pengalaman pahit serta terburuk nya saat orang yang dicintai pergi untuk selama-lamanya bahkan membawa beserta buah hati mereka.
kecelakaan yang menimpa keluarganya menyebabkan seorang Stella menjadi janda muda yang cantik yang di incar banyak pria.
kehidupan nya berubah ketika tak sengaja bertemu dengan Aiden, pria kecil yang mengingatkan dirinya dengan mendiang putranya.
siapa sangka Aiden adalah anak dari seorang miliarder ternama bernama Sandyaga Van Houten. seorang duda yang memiliki wajah bak dewa yunani, digandrungi banyak wanita.
>>ini karya pertama ku, ada juga di wattpad dengan akun yang sama "saskavirby"
Selamat membaca, jangan lupa vote and coment ✌️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon saskavirby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 30
Selama sebulan ke depan Sandy akan bertolak ke Jerman guna mengurus perusahaan cabang barunya.
Sebenarnya Sandy sudah mengajak Stella untuk melangsungkan pernikahan sebelum dia berangkat ke Jerman. Namun Stella menolak, dia tidak mau terburu-buru, sehingga dia memilih untuk menikah ketika sepulangnya Sandy dari Jerman.
Sandy sempat berkunjung ke rumah Ayah Stella di Bandung, bermaksud melamar Stella langsung dari Ayahnya, orangtua Stella sempat terkejut, melihat anaknya pulang membawa calon suami beserta keluarganya.
Di tambah lagi mendengar niat baik keduanya yang akan menikah, namun Ayah Stella tetap memberikan restu untuk kebahagiaan anaknya. Serta memberikan beberapa nasehat dan petuah kepada Sandy, agar menjaga anaknya dengan baik.
Intan sangat terkejut melihat Stella yang berkunjung dengan seorang pria yang notabene adalah calon suami kakak tirinya. Dan itu bukan Rega, seperti apa yang dia duga selama ini. Dia merasa bersalah telah menuduh kakaknya, bahkan dirinya belum meminta maaf sampai saat sekarang.
Akhirnya dengan keberanian, Intan mengakui semua kesalahannya kepada Stella, meminta maaf kepada kakaknya dengan linangan air mata.
Stella sempat tak percaya Intan berbuat seperti itu, dan tidak percaya padanya. Namun Stella sudah melupakan semuanya dan memberi maaf untuk Intan.
Saat ini Stella sedang berada di bandara guna mengantar Sandy yang akan bertolak ke Jerman selama sebulan. Setelah mobil berhenti tepat di samping jet pribadi, ketiganya turun, Stella menggandeng tangan Aiden.
Sandy mensejajarkan tubuhnya dengan Aiden, mengusap kepalanya sayang. "Aiden jangan nakal, nurut sama Bunda, ya, jangan bikin Bunda marah."
Aiden mengangguk. "Siap, Daddy," jawabnya dengan posisi hormat.
"Anak pintar," ujar Sandy mengacak rambut Aiden, lalu berdiri menghadap Stella. "Jaga dirimu."
Stella tersenyum. "Kamu juga, jangan telat makan, istirahat yang cukup," nasehatnya.
Sandy mengangguk tersenyum, mengelus kepala Stella, kemudian mencium keningnya.
Stella mengangkat tubuh Aiden ke gendongannya.
"Daddy, hati-hati," ucap Aiden sendu.
Sandy mengelus pipi Stella dan juga Aiden. Lalu mencium pipi Aiden, dan beralih mencium kening Stella. Dirinya sangat berat meninggalkan dua orang terpenting dalam hidupnya itu.
Namun bagaimana lagi, ini adalah kewajiban yang tidak bisa digantikan atau ditunda, dengan berat hati dirinya harus meninggalkan separuh hatinya di sini, dan separuh lagi dia bawa ke negara orang.
Stella dan Aiden melambai ke arah Sandy. "Da- dah, Daddy."
Sandy membalas lambaian tangan Stella dan Aiden, seraya berjalan memasuki jet pribadinya.
...***...
Seminggu berlalu sejak keberangkatan Sandy ke Jerman, Stella lah yang kini mengurus Aiden, mengantar serta menjemputnya pulang sekolah. Bahkan beberapa kali Aiden menginap di rumah Stella dan sebaliknya, Stella menginap di kediaman Van Houten.
Awalnya dia merasa tidak enak, karena belum ada status apapun tapi sudah berani menginap di rumah orang. Laras dan Vero sama sekali tidak mempermasalahkan itu, namun justru Stella yang merasa tidak nyaman, bagaimana pendapat orang lain nantinya.
Sepulang sekolah Stella mengajak Aiden ke rumahnya, setelah menyuapi Aiden makan, Stella mengajak Aiden duduk di sofa untuk mengerjakan PR. Kebiasaan yang diajarkan Stella adalah sepulang sekolah, makan siang, dan mengerjakan PR, setelah itu tidur siang.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar pintu rumahnya diketuk.
"Aiden lanjut kerjakan, ya, Bunda buka pintu dulu."
"Iya, Bunda."
Ceklek!
"Ibu?" ucap Stella terkejut melihat mantan mertuanya bertandang ke rumahnya. Dia segera meraih dan mencium tangan Dewi (Mantan mertuanya). "Silahkan masuk, Bu," ucapnya mempersilahkan.
Stella meletakkan minuman dan makanan ringan di atas meja, kemudian ikut duduk di samping Dewi. "Bagaimana kabarnya, Bu?"
"Baik, Ste, tapi tidak dengan Ayahmu," jawab Dewi lesu.
"Ayah kenapa, Bu?" tanya Stella khawatir. Meskipun sudah bukan mertua lagi, tapi Stella masih peduli dengan orangtua mantan suaminya itu.
"Ayahmu sakit, Ste," jawab Dewi sedih.
"Sakit? Sakit apa, Bu?"
"Kanker otak."
"Astagfirullahaladzimm," Stella tersentak menutup mulutnya,
Dewi menghela nafasnya lelah. "Maksud kedatangan Ibu ke sini ingin meminjam uang padamu," akunya jujur. "Apa kamu masih menganggap kami orangtuamu setelah kepergian Hari?" tanya Dewi hati-hati.
"Astaga, Ibu, tentu Stella masih menganggap Ibu dan Ayah sebagai orangtuaku, Bu," Stella meraih tangan Dewi yang mulai terlihat garis-garis halus.
Dewi tersenyum mengangguk.
"Ibu butuh berapa?"
"Dua puluh lima juta," lirih Dewi menatap Stella yang terkejut. "Itu untuk biaya kemoterapinya," sambungnya.
Stella menggigit bibir bawahnya, sebenarnya dia tidak keberatan meminjamkan uang kepada mantan mertuanya. Tapi, uang segitu cukup membuat tabungannya terkuras habis setelahnya.
"Bunda?"
Dewi dan Stella menoleh ke arah Aiden.
"Sini, Sayang, salim dulu sama Eyang," ujar Stella meminta Aiden mendekat.
Aiden mengangguk, kemudian mencium tangan seorang wanita seperti Oma Laras.
Dewi menyernyit bingung, matanya menatap Aiden dan Stella bergantian.
"Ini Aiden, Bu, em, anakku," aku Stella melihat kebingungan di wajah Dewi.
Dewi terkesiap. "Kamu sudah menikah lagi?" tanpa sadar intonasi suara Dewi meninggi.
Stella menggeleng. "Belum, Bu, sebentar lagi." Dia tersenyum mengelus kepala Aiden yang duduk di sampingnya. "Dia anak dari calon suamiku."
Dewi menghela nafas pelan, Stella memang masih muda, cantik pula, tak jarang banyak yang menyukai mantan menantunya itu, dia juga tidak bisa membiarkan Stella sendirian setelah ditinggal anaknya pergi, wanita itu berhak bahagia.
Dewi mengangguk. "Iya, Nak, kamu harus meneruskan hidupmu, dan berbahagialah," doanya tulus.
"Terimakasih, Bu."
Dewi berdehem. "Lalu bagaimana yang tadi, Ste? Bisa ibu meminjam uang padamu?"
Stella mengangguk. "Tunggu sebentar, Bu."
Stella beranjak menuju kamarnya, kemudian kembali dan menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada Dewi. "Ini ada cash sepuluh juta, Bu, nanti sisanya biar aku transfer."
Dewi menerima uang dari Stella lalu memeluknya. "Terimakasih, Nak, maaf merepotkan, Ibu akan mengembalikan segera mungkin."
"Iya, Bu, jangan dipikirkan, yang penting Ayah bisa cepat sembuh," balas Stella mengelus punggung Dewi.
"Oh, iya, Ayah dirawat di rumah sakit mana, Bu?"
"Ada di Bandung, sengaja Ibu datang ke sini mengunjungimu."
"Apa tidak sebaiknya Ibu menginap di sini, ini 'kan rumah mas Hari juga, Bu,"
"Tidak usah, Ste, Ibu akan kembali ke Bandung sekarang juga, kasihan Jihan sendirian menunggu Ayah di rumah sakit," tolak Dewi.
"Ya sudah, Ibu hati-hati."
Dewi mengangguk. "Kamu juga, Nak, Ibu pulang, ya?"
Stella tersenyum dan mengangguk.
"Terimakasih banyak, Nak, kamu memang wanita yang sangat baik," Dewi kembali memeluk tubuh Stella.
"Sama-sama, Bu, semoga uangnya membantu kesembuhan Ayah," doa Stella tulus.
*
"Bunda itu siapa?" tanya Aiden ketika Dewi sudah pergi dari rumahnya.
"Itu neneknya adik Rafa, Sayang."
Aiden mengangguk-angguk.
Usia Aiden memang lebih tua beberapa bulan dari mendiang anaknya -Rafa-, Stella sudah menjelaskan keseluruhan cerita Rafa kepada Aiden, agar Aiden tahu bahwa dirinya pernah mempunyai adik, walau beda ibu.
"Sudah selesai PR nya?"
"Belum, Bunda, ada yang Aiden tidak paham."
"Ya sudah, ayo kita kerjakan."
"Ayo, Bunda."
Stella menggandeng tangan Aiden kembali memasuki rumah.
***
...20 Januari 2020...