Keyz, pemuda berusia sekitar lima belas tahun tanpa sengaja menelan dua buah kristal kehidupan milik Gabrielle dan Lucifer.
Dua kekuatan yang bertolak belakang, cahaya dan kegelapan. Air dan Es. Menyelimuti dirinya.
Dan tiga kesadaran telah bersemayam di dalam jiwanya. Siapakah yang akhirnya nanti berkuasa atas tubuh Keyz?
Gabrielle?
Keyz sendiri?
Ataukah sang laknat dari neraka jahanam, Lucifer?
Ini sedikit berbeda dengan world without end yang sudah tamat, tapi akan saya tulis kembali dengan nuansa yang lebih mendalam. lebih gelap, dan lebih sadis. dan cerita yang sedikit berbeda.
dan pastinya, Keyz yang disini, bukan Keyz yang cemen!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Kembali Ke Kuil Piramida
1
____________________________________________
Blanket Village masih menyimpan ketenangan yang ganjil setelah pertempuran hebat. Kabut tipis pagi menggantung rendah, menyelimuti rumah-rumah kayu dan ladang-ladang kecil yang mulai kembali bernyawa. Aroma rempah dari dapur-dapur penduduk bercampur dengan wangi embun dan kayu basah. Di jalan setapak yang dilapisi tanah merah, langkah kaki ringan terdengar mendekat dari kejauhan.
Keyz berjalan paling depan. Jubahnya berkibar lembut oleh angin, dan dua pedang Zapkeil-nya tergantung tenang di punggung. Di belakangnya, Tim dan Aurel mengikuti, bercakap pelan. Mereka bertiga baru saja kembali dari pertempuran melawan Boss Seedmon.
Alice dan Mimi sudah menunggu di gerbang kayu desa. Alice mengenakan pakaian biasa berwarna hijau lumut dengan syal putih tergantung di lehernya, rambutnya yang panjang diikat sederhana ke samping. Mimi tampak seperti biasa—sederhana, manis, dan tak tertebak. Mata kucingnya memandang Keyz tanpa berkedip, dan ekornya bergerak pelan, seolah menyambut tanpa kata.
Alice melambai lebih dulu. “Kalian pulang!”
“Sayangnya, aku tidak dapat bagian apapun,” jawab Tim, nyengir kecil. Ia memutar tubuhnya pelan, memamerkan punggungnya yang bersih. “Keyz benar-benar sesuatu.”
Aurel menyikut Tim pelan. “Kita kebagian enaknya.” Tapi senyumnya tidak bisa ditahan. Mereka semua tahu, rasa lega karena selamat lebih besar dari keluhan soal peran.
Alice tertawa pelan. “Yang penting kalian kembali dengan selamat.”
Namun, setelah beberapa menit obrolan ringan itu, Tim menatap langit yang mulai memudar warnanya. “Kami pulang dulu ya. Kami harus segera melaporkan kalau Quest ini sudah selesai.”
Aurel mengangguk. “Kami hanya di beri waktu sebentar di sini. Dan, katanya kalau bisa menyelesaikan Quest jauh lebih cepat dari batas waktu yang ditentukan, kami akan mendapatkan imbalan tambahan.”
Keyz menepuk bahu keduanya. “Hati-hati di jalan. Dan jangan pacaran di tengah hutan. Banyak monster liar.”
“Sialan!” seru Tim. “Kamu mulai lagi ya!”
“Bodoh ah!” sahut Aurel cepat, pipinya memerah lagi seperti sebelumnya.
Beberapa pelukan cepat dilakukan. ***Alice*** dan ***Mimi*** ikut melambaikan tangan, mengantar kepergian mereka. Dan setelah itu, hanya ada tiga orang yang berdiri di tengah jalan desa yang tenang: ***Keyz, Alice, Mimi***. Di kejauhan seorang nenek tua yang berjalan perlahan dari dalam rumah panggungnya yang terbuat dari kayu tua. Sosoknya dikenal semua warga desa. Nenek ***Ruhiyo***.
Ia berjalan dengan tongkat kayu lengkung berukir simbol-simbol lama. Suaranya parau tapi mengandung wibawa. Masakannya tiada lawan. Dia mengajak Keyz dan yang lain untuk kembali ke rumahnya. Dia memasak makanan yang dia katakan sebagai masakan paling enak.
Lalu, saat mereka bersantap di meja tua yang sedikit reyot. Nenek Ruhiyo berkata. “Aku rasa, teman kalian ini...” ujarnya pelan, sambil menatap Mimi dengan dalam. “Adalah salah satu Dewi kuno.”
Waktu seperti berhenti sejenak. Angin yang tadi lembut, kini terasa menahan napas. Alice melangkah setengah ke depan, suaranya terdengar pelan namun mendesak. “Nenek Ruhiyo tahu tentang Mimi?”
Sang nenek mengangguk perlahan, kemudian mengajak mereka duduk di salah satu bangku kayu dekat perapian. Kayu bakar sudah menyala, menghangatkan udara sekitar, membuat suasana menjadi lebih hangat.
“Ini hanya cerita lama. Kebenarannya masih simpan siur” ujarnya. “Aku akan ceritakan apa yang aku tahu. Tapi hanya sekali. Karena ini mungkin hanya dongeng. Dan bukan sejarah.”
Mereka semua duduk. Bahkan Mimi pun duduk, meskipun terlihat bingung, tangannya menggenggam ekornya sendiri, sesuatu yang hanya ia lakukan saat gugup. Tatapan matanya tetap fokus, namun ada keraguan di dalamnya.
Nenek Ruhiyo mulai bercerita.
“Dulu... waktu Kerja kerajaan masih berperang satu sama lain ini masih, ada segerombolan iblis yang menyerang Ring world... Gabrielle datang ke Ring World. Ia adalah utusan dari Surga, dan saat itu, iblis-iblis sudah mulai menuruni Ring Mountain dengan niat membumihanguskan tanah ini.”
“Gabrielle tak datang sendirian. Ia turun dari langit seperti cahaya suci. Sayap-sayapnya menyala bagai matahari pagi, dan pedangnya bisa memotong kabut kegelapan. Tapi dunia ini terlalu luas untuk satu malaikat menjaga semuanya. Maka, ia mencari sekutu di antara manusia dan makhluk setempat.”
“Salah satu yang muncul di hadapannya adalah gadis kucing—berkulit gelap seperti langit malam, bermata keemasan, dan tubuhnya gesit seperti bayangan. Gadis itu memanggil dirinya... Miramai. Tapi Gabrielle memberinya nama baru. Nama suci. Nama yang kini telah hilang dari ingatan.”
Nenek Ruhiyo memandangi Mimi dengan tatapan menelusur. “Aku pernah melihat sosok itu, bertahun-tahun lalu, saat aku masih muda. Saat menjelajah Ring Mountain. Di salah satu puncanya, ada reruntuhan kuno. Mirip dengan kuil, tapi lebih besar dan sepertinya lebih tepat di sebut sebagai kastil.”
Keyz melirik Mimi, namun gadis itu hanya diam, seolah terperangkap antara masa kini dan kisah yang baru saja dibuka.
“Di gambar yang aku temukan di sana. Gadis itu,” lanjut Ruhiyo, “bertarung bersama Gabrielle melawan pasukan iblis di lembah Barat Ring World. Dia tidak memakai senjata besar. Hanya sepasang belati pendek dan jurus-jurus cepat yang bahkan iblis pun tak sempat melihat bayangannya. Ia menari di medan perang.”
“Setelah peperangan itu selesai, Gabrielle kembali ke Inner World—ke pusat dunia itu kata orang-orang terdahulu. Tapi ia tahu bahwa Ring World masih akan terus diserang. Maka, ia memanggil para pengikutnya dan membagi tugas. Beberapa malaikat ditinggalkan di sini, menyamar sebagai manusia, penjaga tak dikenal, dan satu... diberi misi panjang untuk tetap di dunia ini, menyatu, menjaga dan... menunggu.”
Nenek Ruhiyo berhenti sejenak, menarik napas panjang. “Aku percaya, Mimi... adalah reinkarnasi gadis kucing itu. Atau bahkan, mungkin dia sendiri.”
Alice tampak shock. “Tapi... tapi Mimi tidak ingat apa-apa tentang masa lalunya!”
Nenek Ruhiyo mengangguk. “Itu biasa. Dewi-dewi yang menyatu dengan dunia fana, lambat laun melupakan jati dirinya. Tapi darah mereka tetap memanggil. Dan suatu saat, takdir mereka akan bangkit kembali.”
Semua diam. Hanya suara api yang berderak perlahan.
Keyz memandang Mimi. Ada sorot mata yang berbeda kini dalam pandangannya. Tak lagi hanya teman perjalanan atau sahabat yang lucu. Tapi bagian dari sejarah besar yang selama ini tersembunyi di balik senyuman polos dan suara centil.
Mimi sendiri hanya bisa menunduk. Telinga kucingnya gemetar sedikit. Ia menggenggam pergelangan tangannya sendiri, berusaha mencari pegangan pada kenyataan baru ini.
“...Kalau begitu,” gumam Keyz pada akhirnya. “Aku dan Alice akan pergi ke Kuil Piramida. Jadi sekarang, sepertinya... kita bertiga harus segera pergi.”
2
____________________________________________
Cahaya sore mulai merambat turun di Blanket Village, menari pelan di atap rumah-rumah kayu yang masih basah oleh embun. Matahari masih malu-malu di balik awan tipis, menyebarkan warna jingga pucat ke seluruh langit barat. Di bawah sinar lembut itu, Keyz dan Alice berdiri di hadapan Nenek Ruhiyo, yang duduk di bangku rotan tua, tangannya memegang tongkat dengan kepala burung hantu yang diukir dari batu obsidian.
“Sampai kapan pun aku tak akan melupakan kebaikanmu Nenek,” ucap Keyz, suaranya tenang namun tegas. “Kami akan pergi ke Kuil Piramida. Kami ingin tahu lebih banyak tentang Mimi… dan masa lalunya.”
Nenek Ruhiyo mengangguk lambat, keriput di wajahnya bergerak mengikuti setiap gerakan kecilnya. “Hati-hati di jalan, anak muda. Dunia ini menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang bisa kau duga. Tapi terkadang, jawaban yang kita cari... justru bisa menghancurkan kita.”
Alice menggenggam tangan Mimi erat-erat, seperti memastikan ia masih di dunia nyata. Angin dari arah utara bertiup lembut, membawa wangi rumput liar. Mimi hanya menunduk, ekornya melilit betisnya sendiri.
Keyz menunduk hormat, lalu berbalik.
Tanpa banyak kata, ia berjalan melewati sungai kecil di sisi timur desa. Rumput-rumput liar menjulur ke pergelangan kakinya. Di atas sana, burung-burung kecil mulai beterbangan rendah, suaranya membelah kehangatan sore yang menggantung. Setiap langkahnya menimbulkan suara gesekan halus antara alas sepatunya dan tanah liat yang mengering.
Alice dan Mimi menyusul di belakang, berjalan menyusuri jalan setapak yang mulai ditumbuhi semak-semak. Daun-daun kecil basah menempel di jubah mereka, meneteskan embun yang jatuh satu per satu seperti tetes waktu yang lambat.
Lalu, saat mereka sudah berada di tengah-tengah sebuah padang kecil yang tersembunyi di antara dua bukit landai, Keyz berhenti. Tempat itu dikelilingi pepohonan tua berdaun lebat, sebagian batangnya ditumbuhi jamur berwarna ungu keabu-abuan. Angin di sana bergerak seperti bisikan, membuat dedaunan berdesir perlahan. Udara terasa lebih sejuk dan hening, seolah alam menahan napasnya, menunggu sesuatu yang besar akan terjadi.
Keyz menyelipkan tangannya ke dalam kantong dalam jubahnya, dan mengeluarkan Key Of Teleport—sebuah kunci kecil berwarna perak kebiruan, dengan ukiran halus di sepanjang sisinya. Ukiran itu membentuk pola spiral yang bergerak, seolah hidup, setiap kali cahaya pagi menyentuh permukaannya.
Ia mencium kunci itu sebentar, lalu berbisik, “Open.”
Kunci itu langsung bergetar halus di tangan, lalu mengeluarkan cahaya biru lembut dari lubang kuncinya. Cahaya itu memanjang ke udara, membentuk lingkaran horizontal dengan tepi berlapis simbol-simbol tak dikenal yang berputar lambat.
Dari dalam lingkaran itu, terbuka celah—udara terbelah, dan sebuah portal muncul.
Di balik portal tampak sebuah pulau: angin laut mengembus dari kejauhan, dan suara ombak menghempas karang terdengar samar. Pepohonan kelapa melambai di kejauhan, dan bangunan kuil kecil berdiri di puncak bukit batu yang menjorok ke laut biru kelam. Di atas pulau itu masih ada kubah pelindung dengan huruf-huruf Rune yang bergerak secara perlahan.
Keyz melangkah masuk. Begitu kakinya menyentuh tanah di sisi lain, tanah itu menyambutnya dengan desir pasir putih yang mengalun halus di bawah sol sepatunya. Burung camar melintas tinggi, dan awan menggulung pelan di langit. Udara di sana terasa asin, menyengat sedikit, namun menenangkan.
Alice dan Mimi menyusul, melangkah keluar dari portal. Portal tetap terbuka di belakang mereka, mengambang, berputar pelan di atas permukaan batu datar seperti pusaran air yang membeku.
Tanpa berkata apa pun, Keyz berdiri diam menghadap ke arah portal, lalu menutup matanya.
Dalam hening itu, ia mulai memusatkan pikirannya.
Ia membayangkan Kuil Piramida—bentuknya, lokasinya, aura yang pernah ia rasakan di sana. Ia membayangkan batu-batu kuno yang menjulang, lorong-lorong sempit yang mengarah ke ruang-ruang tersembunyi, cahaya kuning keemasan yang dahulu pernah menyinari altar.
Key Of Teleport di tangannya kembali menyala. Lingkaran portal bergetar. Angin di sekitar mulai melingkar, perlahan tapi pasti. Daun-daun di tanah terangkat dan berputar seperti sedang menari. Pepohonan di sekitar memekik pelan, seolah menolak perubahan yang datang tiba-tiba. Langit sedikit menggelap, dan petir kecil berdenyut di sekitar tepi portal.
Kemudian...
Keyz membuka mata. “Padang rumput Tobias.”
Ia melangkah masuk lagi ke dalam portal yang sama. Alice dan Mimi mengikuti tanpa ragu, seperti telah mempercayakan seluruh arah hidup mereka pada langkah pria itu.
Mereka muncul—dengan lembut—di sebuah daratan yang berbeda. "Ada apa ini?" Guman Keyz.
Udara langsung berubah. Lebih kering. Lebih sunyi.
Tanah di bawah kaki mereka retak-retak. Berwarna cokelat tua dengan guratan abu dan pecahan kecil kristal hitam. Beberapa batu kerikil tampak bertaburan di permukaan, memantulkan cahaya matahari yang terik namun tertahan awan. Awan-awan di atas tebal dan lambat. Seolah tak bergerak, menggantung berat menutupi langit.
Di hadapan mereka terbentang pemandangan mengerikan.
Kuil Piramida.
Atau lebih tepatnya, sisa-sisanya. Dan Padang rumput hijau telah sirna. Menjadi Padang rumput yang mengering.
Batu-batu kuno yang dulu menjulang tinggi kini tergeletak berserakan. Pilar-pilar patah, retakan menganga di tengah pelataran. Simbol-simbol kuno tertutup debu, dan reruntuhan menyembunyikan lorong-lorong yang dulu penuh rahasia. Beberapa pohon kering berdiri seperti mayat tak bernyawa, dengan daun yang sudah menghitam dan ranting yang seperti cakar mengarah ke langit.
Keyz melangkah ke depan. Kakinya menyentuh batu kecil, menyebabkannya terguling pelan dan menimbulkan suara "krik-krik" yang menggema di antara kehancuran. Ia berhenti, lalu membungkuk dan mengambilnya.
Itu bukan batu biasa.
Di permukaannya ada goresan yang mirip tulisan. Ia menyipitkan mata, menyeka debu dengan jempolnya.
“...Sebuah artefak...”
Alice mendekat. “Kuil ini dan tempat ini... dihancurkan?”
Keyz tidak menjawab. Angin di sekeliling mulai berhembus pelan, membuat rambut Mimi terangkat sedikit. Gadis itu melangkah perlahan, seolah ada sesuatu yang memanggil dari bawah reruntuhan.
Langkah mereka bertiga semakin dalam menuju pusat puing-puing kuil.
Dan di bawah kaki mereka, tanah bergetar sedikit. Halus. Nyaris tak terasa. Tapi cukup bagi debu-debu tipis beterbangan naik... membentuk pola-pola aneh di udara.
Ada sesuatu yang terbangun.