Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh
"Aku telah mengatakan ini dengan Dipta juga, kalau aku tak merestui hubungan kalian. Aku ingin dengan penuh kesadaran kamu pergi dan lupakan Dipta!" seru Mama Lily dengan suara yang penuh dengan penekanan.
Walau Khanza sudah yakin jika mamanya Dipta pasti menentang hubungan mereka, tapi mendengar ucapan itu secara langsung tetap membuat dirinya terkejut. Lidahnya mendadak terasa kelu dan tenggorokan terasa tersekat. Tak bisa mengatakan apa pun.
Khanza merasa seperti terhantam oleh kata-kata Mama Lily. Dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara, tapi suaranya hanya terdengar lirih, "Tapi, Tante ... mengapa? Mengapa aku harus pergi? Apakah Dipta yang menginginkan ini?" tanya Khanza.t
Mama Lily menatapnya dengan mata yang tegas, "Karena kamu bukanlah pilihan yang tepat untuk anakku Dipta. Dia bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik darimu. Seperti Vania misalnya. Jika Dipta meminta izin untuk menikahi Vania, tanpa ragu dan berpikir, aku akan merestuinya!" seru Mama Lily.
Khanza menarik napas dalam. Dia sadar, tak akan mudah baginya untuk mendapatkan restu dari wanita yang telah melahirkan Dipta ini. Tapi, dia juga harus membela diri. Harus menjelaskan pada Mama Lily jika sesuatu itu tak harus diukur dengan uang dan jabatan saja.
"Jadi menurut Tante yang pantas buat Dipta adalah Vania? Apa karena dia kaya dan seorang dokter, atau ada alasan lain?" tanya Khanza.
"Karena dia wanita yang baik," jawab Tante Lily.
Khanza nampak menarik napas dalam. Dia sadar jika dibandingkan dengan Vania, dia tidaklah ada apa-apanya.
"Jika menurut Tante, Vania pantas buat Dipta karena dia wanita yang baik, apakah aku kurang baik sehingga tak pantas buat Dipta? Apa yang harus aku lakukan agar menjadi baik menurut kategori, Tante?" tanya Khanza.
Khanza bukannya memaksa Tante Lily untuk menerima kehadirannya. Namun, dia ingin membuka pikiran wanita itu jika tak selamanya cinta itu harus dipaksakan.
"Aku tetap tak bisa menerima kamu! Karena latar belakang kehidupan kamu yang tak jelas. Kau hamil tanpa tau siapa ayah dari anakmu. Asal usul keluarga kamu juga tak diketahui. Dipta itu memiliki banyak saudara, jadi aku tak mau jika nanti menjadi omongan karena memiliki menantu yang tak tau bibit dan bobotnya!"
Khanza tampak tersenyum miris. Sudah banyak alasan dan kata yang diucapkan, tapi ujung-ujungnya semua karena harta dan juga jabatan.
"Tante, jika memang yang Tante cari adalah keturunan yang baik dan jelas, aku memang kalah. Aku rela mundur karena memang aku tak masuk dalam kategori itu. Cuma perlu Tante ketahui, tak ada seorangpun yang menginginkan menjadi aku."
Khanza menghentikan ucapannya. Dia menarik napas sebelum melanjutkan ucapannya.
"Jika aku bisa memilih, aku akan minta dilahirkan dari keluarga kaya, cantik, dan memiliki orang tua pejabat. Tapi semua itu ketentuan Tuhan. Kita hanya menjalankan."
"Jika memang pergaulan kamu baik, bagaimana dengan ayah anakmu?" tanya Tante Lily dengan suara pelan, tapi bisa di dengar oleh Khanza.
Khanza tersenyum miris, tapi air mata jatuh membasahi pipinya. Baru saja dia melupakan semua trauma itu, dan harus diingatkan kembali.
"Dan mengenai ayah dari anakku, bukannya aku tak tau siapa orangnya. Namun, aku tak minta tanggung jawabnya karena dia memper'kosa ku. Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang telah membuat masa depanku hancur. Pasti setiap melihat wajahnya aku akan trauma, lebih baik aku membesarkan anakku tanpa dia tahu jika perbuatannya menghasilkan janin yang tak berdosa!" seru Khanza.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Ingatannya kembali pada kejadian saat itu. Jika saja dia tak mengikuti mereka, pastilah saat ini dia telah bekerja.
"Namun, apa pun itu, aku tak bisa merestui kamu dengan Dipta. Aku belum tau kebenaran dari ceritamu. Kenapa kau bisa diper'kosa? Bisa saja karena pergaulanmu yang bebas atau karena ada kesalahan darimu."
"Baiklah, Tante. Aku juga tak bisa memaksa agar Tante mau menerimaku. Aku doakan semoga Dipta mendapatkan gadis seperti yang Tante inginkan. Aku akan pergi dari kehidupan Dipta. Maaf, jika kehadiranku membuat Tante dan Dipta jadi selisih paham," ucap Khanza.
"Aku rasa memang ini yang terbaik. Jika saja kamu tak hadir di antara Dipta dan Vania, mungkin saat ini mereka telah menikah," ujar Tante Lily.
Ucapan mamanya Dipta itu membuat Khanza terkejut. Dia jadi merasa bersalah jika itu memang benar.
"Maaf, Tante. Aku tak tau jika kehadiranku membuat hubungan mereka jadi terganggu!" ucap Khanza.
Setelah mengucapkan itu, Khanza lalu berdiri. Berjalan menuju kamar yang dia tempatkan. Khanza telah memutuskan untuk pergi.
Sementara itu Tante Lily juga memutuskan pergi dari rumah Khanza. Dia takut nanti Vania atau Dipta melihatnya bicara dengan Khanza.
"Apa benar yang dikatakan Tante Lily, jika kehadiranku membuat hubungan Mas Dipta dan Mbak Vania terganggu? Apa sebenarnya mereka saling suka cuma malu mengungkapkan?" tanya Khanza dalam hatinya sambil berjalan menuju kamar.
Khanza berjalan dengan langkah yang berat, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan dan keraguan. Dia tidak bisa memahami mengapa Tante Lily begitu yakin bahwa kehadirannya mengganggu hubungan Dipta dan Vania. "Apakah benar mereka saling mencintai, tapi malu mengungkapkan?" Khanza terus bertanya-tanya, mencoba memahami situasi yang sebenarnya.
Saat memasuki kamar, Khanza melihat Mika yang sedang tidur lelap di atas tempat tidur. Khanza merasa sedikit lega melihat Mika, tapi pikirannya masih dipenuhi dengan kekhawatiran tentang masa depan hubungan mereka.
"Maaf, Sayang. Sepertinya kita harus pergi. Bunda tak mau berada di sini terus. Kehadiran Bunda hanya membuat Tante Vania sedih. Mungkin benar apa yang Tante Lily katakan, jika Mbak Vania sebenarnya mencintai Mas Dipta," ucap Khanza.
Dia lalu berjalan menuju lemari pakaiannya. Mengambil tas dan mengisinya dengan¹ beberapa helai bajunya saja. Setelah itu mengisi dengan baju dan perlengkapan Mika lainnya.
Setelah itu, tak lupa Khanza membawa ijazahnya. Beruntung dulu saat berhujan-hujanan, tasnya tak tembus air sehingga surat penting tersebut masih utuh.
Khanza berjalan ke dapur. Dia melihat bibi sedang sibuk. Kebetulan Vania tak di rumah, jadi dia bisa lebih leluasa untuk meninggalkan rumah ini.
Mika yang masih terlelap langsung digendongnya. Khanza beruntung karena uang simpanannya masih ada. Ditambah dengan pemberian dari Vania. Gadis itu mengatakan itu sebagai gaji karena dia telah membantunya.
"Mbak Vania, terima kasih atas semua kebaikanmu.Aku tak tau bagaimana caranya untuk membalas kebaikanmu. Hanya doa saja yang bisa aku panjatkan, semoga Tuhan memberikan kebahagiaan untukmu,' gumam Khanza.
Khanza berjalan perlahan meninggalkan rumah itu. Air mata jatuh membasahi pipinya. Sampai di halaman rumah, dia berhenti. Memandangi rumah itu lama.
Rumah yang telah menjadi tempat berlindung bagi Khanza dan Mika semenjak kejadian buruk yang menimpanya. Khanza merasa sedih meninggalkan tempat ini, tempat di mana dia telah merasakan sedikit kehangatan dan kasih sayang. "Selamat tinggal semuanya. Aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini," gumam Khanza, air matanya terus mengalir.
Khanza mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus pergi, untuk kebaikan Mika dan dirinya sendiri. Dengan langkah yang berat, Khanza meninggalkan rumah itu, menuju ke arah yang tidak pasti.
"Selamat tinggal Mas Dipta. Aku sangat mencintaimu. Tapi, cinta tak harus memiliki. Melihat kamu bahagia, aku juga akan ikut bahagia. Apa lagi jika kebahagiaan kamu kelak bersama Mbak Vania. Kalian berdua orang baik, memang cocok jika dipersatukan."
Khanza berbicara dalam hati, suaranya lirih dan penuh emosi. Dia memejamkan mata, membayangkan wajah Dipta yang tersenyum bahagia. "Aku harap kamu akan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, Mas Dipta," bisik Khanza, air matanya kembali mengalir.
Khanza tahu bahwa dia harus melepaskan cintanya pada Dipta, demi kebahagiaan mereka berdua. Dia ikhlas melepaskan Dipta untuk Vania. Dengan hati yang berat, Khanza membalikkan badan dan melangkah pergi, meninggalkan kenangan dan harapan di belakangnya.
saya Khanza...eh salah..saya khenzo 😁🤣😅🙏
vania semoga km menemukan jodoh yg baik di tempat yg baru ya
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍