Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Kecil Menuju Diri Sendiri
Hari itu, Aira berdiri di depan cermin kamar tamu. Rambutnya diikat rapi, wajahnya polos tanpa riasan, tapi tatapannya berbeda—lebih tajam, lebih hidup.
Di tangannya, ada map biru berisi salinan CV, ijazah, dan lembar surat lamaran yang semalam ia ketik dengan penuh tekad.
Dinda muncul di pintu kamar, menyandarkan diri sambil tersenyum.
“Kamu siap?”
Aira mengangguk. “Aku nggak tahu bakal diterima atau enggak, tapi aku siap mencoba.”
Dinda mengantar Aira sampai ke halte, memberinya semangat seperti kakak pada adiknya.
Aira naik bus dengan dada yang sedikit berdebar, tapi tidak dengan takut—melainkan dengan harapan.
Sore harinya, Aira duduk di sebuah kafe kecil, menunggu jadwal wawancara di sebuah perusahaan desain interior.
Ia menatap sekeliling, menikmati suasana yang dulu tidak pernah ia izinkan untuk dinikmati sendiri.
Di meja seberang, sepasang kekasih tertawa sambil berbagi kue.
Aira tidak merasa iri. Untuk pertama kalinya, ia melihat cinta sebagai sesuatu yang indah—bukan yang membelenggu.
Panggilan wawancara berjalan singkat tapi bermakna.
Pewawancara tertarik dengan portofolio Aira yang ia bawa dari pekerjaan sebelumnya.
Meskipun belum ada kepastian, Aira melangkah keluar kantor itu dengan kepala tegak. Ia bangga pada dirinya sendiri.
Malamnya, Aira dan Dinda duduk di balkon rumah, masing-masing dengan secangkir teh.
“Gimana wawancaranya?” tanya Dinda.
“Baik. Aku belum tahu diterima atau enggak, tapi… rasanya seperti aku mulai kenal lagi sama diriku sendiri,” jawab Aira.
Dinda tersenyum. “Itu yang paling penting. Kamu nggak lagi lari dari luka, tapi pelan-pelan merawatnya.”
Aira mengangguk pelan. “Aku belum sembuh sepenuhnya. Tapi sekarang, aku tahu ke mana harus melangkah.”
Ia menatap langit malam yang bertabur bintang.
Dan di bawah cahaya bulan, Aira tahu meski perjalanannya belum selesai, ia telah memulai langkah pertamanya. Bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk dirinya sendiri.
Beberapa hari setelah wawancara, ponsel Aira berdering saat ia sedang membantu Dinda menyusun buku-buku di rak tamu.
Nama perusahaan yang ia lamar muncul di layar. Jantungnya berdegup lebih cepat.
“Selamat siang, Mbak Aira. Kami dari PT Sinar Interior ingin mengabarkan bahwa Anda diterima untuk bergabung sebagai asisten desain,” suara dari seberang terdengar ramah.
Aira nyaris tidak bisa menahan senyum. “Terima kasih banyak! Saya sangat menghargai kesempatan ini.”
Setelah telepon ditutup, Aira menatap Dinda yang menunggu dengan ekspresi penuh harap. “Aku diterima, Din.”
Dinda memeluknya erat. “Aku tahu kamu bisa.”
*****
Hari pertama kerja menjadi babak baru dalam hidup Aira.
Ia mengenakan kemeja putih bersih dan celana hitam sederhana.
Tidak ada yang mewah, tapi kali ini ia tidak berpakaian untuk menyenangkan siapa pun. Ia berpakaian untuk dirinya sendiri.
Di kantor, Aira disambut rekan-rekan yang ramah. Atasan barunya, Bu Lidya, adalah perempuan yang tegas tapi menghargai proses.
Ia tidak memperlakukan Aira seperti bawahan tanpa suara. Sebaliknya, ia memberi ruang untuk Aira bertumbuh.
Aira mulai mencintai pagi hari—sesuatu yang dulu ia benci karena selalu diwarnai bentakan atau tekanan.
Saat makan siang, ia duduk sendiri di kantin kantor. Seorang rekan, lelaki bernama Niko, menghampirinya.
“Boleh gabung?” tanyanya sopan.
Aira tersenyum. “Silakan.”
Mereka mulai mengobrol tentang desain, film, dan makanan.
Tidak ada basa-basi murahan. Hanya dua orang yang saling mendengar.
Aira belum siap membuka hati. Tapi ia tahu, tidak semua orang datang untuk menghancurkan.
Beberapa, mungkin, datang untuk menunjukkan bahwa dunia masih bisa hangat.
Malam itu, Aira menulis lagi di buku kecilnya:
Aku mulai percaya, bahwa luka tidak selamanya menjadi beban.
Ia bisa menjadi akar dari kekuatan. Dan aku mulai bertumbuh.
Hari-hari kerja Aira mulai terasa seperti napas baru dalam hidupnya.
Setiap pagi ia bangun tanpa rasa cemas, berjalan ke kantor dengan langkah ringan, dan pulang membawa perasaan puas.
Tidak semua hal mudah—kadang ia masih merasa canggung, masih ragu akan kemampuannya, dan kadang trauma masa lalu datang mengetuk pelan. Tapi bedanya sekarang, ia tidak lari. Ia hadapi.
Suatu hari, Bu Lidya memberikan Aira kesempatan untuk terlibat langsung dalam proyek interior sebuah kafe yang sedang direnovasi.
“Kamu punya mata yang teliti dan rasa desain yang lembut. Coba buat konsep awalnya dulu nanti kirim ke saya,” kata Bu Lidya.
Aira sempat terpaku. Dirinya yang dulu pasti akan mundur.
Tapi kini, ia justru merasa tertantang. Malam-malam berikutnya ia habiskan di kamar Dinda, membuat sketsa, mencari referensi, memadukan warna, hingga menghidupkan ruang lewat imajinasi.
Untuk pertama kalinya, ia merasa hidup karena sesuatu yang ia cintai.
Di sela kesibukan itu, Niko perlahan menjadi teman yang hadir tanpa banyak tanya.
Ia tidak pernah memaksa Aira membuka diri, tapi selalu ada ketika Aira ingin berbagi.
Suatu sore di pantry kantor, Niko berkata sambil menuang kopi, “Aku suka caramu lihat dunia, Ra. Tenang tapi dalam.”
Aira terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Dulu aku terlalu sibuk menyesuaikan diri sama dunia orang lain, sampai lupa caranya lihat dunia dari sudutku sendiri.”
Niko menatapnya, serius. “Kamu pantas punya dunia sendiri. Dan kamu pantas bahagia di dalamnya.”
Ucapan itu menempel di hati Aira sepanjang hari. Bukan karena romansa, tapi karena pengakuan yang tulus.
Ia mulai sadar—dirinya yang baru sedang tumbuh, perlahan tapi pasti.
Di halaman terakhir buku catatannya malam itu, Aira menulis:
Aku bukan lagi Aira yang takut ditinggalkan.
Kini, aku adalah Aira yang tahu: kepergian bisa menjadi penyelamatan.
Dan kebahagiaan? Ia datang setelah keberanian.
Beberapa hari setelah mereka berbagi percakapan hangat di pantry, Niko menghampiri meja kerja Aira menjelang jam pulang kantor.
Tangannya menyelipkan satu kotak kecil berisi biskuit kering buatan ibunya, lalu dengan nada santai ia berkata, “Aira, kamu sibuk malam ini?”
Aira mendongak, sedikit terkejut. “Enggak sih. Kenapa?”
“Aku tahu satu tempat makan enak, agak tersembunyi, tapi suasananya tenang. Mungkin kamu mau ikut? Anggap aja... perayaan kecil karena kamu dapet proyek pertama,” ucap Niko, senyumannya tulus, tanpa tekanan.
Niko meminta Aira untuk membuka chat grup dimana Aira yang mengerjakan proyek cafe.
Aira tidak menyangka jika Bu Lidya suka dengan sketsa yang ia kerjakan.
"Jadi, apakah kamu mau ikut?" tanya Niko
Aira sempat ragu. Bukan karena ia tak ingin, tapi karena kenangan lama masih sesekali menyergap.
Tapi ia melihat mata Niko—tak ada niat tersembunyi di sana. Hanya ajakan sederhana untuk menikmati malam bersama.
“Oke. Aku ikut,” jawabnya, lembut tapi mantap.
Kemudian Aira kembali melanjutkan pekerjaannya dan ia serius saat menggambar sebuah desain untuk proyek pertamanya.
Detik demi detik berganti dan jam menunjukkan pukul lima Sore.
"Ayo kita berangkat sekarang." ajak Nico.
Aira meminta Nico untuk menunggunya sebentar karena pekerjaannya hampir selesai.
Nico tersenyum dan ia duduk di samping Aira yang sedang menyelesaikan pekerjaannya.
Setelah selesai Aira dan Nico berjalan menuju ke Kafe yang ada di sekitar sana.
Tempat itu ternyata benar-benar nyaman. Sebuah kafe kecil bernuansa kayu dengan lampu kuning hangat dan musik akustik pelan di latar belakang.
Mereka duduk di pojok ruangan, ditemani dua gelas teh hangat dan sepiring pasta.
Percakapan mereka mengalir—tentang mimpi, kegagalan, dan luka-luka masa lalu. Niko tidak menyinggung Delon, tapi Aira sendiri yang akhirnya membuka cerita itu.
“Dulu, aku pikir bertahan itu bentuk cinta,” kata Aira pelan. “Ternyata, melepaskan juga bisa jadi wujud mencintai diri sendiri.”
Niko menatapnya penuh hormat. “Aku senang kamu selamat dari itu semua. Bukan cuma secara fisik... tapi juga hatimu.”
Aira terdiam, meresapi kata-kata itu.
Sebelum mereka berpisah malam itu, Niko membuka pintu mobilnya, lalu berkata, “Aira, aku nggak buru-buru. Tapi kalau suatu hari kamu merasa siap jalan bareng lagi, aku ingin jadi orang yang bisa kamu percaya.”
Aira menatapnya, tersenyum tanpa ragu.
“Aku belum tahu akan berjalan ke mana, Nik. Tapi malam ini... aku bahagia.”
Dan Niko mengangguk. “Itu yang terpenting.”
Malam itu, Aira pulang ke rumah Dinda dengan langkah ringan.
Tidak seperti dulu, ketika malam selalu berarti pertengkaran atau kesedihan. Kini, malam adalah ruang tenang—tempat di mana ia mulai percaya bahwa masa depan bisa seindah harapan.