ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: Kembali ke Porosnya
Setelah Claire terlelap dalam pelukan malam, Elina menutup pintu kamar anak itu dengan pelan. Rumah itu telah mulai sunyi. Hanya dengung lembut dari AC dan suara dedaunan bergesekan di luar jendela yang menjadi latar.
Adrian menunggu di ujung tangga, menatapnya dengan sorot teduh.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu," katanya singkat, lalu memutar tubuh dan mulai melangkah menaiki tangga.
Elina mengikutinya tanpa suara, menyusuri lorong yang terang hanya oleh cahaya remang lampu dinding. Mereka berhenti di depan sebuah pintu ganda berwarna putih lembut. Adrian membuka satu sisi, memperlihatkan kamar yang luas dengan langit-langit tinggi, tirai linen tipis yang berkibar perlahan di tiupan angin malam, dan ranjang besar yang tertata rapi dengan seprai krem hangat.
Cahaya lampu tidur membingkai ruangan dengan kelembutan.
"Inilah kamar utama," kata Adrian sambil menoleh ke arahnya. "Tempat ini... milik kita sekarang."
Elina mengangguk pelan, melangkah masuk sambil mengamati sekeliling. Ada sofa di sudut ruangan, meja kecil di samping jendela yang tampaknya sering dipakai Adrian membaca, dan sebuah pintu lain di sisi kanan ruangan yang tampak elegan dan tertutup rapat.
Saat langkah mereka berhenti di tengah ruangan, Adrian berdiri agak tegang, lalu menatap Elina dengan sedikit keraguan.
"Elina…" Ia memulai dengan suara tenang, "…kalau kau merasa tak nyaman, aku bisa tidur di kamar tamu. Tapi... kalau tidak keberatan, aku ingin kita berbagi kamar. Aku janji, aku tidak akan menyentuhmu tanpa izinmu. Tidak akan pernah."
Ada jeda.
Lalu Elina mengangguk, tanpa kata. Ada sesuatu dalam sorot matanya, bukan penyerahan, bukan ketakutan, tapi penerimaan yang hati-hati. Pelan dan sadar.
"Baik," ucapnya lembut.
Adrian mengangguk balik, seolah mengerti tanpa harus mendengar lebih.
Ia kemudian berjalan ke pintu samping dan membukanya. "Ada satu lagi yang ingin kutunjukkan."
Pintu itu mengarah ke sebuah walk-in closet yang luas, nyaris sebesar kamar sendiri. Rak-rak kayu dan laci-laci panjang tertata simetris di kedua sisi, dengan cermin tinggi dan pencahayaan hangat yang memantulkan warna-warna netral dari material berkualitas. Di satu sisi, tergantung kemeja dan jas Adrian yang tersusun rapi. Di sisi lainnya, masih kosong. Rapi. Menunggu diisi.
"Aku minta mereka menyiapkan bagian ini untukmu. Aku harap cukup."
Elina melangkah masuk, matanya menyapu ruangan yang sunyi dan hangat itu. "Ini... lebih dari cukup," bisiknya.
Ia membuka koper dan mulai menyusun pakaian-pakaiannya. Tangan-tangannya bergerak pelan namun teratur, kaus, blus, pakaian tidur, semuanya diletakkan dengan rapi ke dalam laci-laci yang kini menjadi miliknya. Sementara itu, Adrian berdiri di ambang pintu, memerhatikannya dalam diam. Tidak mengganggu, hanya hadir.
Beberapa saat kemudian, ketika laci terakhir tertutup dan koper kosong diletakkan di sudut, Elina berdiri menghadap rak yang kini berisi sebagian dirinya.
Adrian mendekat, lalu berkata, "Selamat datang di rumah."
Elina menoleh. "Terima kasih... karena sudah memberiku ruang, bukan hanya di sini," ia menyentuh pinggiran laci dengan jari "tapi juga di tempatmu yang lain."
Mereka tak membahas lebih dari itu. Tak perlu. Karena malam itu, kamar itu, dan keheningan yang mereka bagi... sudah lebih dari cukup untuk memulai.
...****************...
Malam menua dengan perlahan, menyelimuti rumah itu dengan keheningan yang nyaris suci. Lampu-lampu telah diredupkan. Claire tidur nyenyak di kamarnya, dan tak ada lagi suara selain detak jam di dinding dan hembusan lembut angin malam dari balik jendela yang sedikit terbuka.
Di kamar utama, Elina berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Pijar lampu temaram dari lampu meja menciptakan bayangan lembut di wajahnya. Sementara di belakangnya, Adrian telah berganti pakaian. Ia duduk di tepi ranjang, membungkuk sedikit, membenahi letak selimut, seolah sedang mencari cara paling netral untuk berada di ruangan yang sekarang menjadi milik bersama.
Elina selesai, lalu menaruh sisir di atas meja kecil. Ia berbalik, dan pandangan mereka bertemu sekilas. Tidak ada senyum, tapi juga tak ada ketegangan. Hanya sejenak keheningan yang menyatukan, dan pengertian yang diam-diam tumbuh.
"Sudah siap tidur?" tanya Adrian dengan suara pelan, seolah takut mengganggu kedamaian malam.
Elina mengangguk. Ia menaiki ranjang dari sisi lain, dan dengan gerakan hati-hati, menarik selimut hingga sebatas pinggang. Mereka berdua berbaring memunggungi satu sama lain, menyisakan ruang di tengah kasur yang cukup luas untuk menjaga batas yang belum ingin dilanggar.
Beberapa menit berlalu dalam diam.
Namun, tak lama kemudian, Elina perlahan membalikkan badan. Tatapannya jatuh pada punggung Adrian yang tenang dan kokoh. Hatinya terasa aneh, campuran antara canggung, hangat, dan sedikit rindu pada sesuatu yang belum ia pahami.
"Adrian..." bisiknya.
Pria itu memutar kepala pelan, menoleh ke arahnya. "Hm?"
"Terima kasih.... sudah menepati janjimu," ucap Elina lirih. "Dan... sudah memberiku tempat ini."
Adrian menatapnya, lama, sebelum akhirnya berbalik menghadapnya sepenuhnya. Wajahnya teduh, tidak menuntut, hanya menyimak.
"Aku tidak akan pernah memaksamu untuk apa pun, Elina," katanya lembut. "Kau boleh tidur dengan tenang di sampingku. Kau aman di sini."
Ada jeda. Elina menunduk sedikit, lalu perlahan mengulurkan tangannya.
Adrian menyambutnya.
Tak ada lebih dari itu, hanya jemari yang bertaut, ringan tapi nyata. Sebuah keintiman kecil yang tidak memerlukan penjelasan. Tangan mereka berada di antara dua tubuh, menjadi jembatan dalam hening yang nyaman.
Mereka tertidur dalam keheningan yang tak membebani.
Dan malam itu, ranjang yang luas itu terasa cukup hangat oleh tangan yang saling menggenggam, oleh kepercayaan yang perlahan tumbuh, bukan karena paksaan, tapi karena pilihan yang diam-diam dibuat hati.
Rumah itu, kamar itu, dan tempat tidur itu... menjadi saksi dari awal yang tak gemuruh, tapi nyata.
...****************...
Cahaya matahari pagi menyusup lembut lewat celah tirai, menyinari kamar tidur utama dengan semburat keemasan. Adrian membuka matanya perlahan, dan untuk sejenak ia hanya berbaring diam, membiarkan dirinya menyadari di mana ia berada, di rumahnya, ranjangnya, bersama istrinya yang kini nyata hadir bukan hanya dalam status, tapi dalam keseharian yang mulai terbentuk.
Tak ada Elina di sisinya. Tapi kehangatan yang tertinggal di tempat tidurnya cukup memberitahu bahwa istrinya itu telah bangun lebih dulu.
Lalu aroma lembut menyusup ke dalam ruang: wangi kopi segar, roti panggang, dan mungkin sesuatu yang manis, vanila atau kayu manis, ia tidak yakin. Adrian duduk, mengusap wajahnya sebentar sebelum berjalan keluar kamar.
Dan di situlah ia melihatnya, pemandangan pagi yang sederhana, namun mampu menggetarkan hatinya lebih dari apapun.
Elina, dengan rambut setengah diikat dan apron lembut melingkari pinggang rampingnya, sedang berdiri di dapur terbuka yang terhubung dengan ruang makan. Jemarinya cekatan memotong buah-buahan, sesekali menoleh ke arah Claire yang duduk manis di kursinya dengan seragam sekolah biru muda dan pita kecil di rambutnya. Bocah itu mengayun-ayunkan kakinya dengan riang sambil menunggu sarapan.
Adrian terdiam di ambang pintu beberapa detik, hanya memandangi mereka. Hatinya terasa penuh... oleh sesuatu yang tak bisa ia lukiskan. Sebuah rasa tenang yang tak pernah ia bayangkan bisa hadir di rumah ini. Rumah yang dulu hanya berisi dua orang kini dipenuhi kehangatan dari tiga jiwa, dan satu di antaranya mencuri napasnya dengan cara yang paling sederhana.
"Pagi," sapa Elina ketika menyadari kehadirannya.
Adrian tersenyum tipis dan berjalan mendekat. "Pagi. Sepertinya aku bangun terlalu siang."
"Tidak juga. Kopimu masih hangat." Elina meletakkan secangkir kopi hitam di meja, lalu kembali ke dapur. "Sarapan sebentar lagi selesai. Aku juga sudah siapkan bekal untukmu dan Claire."
Claire berseru kecil, "Daddy, lihat! Aku pakai pita yang Mama pilih!"
Adrian meraih anaknya, mengusap kepala kecil itu penuh sayang. "Kau cantik sekali. Mama punya selera yang bagus."
Sambil menyantap sarapan yang disiapkan Elina, mereka duduk bertiga di meja makan. Hangat dan ringan, tanpa percakapan yang berlebihan, namun cukup untuk membuat suasana terasa seperti rumah.
Di tengah makan, Adrian meletakkan garpunya sebentar dan menoleh ke arah Elina. "Aku lupa memberitahu satu hal," ujarnya. "Di rumah ini tetap akan ada satu asisten rumah tangga. Hanya bekerja ketika kau juga sedang bekerja. Dia tidak akan mengganggu privasimu, hanya membantu membereskan rumah dan menyiapkan beberapa hal dasar. Jadi kau tidak perlu terlalu lelah."
Elina menatapnya sejenak. "Aku tidak keberatan," katanya pelan. "Kalau hanya datang saat aku tidak di rumah, itu tidak masalah."
"Bagus," balas Adrian dengan nada lembut. "Aku hanya tak ingin kau kelelahan menjalani semuanya sendirian."
...****************...
Elina berjalan pelan ke arah Adrian yang sedang merapikan jasnya di ruang tamu. Tangan mungilnya terulur untuk membetulkan kerah kemeja suaminya, merapikan dasi yang sedikit miring, dan menepuk lembut pundaknya seolah berkata: Kau bisa melewati hari ini.
"Jasmu kusut sedikit di sini," bisiknya, setengah senyum.
Adrian menunduk sedikit, membiarkannya bekerja dalam diam. Tatapannya terhenti pada wajah Elina yang begitu tenang, begitu dekat. Ada sesuatu yang hangat mengendap di dadanya, tapi tak ia ucapkan. Ia hanya membalas dengan gumaman rendah, "Terima kasih."
Sementara itu, Claire masih duduk di meja makan, mengayun-ayunkan kakinya sambil menghabiskan potongan terakhir rotinya. Sesekali ia melirik ke arah kedua orangtuanya, lalu terkikik pelan melihat "Daddy" yang tampak seperti murid sekolah sedang dibantu gurunya.
"Aku juga bisa rapi sendiri, lho," serunya dari meja. "Tapi Daddy kayaknya butuh Mama buat rapi."
Elina tertawa kecil. Adrian melirik anak itu lalu berbalik menatap istrinya. "Sepertinya kita punya pengamat jujur di rumah."
"Dan dia tidak akan diam," balas Elina sembari mengambil kotak makan Adrian dari atas meja dan menyerahkannya ke tangannya.
Satu pagi sederhana, tapi penuh kehangatan yang perlahan mulai menjadi kebiasaan baru bagi mereka.
Tak lama kemudian, mereka selesai sarapan. Adrian menyiapkan jas kerjanya, Elina merapikan rambut Claire, dan kotak bekal mungil berpita diletakkan ke dalam tas kecil sang anak.
Hari itu adalah awal dari banyak hal, hari pertama Adrian kembali ke pekerjaannya, hari pertama Elina kembali mengajar... dan hari pertama Claire duduk di kelas sebagai murid mama-nya sendiri.
Dan meskipun segalanya masih baru, masih rapuh dan belum sepenuhnya nyaman, namun pagi itu membuktikan bahwa mereka bisa, bahwa kebersamaan bisa tumbuh, meski pelan-pelan.
Rumah itu, yang dulu hanya menjadi tempat tinggal, kini perlahan menjelma menjadi rumah... sungguhan.