NovelToon NovelToon
Gadis Bar-Bar Mendadak Menikahi Ustadz

Gadis Bar-Bar Mendadak Menikahi Ustadz

Status: tamat
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kontras Takdir / Suami ideal / Gadis nakal / Tamat
Popularitas:69.2k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia's Story

Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.

Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.

Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengapa Kamu Memilihku ?

Kabar batalnya Ustadz Alghazali hadir sebagai pembicara utama dalam Acara Dakwah Nasional sontak membuat gaduh panitia dan peserta. Sosoknya yang dikenal karena kecerdasan, ketampanan, dan karisma, telah lama dinanti ribuan jamaah yang hadir secara langsung maupun virtual. Banyak yang kecewa. Banyak pula yang penasaran.

Namun ketika pesan singkat Al tersebar:

“Mohon maaf saya tidak bisa hadir. Anak saya sedang sakit. Saya memilih menjadi ayah yang utuh hari ini. Semoga Allah ridho.”

Reaksi pun berubah, dari kekecewaan menjadi perenungan.

Ustadz Malik, seorang tokoh sepuh yang hadir di acara itu, berdiri menggantikan Al untuk membuka ceramah. Setelah memberikan salam, ia menatap hadirin yang mulai tenang.

 “Sahabat kita, Ustadz Alghazali, hari ini memilih menemani anaknya yang sedang sakit. Bagi sebagian kita, itu mungkin tampak sepele. Tapi itulah contoh nyata… Seorang alim yang tak hanya pandai bicara, tapi benar-benar hidup dalam nilai-nilai yang ia ajarkan.”

Suara tepuk tangan bergema.

Bu Nyai Halimah, tokoh wanita dari Jawa Timur, pun ikut bersuara di sesi panel.

"Sebagai ibu, saya paham betapa pentingnya kehadiran orang tua saat anak demam. Saya justru kagum—karena beliau lebih takut kehilangan kepercayaan keluarganya daripada kehilangan popularitas.”

Di media sosial, video Ustadz Malik yang menyebut Al sebagai “ulama yang hidup di atas suri teladan Rasul” menjadi viral. Netizen membanjiri kolom komentar dengan pujian dan doa:

“Semoga anaknya cepat sembuh, ustadz panutan.”

“Beginilah seharusnya da’i muda, mengutamakan rumah tangga dan tidak sibuk mengejar panggung.”

“Akhlaknya bikin adem, bukan hanya wajahnya.”

Sementara itu, di rumah sakit, Al sama sekali tak tahu bahwa namanya kembali menjadi perbincangan hangat. Dia hanya fokus memegangi tangan kecil Raihan, sementara Nayla membasahi kain untuk kompres.

“Apa aku melakukan hal yang benar?” bisiknya lirih.

Nayla menggenggam tangannya. “Menurutku... kamu baru saja menunjukkan definisi imam yang sesungguhnya.”

Keesokan harinya, beberapa tokoh agama senior menghubungi Al secara langsung. Bahkan, Dewan Dakwah Nasional mengundangnya dalam pertemuan terbatas.

“Kami ingin mendengar lebih banyak dari antum tentang bagaimana menjaga keseimbangan dakwah dan keluarga. Umat butuh melihat itu, Ustadz,” ujar seorang pengurus.

Al hanya tersenyum tenang. Di dadanya, ada tanggung jawab besar—bukan hanya kepada umat, tapi kepada rumah tangga kecilnya yang menjadi pondasi perjuangannya.

Mentari pagi mulai menyusup lewat jendela rumah sakit, menyinari wajah mungil Raihan yang kini sudah berangsur membaik. Demamnya mulai turun, napasnya lebih tenang, dan tangannya yang kemarin lemas kini mulai menggenggam jari mungilnya sendiri.

Di sisi tempat tidur bayi itu, Nayla terlelap dengan kepala bersandar di tepi ranjang, tubuhnya lunglai dalam kelelahan. Rambutnya sedikit berantakan, hijabnya sudah lepas, menyisakan ciput tipis yang ia kenakan semalaman. Wajahnya masih cantik—namun jelas, gurat letih tampak nyata.

Alghazali berdiri di sisi lain ranjang, menatap keduanya dalam diam. Jemarinya perlahan terulur, mengelus rambut istrinya yang tertidur sambil menggenggam tangan anak mereka.

“Terima kasih, Ya Allah…” bisiknya lirih.

“Terima kasih karena masih Kau biarkan aku melihat mereka dalam keadaan utuh.”

Tatapan Al lembut. Ia kemudian duduk, mengambil selimut kecil dan menyampirkannya di bahu Nayla, lalu mengecup pelipis istrinya perlahan, dengan hati-hati agar tidak membangunkannya.

Ia tahu, di balik segala kritik, kesalahpahaman, dan penolakan dari sebagian keluarganya, hanya perempuan ini yang tetap teguh berdiri di sampingnya. Perempuan yang sempat dibenci dunia karena masa lalunya—tapi justru kini menjadi cahaya paling terang dalam hidupnya.

Beberapa saat kemudian, Raihan membuka mata pelan. Menyadari putranya terjaga, Nayla pun ikut tersentak bangun. Ia melihat Al tersenyum.

“Mas…” ucap Nayla pelan.

“Dia sudah lebih baik. Kita bisa pulang sebentar lagi.”

Nayla mengangguk. Air matanya kembali tumpah, bukan karena cemas, tapi karena lega. Dalam hati, ia berucap syukur berkali-kali.

Suasana rumah sakit mulai tenang menjelang sore. Raihan sudah tertidur di ruang perawatan khusus, dipantau oleh tim medis secara berkala. Nayla, yang kelelahan, tertidur di sofa kecil di sisi ranjang. Sementara itu, Ustadz Alghazali keluar sejenak untuk membeli teh hangat dan sekadar mencari udara segar.

Di lorong rumah sakit yang lengang, tiba-tiba terdengar suara halus namun jelas, memanggil namanya.

“Assalamu’alaikum, Ustadz Al?”

Langkah Al terhenti. Ia menoleh, dan matanya membulat seketika.

Di hadapannya berdiri seorang dokter wanita muda, berjas putih rapi, mengenakan hijab biru pastel, wajahnya teduh meski ada raut gugup di sana. Perempuan itu adalah Hafidzah, sosok yang dulu pernah dipersiapkan keluarganya untuk menjadi calon istrinya. Wanita yang nyaris menjadi bagian hidupnya sebelum Al menolak perjodohan tersebut—karena saat itu hatinya sudah dipenuhi dengan keraguan dan... diam-diam dengan Nayla.

“Wa’alaikumussalam... Hafidzah?” Al menyapa pelan, nadanya hati-hati.

Hafidzah tersenyum, meski terlihat sedikit kaku. “Saya tak menyangka bisa bertemu di sini. Saya dokter jaga hari ini di ruang anak.”

Raihan... anak saya, sedang dirawat.”

“Oh…” Hafidzah tampak terkejut, tapi berusaha menyembunyikannya. “Masya Allah, sudah menikah rupanya.”

Ada jeda. Sejenak hening menyelimuti mereka.

“Maaf, saya tidak tahu. Saya hanya mendengar kabar samar. Keluarga antum... sempat menyebut nama saya lagi beberapa bulan lalu.”

Al menunduk. “Iya. Saya tahu.”

“Saya tidak datang untuk menuntut apa pun. Tapi... saya hanya ingin mengatakan, saya tidak pernah sakit hati. Antum memilih jalan hidup sendiri, dan itu sangat... menginspirasi.”

Al menatap Hafidzah dalam-dalam. “Saya minta maaf kalau dulu mengecewakan.”

“Tidak. Justru saya lega... melihat antum bahagia, punya anak, dan... pasangan yang sepertinya sangat mencintai antum.” Hafidzah mengangguk hormat dan berlalu.

Namun saat ia melewati Al, Nayla muncul dari balik pintu. Wajahnya masih terlihat lelah, tapi cukup segar setelah istirahat. Ia menatap sosok wanita itu yang berjalan menjauh—dan tatapan matanya tajam menelisik.

"Siapa dia?” tanya Nayla tenang, meski suaranya sedikit meninggi.

Al tak bisa menghindar.

 “Hafidzah... dia dokter jaga di sini. Dan dia... orang yang dulu nyaris dijodohkan denganku.”

"Oooh." jawab Nayla singkat.

Malam itu, hujan turun tipis membasahi kaca jendela kamar mereka. Raihan sudah terlelap di boks bayi, sementara Alghazali sedang menulis sesuatu di laptopnya, sesekali membuka buku catatan tebal yang terlihat seperti bahan kajian.

Di sudut ranjang, Nayla duduk memeluk lutut. Pikirannya masih berkecamuk sejak pertemuan singkat tadi siang di rumah sakit—dengan Hafidzah. Wanita berhijab rapi, tenang, sopan, pintar… dan jelas, lebih “ideal” sebagai istri seorang ustadz.

“Kenapa justru aku yang dipilih?”

“Apa karena aku ibu dari anaknya?”

“Apa karena aku satu-satunya yang mencintainya dulu?”

“Apa... cinta itu masih cukup?”

Perlahan, Nayla berdiri dan berjalan ke arah jendela, menyentuh kaca dingin yang mulai mengembun. Hatinya terasa hampa, seolah ada lubang menganga yang tak mampu ditambal oleh pelukan, ciuman, atau bahkan kalimat cinta dari Alghazali.

“Nayla?” suara lembut Al memanggilnya. “Kenapa belum tidur?”

Nayla tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri, membelakangi Al, matanya kosong memandangi gelap di luar sana.

Apa kamu menyesal menikahiku?” tanyanya pelan.

Alghazali berhenti mengetik. Matanya terbelalak. Ia bangkit, mendekatinya, lalu berdiri di belakang Nayla. Namun Nayla melangkah menjauh.

“Nayla…”

“Kamu pantas dapat wanita seperti Hafidzah. Atau Aisyah. Atau siapa pun yang bisa mengaji tanpa terbata-bata. Yang bisa menyambutmu dengan bacaan hadis, bukan dengan daster robek atau wajah lelah tanpa make-up,” ucap Nayla, suaranya bergetar.

"Aku ini siapa, Mas ? Mantan wanita bar-bar yang doyan dugem, yang masa lalunya bisa diungkit kapan saja? Bahkan keluargamu belum sepenuhnya menerimaku…”

Al menarik napas panjang, lalu menatapnya penuh ketegasan.

"“Tapi aku menerima kamu.”

“Aku yang memilih kamu.”

“Dan aku... mencintaimu.”

Nayla menggeleng, air matanya mulai jatuh.

“Tapi... aku bahkan tidak tahu cara menjadi istri yang ideal. Aku kadang masih iri, kadang masih egois. Aku takut... aku tidak cukup untuk kamu.”

Al mendekat, menangkup wajah Nayla dengan kedua tangannya.

 “Nayla... kamu bukan sempurna. Tapi kamu berjuang. Dan itu jauh lebih mulia di hadapan Allah dibanding seseorang yang terlihat sempurna tapi hanya bersandar pada citra.”

Nayla menahan napas. Matanya menatap suaminya lekat-lekat.

“Cantik.”

“Berilmu juga.”

“Kaya, mungkin?”

“Dan pastinya... masih gadis baik-baik versi keluargamu, bukan?”

Al menghela napas. “Sayang...”

Nayla menunduk sebentar. “Aku cuma ingin tahu, apa kamu pernah... mencintai dia?”

Al memegang tangan Nayla erat. “Pernah ada rencana... tapi ... kami.memang tidak berjodoh!” Al menghela.napas panjang.

“Dan sekarang?”

“Cinta itu... sekarang berdiri di depanku. Penuh luka, tapi kuat. Penuh cela, tapi ikhlas. Cinta itu... kamu.”

Mata Nayla mulai berkaca-kaca. Ia memeluk suaminya erat.

Meski bayang masa lalu hadir kembali… Nayla tahu, hatinya kini punya tempat yang tak tergantikan.

"Aku tahu mas, dia masa lalu kamu, dan aku yakin...kamu juga pernah mencintainya..."

"Dan... aku juga punya masa lalu... tapi kenapa... aku merasa cemburu... meski aku tahu kamu tak lagi mencintainya, hiks hiks hiks." mendengar istrinya merajuk, Al langsung memeluk istrinya, dia menangis di pelukannya.

"Aku jujur... pernah mencintainya... bahkan ... sampai kita terpaksa menikah, namun bersamamu aku merasa bahwa.. takdir Allah itu .. tidak pernah salah. Allah menakdirkan kita untuk bersatu sayang... dan lihat...buah cinta kita!" Al menatap Raihan

Ia melanjutkan, suaranya tenang namun penuh ketegasan:

Kamu bukan wanita masa laluku. Kamu adalah wanita masa depanku. Masa depan anak kita. Dan itu tak bisa digantikan siapa pun.”

Nayla menangis di dadanya. Tangis yang bukan lagi soal Hafidzah atau masa lalu, tapi soal ketakutannya sendiri yang perlahan luluh oleh cinta yang bersandar pada keyakinan.

"Iya mas, maaf ya ... aku pencemburu, aku takut, kamu laki-laki yang terlalu sempurna bagiku, tampan, soleh, dan penyayang, bagaimana aku sanggup jika sedikit saja kamu memikirkan wanita lain bahkan dalam mimpi. "Nayla terisak .Sedangkan Al berusaha menahan senyumnya melihat sikap manja istrinya.

"Bagaimana. . aku bisa memikirkan wanita lain, jika pikiranku dipenuhi olehmu dan Raihan, servis kamu itu loo, luar biasa, dan juga hatimu yang tulus."

"Iih mas Al, apaan sih, lagi sedih malah bahas urusan ranjang." Nayla mencubit perut suaminya.

"Aww, sakit sayang.." Al memekik kesakitan.

"Sukurin." Nayla mencebikkan bibirnya.

"Cup." Al mencium bibir Nayla dengan lembut, mereka saling menautkan bibir mereka, saat putera mereka tertidur. Dan Al mengangkat Nayla ke sofa di ruang VIP tersebut dan mengunci pintu.

"Mas... gimana kalau Raihan bangun. "

"Sebentar sayang, enggak akan lama, aku sudah tidak tahan."

Nayla tak kuasa menolak keinginan suaminya, hasrat mereka yang tertahan selama beberapa hari karena Raihan sakit kini tersalurkan. Mereka berdua seolah tak bisa menahan lagi untuk saling melepas rindu sore itu.

Hingga 20 menit sudah mereka selesai menuntaskan hasratnya meski hanya di sofa. Nayla tak ayal menunjukkan keahliannya dalam memberikan servis pada suaminya yang memiliki stamina yang tak diragukan lagi.

Senyum puas terukir dari wajah Al setelah membersihkan diri. Dan bergantian dengan Nayla ke kamar mandi. " Terimakasih sayang.. kamu seperti biasa ..luar biasa semakin seksi dan ... juga sangat memukau saat kita melakukan penyatuan. "

"Tentu.. aku akan teeus belajar untuk membuat suamiku puas."

Tak lama suara Raihan terdengar menangis, namun tak lama . Dia semakin membaik.

"Eeh anak Umi sudah bangun.." Nayla langsung mengelus dada sang putera.

"Hei..anak Abi udah bangun ya.." Raihan langsung mengangkat tubuhnya seolah ingin digendong Abinya.

"Wah.. pengen digendong Abi ya.." Al langsung menggendong puteranya.

1
Endang Purwaningsih
sudah tamat apa ya ceritanya,kok ngak ada kelanjutannya
Samsiah Yuliana
lanjut lagi cerita Thor 🙏🏻🙏🏻🙏🏻
𝐈𝐬𝐭𝐲
lanjuut Thor...
Menok 06
istrimu bukan suami mu
Aretha Shanum
lama2 membagongkan
Amelia's Story: maksudnya? kaka sudah baca perbab kah?
total 1 replies
Nifatul Masruro Hikari Masaru
makanya jangan liat dari covernya doang
Nur Adam
lnjut
Nifatul Masruro Hikari Masaru
kok ada teman kayak gini
Nifatul Masruro Hikari Masaru
jangan liat dari covernya
Nur Adam
lnjut
Nur Adam
lnju
Nur Adam
lnjut
Amelia's Story
iya ka, karena papanya siibuk banget dia percaya sama Al karena putrinya yg. duiu suka clubing sudah berubaah. mendapatkan suami yg. soleh
𝐈𝐬𝐭𝐲
kok orang tua Nayla gak pernah ikutan kumpul ya, dan kayaknya juga orang tua Nayla jarang bgt masuk cerita Thor...
Ismalinda
lanjut dong thor penasaran /CoolGuy/
Ismalinda
Luar biasa
Amelia's Story: Terimakasih ka bintangnya
total 1 replies
Nur Adam
lnjut
Nur Adam
ljuut
𝐈𝐬𝐭𝐲
waduh siapa lagi itu🤔
Nur Adam
lnju
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!