Bunda Untuk Daddy (Tamat)
Suara sirine ambulance yang berbunyi nyaring memenuhi pendengaran setiap pengemudi bahkan para pejalan kaki.
"Telah terjadi kecelakaan di tol ... km 35, kecelakaan diduga terjadi karena salah satu truck yang bermuatan pasir oleng dan menabrak pembatas jalan, disusul beberapa mobil yang berada berlawanan arah menjadi salah satu kecelakaan yang menewaskan setidaknya lima orang ..."
Di tempat lain, tayangan televisi memperlihatkan seorang wanita tengah membacakan berita mengenai kecelakaan di sebuah tol, beberapa pengunjung rumah sakit terlihat fokus melihat berita tersebut. Nampak seorang wanita dengan kepala yang masih dibalut perban berlari menuju ruang ICU (Intensive Care Unit) tanpa menggunakan alas kaki.
Brak!
Ia mendorong pintu keras, menghampiri brangkar pasien tergesa.
"Bangun, Yah. Ayah, bangun."
"Rafa, bangun, sayang. Ini Bunda, nak,"
Wanita itu mengguncang dua pria yang berbaring di atas brangkar dengan tangisan pilu, namun tidak ada sahutan dari keduanya.
"Jangan tinggalin Bunda sendirian, hiks, hiks," raungnya tergugu. "Tuhan, jangan ambil mereka dariku, aku tidak bisa hidup tanpa mereka," airmata terus mengucur deras di kedua pipinya yang putih melihat dua orang yang dicintai terbujur kaku.
Tubuh wanita itu luruh dilantai dengan isak tangis yang memilukan, tak berapa lama kedua matanya terpejam. Ia pingsan.
...***...
Lima tahun kemudian...
Stella Ayu Ghani, orang-orang biasa memanggilnya —Stella. ia seorang janda muda berumur 25 tahun. Perawakannya tinggi semampai, rambut lurus panjang, cantik dan anggun, tak sedikit yang mengira bahwa Stella masih gadis dan belum menikah. Padahal ia sudah pernah melahirkan.
Stella memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang di tengah padatnya lalu lintas, hari itu ia bermaksud mengunjungi dua pria yang teramat dicintai.
Beberapa menit kemudian ia sampai di tempat tujuan. Stella memperhatikan wajahnya di cermin, menaikkan kain panjang guna menutupi kepala, setelahnya ia meraih buket bunga di kursi samping dan keluar dari mobil.
Ia berjalan memasuki gapura bertuliskan "Pemakaman Umum", sebuah area luas yang di isi gundukan rapi di kanan kiri. Ia melewati jalan setapak guna menghindari gundukan dengan rumput hijau yang ditata rapi. Stella terduduk di antara dua gundukan bertuliskan nama Hari dan juga Rafa. Ia mengusap dua batu nisan tersebut dan tersenyum. "Hai, dua pria kekasih Bunda, apa kabar hari ini?" sapanya seperti biasa.
Stella akan berdoa dan bercerita semua hal dengan keduanya meskipun tak ada sahutan. Berbagi kisah dan kasih yang ia lalui pada dua pria yang sangat berarti di hidupnya. Tak mudah baginya melepaskan suami dan anak yang amat sangat ia cintai kembali ke sang pencipta, namun ia tak bisa terus bersedih meskipun bayang-bayang kebersamaan mereka sering melintas.
Entah sudah berapa lama ia terduduk nyamam di sana, entah sudah berapa cerita yang ia tuang dalam pusara tersebut, langit yang terang tiba-tiba perlahan redup, Stella mendongak memperhatikan awan yang menggelap, ia gegas berpamit pada mendiang suami dan anaknya untuk pulang.
Langit sangat tak bersahabat dengannya hari itu, Stella sudah pastikan tidak akan tiba di parkiran dalam keadaan kering sebab hujan sudah lebih dulu merintik di atasnya. Ia memilih berteduh di pendopo kecil di tengah-tengah makam, yang biasanya digunakan untuk tahlilan dan tempat menyimpan keranda. Tiba di pendopo ia terkejut melihat seorang pria yang juga bernasib sama sepertinya, namun hal tersebut setidaknya membuat dirinya lega karena tak harus berada sendirian di makam.
Jujur saja, siapa yang tidak takut berada di tengah-tengah tempat berkumpulnya para jasad dengan keadaan hujan deras disertai angin juga kilat, sepertinya tidak ada yang bisa bertahan lama di tempat menyeramkan seperti itu.
Stella mencuri tatap pria di sampingnya, tinggi dan atletis, sepertinya pria itu pekerja kantoran, bisa dilihat dari pakaiannya yang menggunakan seragam kemeja serta jas hitam, namun wajahnya tidak begitu jelas, ia berharap pria itu orang baik.
Waktu berlalu dan hari semakin gelap, bahkan hujan belum juga ingin berhenti menjatuhkan bulir-bulir dari langit. Udara kian menusuk, Stella menggosok-gosok kedua tangannya, menempelkan pada pipinya untuk memberi rasa hangat. Ia menoleh saat mendengar pria itu tengah bertelepon untuk minta dijemput.
Dan benar saja, tak lama kemudian, datang seorang pria berpakaian sama seperti pria di sampingnya, kemeja hitam dibungkus jas hitam, serta celana hitam. Pria itu membawa payung dan menyerahkan salah satunya pada pria di sampingnya.
Stella menggigit bibir bawahnya, kalau pria itu pergi, berarti tandanya ia sendirian. Tentu saja ia takut. Jalan satu-satunya adalah berlari menerobos hujan, biarlah ia basah kuyup asal tidak di makam sendirian, pikirnya.
Namun siapa sangka, pria di sampingnya menawarkan Stella untuk berbagi payung dengannya.
"Mau ikut pulang denganku, Nona?"
Stella nampak sungkan. "Ah, tid —"
Srek srek.. kriyettt... !!
Belum sempat Stella menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba suara di belakangnya membuatnya menoleh terkejut, ia menelan salivanya alot.
"Bagaimana?" ulang pria di sampingnya.
Tak bisa menghindar dan menolak, Stella tak ingin sendirian di tempat menyeramkan, sebenarnya ia amat tidak enak menerima tawaran berbagi payung pria tersebut, tapi jika menolak ia akan basah kuyup dengan jarak parkiran yang cukup jauh. Pada akhirnya ia mengangguk setuju untuk berjalan beriringan dengan pria asing tersebut. Sementara pria yang satunya berjalan di belakang mereka.
Suasana hening sampai di parkiran, setelah Stella menunjukkan tempat parkir kendaraannya, ia gegas masuk dan berucap terimakasih kepada sang pria yang dibalas anggukan.
Stella menutup pintu mobilnya dan bernafas lega. "Untung saja dia orang yang baik," gumamnya tersenyum.
...***...
Sandyaga Van Houten, pemilik Houten Group, perusahaan raksasa dengan cabang hampir di seluruh penjuru dunia, mulai dari hotel, restoran, furniture, sekolah, rumah sakit, club dll. Seorang miliarder dengan sejuta pesona. Tampan, kaya, famous, hampir semua mengenal siapa Sandy.
Apalagi setelah istrinya meninggal, ia semakin terkenal dengan julukan duda tampan. Banyak wanita yang berusaha mendekatinya, namun tidak pernah ia merespon, karena fokusnya hanya kepada putra tunggalnya —Aiden Van Houten. Sandy hanya akan menikah kalau putranya yang menginginkan seorang ibu.
Sore itu, Sandy bermaksud mengunjungi makam istrinya, membawakan bunga mawar putih kesukaan mendiang sang istri. Tak terasa rintik hujan mulai turun, ia memilih singgah di pendopo makam guna menghindari hujan, beberapa detik berikutnya, hujan turun sangat deras.
Tiba-tiba datang seorang wanita berpakaian serba hitam yang berlari ke arahnya, Sandy lekat memperhatikan wanita itu, sampai akhirnya wanita itu berdiri di ujung pendopo sebelah kirinya.
Beberapa kali terlihat wanita itu menggosok-gosok tangannya, sepertinya kedinginan. Dilihat dari gelagatnya yang sering terkejut kala petir menyambar, bahkan sering menengok ke belakang berulang kali kala mendengar suara-suara ranting yang tertiup angin. Sandy pastikan kalau wanita di sampingnya ketakutan.
Hari semakin gelap, Sandy melirik jam tangannya, ia melihat langit yang sepertinya masih betah mengguyur bumi. Ia merogoh saku celana dan mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang. "Bawakan dua payung untukku," ucapnya melirik ke arah wanita di sampingnya.
"..."
"Aku berada di dalam pendopo makam."
"..."
Tut.
Tak berapa lama orang suruhannya datang memberikan payung untuknya.
"Bukankah aku bilang dua, Vin?" ucap Sandy menatap dingin ke arah Alvin yang merupakan tangan kanannya saat hanya satu payung yang diberikan padanya.
"Maaf, Tuan. Saya pikir dua beserta saya, hehe," jawab Alvin menyengir, sedangkan Sandy memutar bola matanya.
Sandy menoleh pada wanita di sampingnya, terlihat sedang gelisah dengan menggigit bibirnya berulang kali, ia tahu kalau wanita itu ketakutan. "Mau ikut pulang denganku, Nona," tawarnya kemudian.
Wanita itu menoleh. "Ah, tid —"
Srek srek.. kriyettt... !!
Wanita di hadapannya tersentak mendengar suara ranting yang beradu tertiup angin.
"Bagaimana?" ulangnya memastikan. Dan dibalas anggukan dari wanita itu.
Sandy menunggu wanita itu bergabung berbagi payung dengannya. 'Wanita ini lumayan tinggi,' Sandy membathin. Tingginya kira-kira sedagunya, padahal wanita itu tidak memakai heels. Wajahnya juga cantik jika dilihat lebih dekat.
Sesampainya di parkiran, Sandy mengantarkan wanita itu sampai di mobil, setelah masuk ke dalam, wanita itu mengucapkan terimakasih dan dibalas anggukan oleh Sandy, selanjutnya Sandy berbalik menuju mobilnya sendiri, berlalu meninggalkan makam diikuti mobil Alvin di belakangnya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Nona Vemilia
bagus crtax ngg bertele2😊smngat thor💪
2024-07-08
0
Yuli Yuli
awal prtemuan dtmpat menyeramkan, jhn LG wah mengerikan sp jg yg g takut
2024-02-29
0
#ayu.kurniaa_
.
2024-02-23
0