Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Persimpangan Takdir
Robin masih menggenggam tangan istrinya saat mereka melangkah menuju satu-satunya kendaraan roda dua di parkiran. Ketegangan terlihat jelas di wajah Ratna. Ia merangkulnya pelan dari samping.
“Maaf ya, aku membawamu ke situasi seperti ini,” ucap Robin lirih. Ia menggantungkan jam yang tak jadi diberi kepada yang memiliki hajat tadi ke pengait yang ada di motornya.
"Lumayan ya, kita pakai aja buat kita berdua. Nggak perlu beli lagi," ucap Robin memainkan kedua alisnya beberapa kali.
Ratna tersenyum kecil. Garis halus di sudut matanya tampak saat ia berkata, "Iya, sepertinya jam itu memang rezeki bagi kita. Kapan lagi memiliki kesempatan memakain jam mahal secara gratis gitu kan?" Ratna terkekeh sendiri.
“Padahal, biasanya, aku melewati semuanya sendirian. Tapi sekarang, setelah kita bersama, aku tak lagi merasa gemetar melewati situasi seperti ini. Karena ada genggamanmu, aku masih bisa berdiri dengan tegak.”
Robin menghela napas lega. “Benarkah? Meski aku datang dengan segala keanehanku?”
Ratna kembali terkekeh. "Kok kamu sadar kalau kamu itu aneh?"
Robin terkekeh. "Ya, siapa tau kan? Aku tak sangka ternyata aku beneran aneh bagi kamu," tawanya semakin keras di antara orang-orang yang menatap mereka remeh dengan motor butut yang ada di dekat mereka.
Robin menarik sebuah helm dan langsung memasangkannya pada Ratna. Istrinya itu tersenyum merasa beruntung mendapat suami seperti Robin. "Kalau kamu seperti ini, aku merasa tak yakin kamu memilih hidup sendiri? Boleh kah kamu menceritakan tentang masa lalumu?"
Robin memutar kepala memperhatikan sekelilingnya. "Hmmm, aku rasa tempat ini bukan lokasi yang tepat untuk menceritakan semua," ucapnya. Ia mengusap perut dan memasang helmnya sendiri. "Aku rasa, tubuh tua kita ini tak boleh dibiarkan kelaparan terlalu lama," ucapnya lagi sembari memasang helm.
Ratna menganggukkan kepala menyetujui pernyataan sang suami. Robin dengan cepat menaiki motor dan menyalakannya. Namun, di saat Ratna hendak duduk di bangku penumpang, mata Ratna terpaku pada sosok yang baru saja turun dari sebuah mobil SUV.
"Ayo, kenapa belum naik juga?" tanya Robin melirik pada istrinya. Lalu beralih pada sebuah keluarga yang sepertinya tamu acara ini, yang baru saja sampai.
"Ha-Hanza?" ucapnya gugup. Matanya terfokus pada gadis usia remaja yang merangkul lengan pria paruh baya di sampingnya.
"Siapa mereka?" tanya Robin mengerutkan kening melihat reaksi Ratna.
Kebetulan, gadis remaja itu menoleh pula ke arah mereka. Tampak gadis itu membesarkan mata dan menahan pria yang sedang ia gelayuti dengan manja. Sontak, pria itu menghentikan langkah mengerutkan kening menatap gadis muda tadi. Lalu, gadis itu menunjuk Ratna dan pria paruh baya itu beralih pada Ratna.
Degh
Jantung Ratna seakan mendapat pukulan keras melihat pria dan gadis remaja yang menatapnya itu. Mereka adalah orang-orang yang pernah disakiti oleh Ratna. Tiba-tiba saja, air mata menggenang dengan cepat. Napasnya tercekat mengenang masa lebih dari lima belas tahun lalu.
"Bang Mara, Hanza ... kenapa berhenti?" Wanita berhijab kembali mendekati pada dua orang yang mematung menatap Ratna. Lalu ia pun beralih memutar kepala menatap Ratna.
"Wah, Mbak Ratna?" ucap wanita berhijab yang terlihat sangat cantik itu. Ia menarik mereka yang hanya mematung mendekati dua orang yang berada di motor ini.
Dengan ramah, ia menyalami Ratna. "Mbak Ratna, apa kabar?" Lalu ia menangkupkan kedua tangan di hadapan Robin.
"Baik," ucap Ratna segera menyeka air matanya. Ratna merangkul pundak wanita berhijab itu. "Kenalkan, ini suami baruku," ucapnya lagi.
"Bang, ini Aylin ..." ucap Ratna dengan mata berkaca-kaca.
Robin menyadari ada yang aneh dengan orang-orang ini, tetapi saat ini ia hanya memilih diam dan memperhatikan. "Saya Robin," ucapnya menganggukan kepala.
"Tunggu sebentar ya?" Wanita berhijab bernama Aylin itu kembali pada dua orang yang terus mematung itu. Kini, wajah mereka terlihat datar tanpa ada senyuman.
"Fazel, ayo salami Mama Ratna dan suaminya dulu," ucap Aylin kepada sang putra. Putra kandung Aylin dan Asmara.
“Hanza, kenapa kamu diam aja? Apa kamu tidak merindukan Mama Ratna? Ingat, dia adalah orang yang melahirkanmu? Bagaimanapun, surgamu adalah Mama Ratna,” Aylin mengingatkan dengan suara lembut tapi penuh tekanan.
Suasana jadi kaku. Bahkan angin sore pun terasa seolah berhenti berhembus.
Robin menoleh pelan ke arah Ratna, yang kini mulai menggigit bibirnya sendiri. Bola matanya merah, menahan buliran air yang sejak tadi ingin tumpah. Tangannya gemetar, tapi genggaman Robin tak pernah lepas darinya.
Gadis bernama Hanza itu mengatupkan rahangnya. Pandangannya tertuju pada Ratna, namun tak ada kehangatan di sana. Yang terlihat hanya luka, atau mungkin kemarahan yang sudah lama membatu.
“Aku nggak butuh diingatkan siapa yang melahirkanku, Ma,” ucap Hanza dingin, tanpa menoleh pada Aylin. “Aku hanya butuh Mama Aylin, yang menemaniku semenjak aku ditinggalkan di kala aku masih membutuhkan ASI.” Mata gadis itu merah padam, berkaca-kaca menahan sesuatu yang kini akhirnya meledak dengan dahsyat.
Ratna terperanjat. Kalimat itu seperti belati yang ditusukkan ke dalam hati. Ia menunduk, berusaha segera mengusap mata menyembunyikan kesedihan yang menari-nari di matanya.
Robin mendekat, membisikkan, “Kita bisa pergi kalau kamu mau. Kamu tak perlu memaksakan diri, Sayang.”
Namun Ratna menggeleng pelan. Ia mengangkat wajahnya, memaksakan senyum. “Tak apa. Aku memang layak mendapatkan ini. Aku sudah lama menantikan hari di mana aku bisa meminta maaf. Meski mungkin, kata maaf itu tak akan pernah cukup atas segala dosa masa laluku.”
Asmara Hadijaya Ningrat, pria paruh baya yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya serak dan berat. “Ratna... aku pikir, aku tak akan pernah bertemu lagi denganmu. Tapi sekarang, melihatmu berdiri di depan kami, seperti ini...” Ia menggeleng, tidak melanjutkan kalimatnya.
“Terima kasih... sudah menjaga mereka,” ucap Ratna lirih. “Walaupun aku tak pantas mendapat pengampunan, setidaknya aku ingin mengatakan itu... sebelum aku benar-benar tak punya kesempatan lagi.”
Aylin menggenggam tangan Ratna, meski pandangan Hanza masih penuh penolakan.
“Satu langkah di hari ini lebih baik daripada selamanya diam,” ucap Aylin pelan. “Tapi mungkin memang belum waktunya. Biarkan hati yang memilih kapan ia bisa terbuka.”
Robin menatap Ratna dengan mata teduh. “Kamu sudah cukup kuat, Ratna. Bahkan lebih dari yang kamu kira.”
Motor Robin kembali dinyalakan. Dentuman mesinnya mengusir keheningan canggung. Ratna naik perlahan ke jok belakang. Sebelum helm menutupi wajahnya, ia sempat memandang Hanza sekali lagi.
“Mama akan selalu mencintaimu... walau kamu memilih untuk terus membenci Mama selamanya,” bisiknya dalam hati.
Robin menarik gas pelan. Motor butut mereka melaju perlahan, meninggalkan parkiran yang kini terasa seperti tempat persimpangan takdir, antara masa lalu dan masa depan yang kini menemaninya.
Di sisi lain, wanita bergaun biru tua tadi melipat kedua tangan di dadanya. "Menarik juga," ucapnya.