahabat Rapa selama ini.

Rasa nyaman dan apa adanya Mirna yang membawa gadis itu bertahan di sisi Rapa, tidak seperti wanita lain yang selalu membuat Rapa merasa risi setiap berada di dekat mereka, salah satunya Nia. Wanita rubah, jika Cleona atau Clara yang menyebutnya. Menurut Mirna sendiri dia malah seperti ibu tiri yang hanya baik jika di hadapan ayah, dan akan berubah ganas ketika tidak ada.

Sambil menunggu guru yang mengajar datang, murid XI IPS A tidak pernah sekalipun membuat kelas dalam keadaan sunyi, karena selalu ada saja ulah dan tingkah mereka yang membuat semua orang yang melihat geleng kepala termasuk guru-guru. Dan Rapa, meskipun menjabat sebagai ketua OSIS, juga ketua kelas tetap saja tidak pernah absen ikut meramaikan keadaan. Namun meskipun begitu Rapa masih menjalankan tugasnya dengan baik. Wibawanya pun selalu mendapat acungan jempol dari teman-temannya, karena selain bisa ikut ngerusuh, Rapa juga bisa membuat mereka patuh, dan mendengarkan setiap ucapannya.

Melirik jam di pergelangan tangannya, Rapa kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar dari kelas. Celingukan ke kanan dan kirinya sebelum kembali menoleh pada teman-teman di kelas “Woy, gue lihat gurunya dulu bentar. Tetap di kelas, ya, nanti gue chat.”

Acungan jempol mereka berikan sebelum Rapa melenggang pergi.

“Rapa,” panggilan dari tangga menuju lantai tiga membuat Rapa menoleh, dan mendapati Alvin berjalan menghampirinya.

“Kenapa, Vin? Mau tanya Queen? Sorry gue gak mau jawab. Lebih baik lo berhenti deketin dia. Queen cewek gue.”

Ucapan sinis Rapa membuat Alvin tertawa dan menepuk punggung adik kelansya itu. “Setakut itu lo sama gue? Meskipun gue suka sama dia pada awalnya, tapi sorry, merebut milik orang lain bukan gaya gue. Sebagai cowok tampan gue gak serendahan itu."

“Ya udah, lo mau ngomong apa?” tanya Rapa malas.

“Gak ada, gue cuma pengen manggil aja."

“Ck, buang waktu gue aja lo, sialan!”

Melanjutkan langkah dengan perasaan dongkol, Rapa memberikan beberapa umpatan dalam hati yang dirinya tujukan untuk kakak kelasnya yang hingga saat ini tawanya masih terdengar.

“Heran gue, kenapa Queen bisa kenal sama cowok macam itu. Tampan sih iya, kalau di tambah gila, gue malah jadi merinding,” ucap Rapa bicara pada dirinya sendiri.

“Rapa,”

Mendengar panggilan itu, Rapa langsung menoleh dan mendapati Chiko berjalan kearahnya. Dalam hati Rapa bergumam, “Kenapa hari ini banyak sekali cowok yang memanggil dan menghampirinya? Apa mungkin mereka juga mulai menyukainya?” bergidik ngeri, Rapa dengan cepat mengenyahkan pikiran konyolnya itu.

“Ada apa?”

“Nanti malam bisa bantuin gue di café, gak?”

“Kekurangan karyawan lo, Ko?” tanya Rapa yang di jawab anggukan oleh Chiko.

“Ada bayarannya gak?”

“Perhitungan banget sih lo sama teman sendiri!” dengus Chiko.

“Ye, namanya juga lo butuh pekerja, ya, harus ada bayarannya lah. Lo pikir buang keringat itu mudah!”

“Ck, oke nanti gue kasih vocher kencan lo sama Cleona. Gimana?”

Rapa terdiam sejenak, menimbang-nimbang penawaran yang di berikan sahabatnya itu sebelum beberapa detik kemudian … “oke, deal!”

Meskipun yakin isi vochernya tak seberapa, tapi setidaknya dengan itu Rapa akan merasa sedikit bangga, karena membawa Queen kencan dengan hasil keringatnya sendiri, tidak seperti biasa yang selalu mengandalkan uang saku dari orang tuanya dan berakhir dengan cibiran laki-laki tua, yang sayangnya harus ia hormati sebagai calon mertua.