Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 9 - Tatapan itu...
Setelah kejadian mencekam saat makan malam, suasana rumah pun mulai tenang. Azura menatap piring kosong di depannya dan bersyukur kini perutnya sudah kenyang, tapi pikirannya masih mengambang.
Dengan gerakan otomatis, ia berdiri dan meraih piringnya lalu melangkah mengarah ke dapur.
Beberapa asisten rumah tangga yang tengah membersihkan area makan menoleh saat Azura masuk membawa piringnya sendiri.
Lalu, salah satu dari mereka yang seorang wanita muda dengan seragam abu-abu dan apron putih terkejut dan langsung menghampirinya.
"Nona! Biar kami saja yang mengurusnya!," ucapnya cepat sambil mencoba merebut piring dari tangan Azura.
"Tidak apa-apa. Aku sudah biasa melakukannya sendiri," ujar Azura tersenyum ramah sambil mulai membuka keran air.
Wanita muda itu terlihat cemas, bahkan panik. "Nona, mohon maaf, tapi kalau Tuan Adrian tahu… kami bisa dipecat! Nona tidak boleh melakukan pekerjaan kami. Aturan rumah ini sangat ketat."
Azura menghentikan gerakannya lalu menatap piring di tangannya dan air yang mengalir dari keran. Lalu dengan berat hati, ia pun menyerahkan piring itu.
"Baiklah… Maaf, aku tidak bermaksud membuat masalah," kata Azura pelan.
"Tidak apa-apa, Nona. Kami tahu Nona baik hati… Tapi, tolong biarkan kami melakukan tugas kami."
Azura mengangguk kecil, lalu melangkah keluar dari dapur. Dalam hatinya ada perasaan asing, sedikit canggung dan sedikit tidak nyaman.
Di rumah ayahnya dulu, dia adalah ‘pembantu’ bagi ibu dan saudara tirinya. Kini, bahkan mencuci piring sendiri pun dilarang.
**
Kini, Azura berjalan pelan menuju kamarnya. Di sisi kanan, jendela-jendela besar terbuka hingga menampilkan taman belakang.
Cahaya remang-remang dari taman memperlihatkan siluet Rangga yang sedang berjalan pelan dengan dijaga dua pria bertubuh kekar.
Azura berhenti sejenak dan berdiri di depan jendela besar itu. Pandangannya tak lepas dari Rangga yang terlihat seperti anak kecil yang tersesat.
Sorot matanya kosong. Langkahnya tidak beraturan, namun tidak lagi mengamuk seperti sebelumnya.
"Apa yang sebenarnya kau rasakan, Rangga?," bisik Azura tanpa sadar.
Karena terlalu fokus memperhatikan Rangga, Azura pun melanjutkan langkahnya tanpa sadar bahwa dia sudah sampai di tangga besar menuju lantai dua.
“Aduh!!.”
Bletak!
Kakinya tersandung anak tangga pertama dan ia pun kehilangan keseimbangan. Untunglah dia cepat menahan diri dengan kedua tangan di lantai hingga tidak terjerambab.
Meski tidak jatuh total, posisi jatuh setengah terduduknya itu membuat sedikit malu sehingga wajahnya pun memerah.
"Aduh. Ini sangat memalukan."
Beberapa asisten yang sedang membersihkan di sekitar lorong pun langsung kaget. Mereka refleks hendak menghampiri, tapi berhenti saat melihat Azura bangkit sendiri.
Azura mengusap lututnya sambil menatap ke sekitar dan… melihat beberapa dari mereka menunduk dengan cepat dan pura-pura sibuk.
Tapi dari getaran bahu mereka, Azura tahu mereka sedang menahan tawa. Azura pun hanya bisa menghela napas, lalu tersenyum kecut.
"Hah… setidaknya, bisa membuat orang lain tersenyum hari ini," gumamnya lirih sambil melanjutkan langkahnya menaiki tangga.
Saat tiba di depan kamar, Azura membuka pintu dan masuk ke dalam kamar yang luas itu. Kemudian Ia duduk di tepi ranjang, lalu melepaskan ikat rambutnya dan membiarkan helai-helai panjang itu tergerai.
Pikirannya masih tertinggal di taman. Tentang Rangga. Tentang semua yang telah terjadi sejak pernikahan.
Dan tiba-tiba ia sadar… di dunia barunya ini, ia tidak lagi sendiri, tapi juga tidak benar-benar punya siapa-siapa.
"Hari ini… aneh, tapi setidaknya aku bertahan," ucapnya sambil menatap pantulan dirinya di cermin.
"Besok… aku harus lebih kuat."
**
Waktu berjalan tanpa suara. Tidak cepat, tapi juga tidak lambat. Seolah semesta memberi ruang bagi Azura untuk mengatur napas setelah bertahun-tahun hidup dalam tekanan dan kebencian.
Di dalam kamar yang luas dan tenang itu, Azura berdiri di depan jendela besar yang terbuka sedikit sehingga angin malam menghembus menerpa kulitnya.
Ia menatap langit yang bertabur bintang. Lama. Diam. Di temani cahaya lampu taman dan sinar bulan yang menyinari wajahnya.
“Akhirnya... aku bisa diam tanpa bentakan. Tanpa suara sandal dilempar. Tanpa suara pintu dibanting,” lirih Azura dengan mata yang sedikit berkaca.
Sejenak ia kembali mengingat masa-masa pahit di rumah lamanya. Wajah ibu tiri dan saudara tirinya, umpatan, makian, serta sikap ayahnya yang hanya diam menyaksikan semuanya. Hatinya nyeri, tapi juga kosong.
“Mungkin ini bukan hidup yang kuinginkan, tapi… setidaknya untuk saat ini, aku bisa bernapas.”
Ia memejamkan matanya beberapa saat dan menikmati hembusan angin, lalu menutup jendela dengan perlahan. Tirai ditarik, dan kamar pun terasa lebih hangat.
Kemudian, Ia mematikan lampu dan berjalan ke tempat tidur dengan gaun tidur yang sudah dikenakan, dengan rambutnya yang di biarkan tergerai di bahu.
Ia lalu naik ke tempat tidur dan mengambil posisi yang nyaman untuk tidur.
Setelah terasa nyaman, akhirnya ia pun tertidur dengan cahaya rembulan yang menembus celah tirai sehingga membuat wajah Azura terlihat damai.
Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ia bisa tidur dalam keheningan tanpa suara teriakan dari sang ibu tiri.
Namun…
Tanpa ia sadari, pintu kamarnya perlahan terbuka.
Tanpa suara.
Tanpa ketukan.
Seseorang tengah berdiri di ambang pintu dengan tubuh yang tegap, tapi tidak bergerak. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, namun matanya terlihat memancarkan tatapan aneh dan kosong.
Dialah Rangga.
Ia tidak bicara dan tidak melangkah masuk. Ia hanya berdiri di sana dan menatap Azura yang terlelap. Tatapannya sulit dimengerti. Apakah dia marah? Atau bingung? Atau justru... penasaran?
Namun Azura tetap tertidur. Ia tidak sadar bahwa suaminya sedang berdiri dan memperhatikannya dalam diam.
Rangga tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya mata itu, mata yang seolah mencari sesuatu, tapi tidak tahu apa itu.
Beberapa menit berlalu...
Akhirnya, Rangga mundur dengan perlahan. Tapi sebelum pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah Azura lalu pergi dengan pintu yang dibiarkan sedikit terbuka.
Langkah kakinya pelan menyusuri lantai marmer yang dingin dan masih dengan tatapannya yang kosong juga dengan bibirnya yang komat kamit.
Tangannya bergerak pelan menyentuh dinding, seolah mencari pegangan. Tapi tak ada yang bisa ia pegang… kecuali kenangan samar yang menyesakkan dadanya.
Rangga memegangi kepalanya. Sekilas, bayangan samar muncul. Wajah perempuan, senyuman, lalu jeritan… semuanya berbaur kacau di dalam pikirannya.
Akhirnya, kepalanya pun mulai pusing. Ia lalu menekan pelipisnya dan mundur beberapa langkah.
"Jangan dekat. Jangan percaya. Jangan...!"
Rangga berbalik dan berjalan cepat ke arah tangga. Tapi langkahnya berhenti lagi. Lalu ia menoleh satu kali, ke arah kamar Azura. Matanya menatap pintu itu dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan.
Sementara itu, beberapa pelayan yang berjaga dari kejauhan hanya menatap satu sama lain dan tidak ada yang berani bicara atau bertanya.
Mereka tahu, ketika Rangga mulai bicara dalam hati, atau melamun terlalu lama, bisa saja dalam sekejap ia berubah menjadi sosok lain yang menakutkan.
Dan malam itu, Rangga memilih turun ke taman belakang lalu duduk di ayunan sambil memeluk lututnya sendiri. Sementara Azura tidur nyenyak di dalam kamarnya.
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong