Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.
Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Pintu kaca besar Satya Group terbuka otomatis saat Arya melangkah masuk. Suasana kantor pagi itu seperti biasa. sibuk, teratur, dan sunyi dalam kedisiplinan.
Beberapa karyawan yang melihat kehadirannya segera berdiri dari kursi, memberi salam dengan membungkukkan kepala sopan.
“Selamat pagi, Pak Arya.”
Ia hanya mengangguk singkat, tanpa memperlambat langkah. Sepatunya bergema di lantai marmer putih yang bersih mengilap.
Sejak pertama kali memimpin perusahaan ini, Arya memang dikenal tak banyak bicara. Semua mengenalnya sebagai pemimpin yang perfeksionis, tegas, dan di mata sebagian orang tak kenal kompromi.
Sesampainya di lantai tertinggi, ia langsung menuju ruangannya. Meja kerja yang luas dan jendela besar yang menghadap langsung ke kota menjadi saksi diam dari rutinitas hariannya. Ia membuka jas, menggantungkannya pada sandaran kursi, lalu duduk dengan tenang.
Tak lama kemudian, sekretarisnya mengetuk pintu.
“Masuk.”
Wanita muda itu melangkah masuk dengan map di tangan. “Ini agenda rapat hari ini, Pak. Dan… Bu Nayla juga tadi mengirim pesan.
Beliau menanyakan apakah Bapak sempat bertemu dengannya nanti siang, sesuai janji kemarin.”
Arya mengangkat kepala, ekspresinya nyaris tak berubah. “Batalkan.”
Sekretaris itu tampak ragu. “Tapi—”
“Saya bilang, batalkan.” Nada suaranya sedikit lebih dalam. Bukan membentak, tapi cukup untuk membuat lawan bicara mengurungkan niat untuk membantah.
Wanita itu menunduk. “Baik, Pak.”
Setelah sekretaris keluar, Arya bersandar sejenak di kursinya. Ia menatap kosong ke arah jendela ,langit pagi yang mulai terang, lalu gemerlap kota yang bergerak cepat.
Sejak pertemuannya kembali dengan Kaila, pikirannya terasa lebih mudah terpecah. Ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Sesuatu yang tak seharusnya muncul dalam pernikahan bisnis seperti miliknya dengan Nayla.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nayla.
“Kau sengaja menghindar lagi? Kita perlu bicara, Arya.”
Ia menatap pesan itu lama, lalu menguncinya tanpa membalas. Tak ada energi untuk berpura-pura hari ini.
Di benaknya, wajah Kaila kembali muncul lelah, tenang, tapi penuh tanya. Gadis itu jelas bukan tipe wanita yang siap hidup di lingkaran penuh intrik seperti ini. Tapi justru karena itu, Arya tahu dirinya tak boleh sembarangan. Ia harus berpikir jauh ke depan.
Lalu tiba-tiba, pikirannya terarah pada kejadian sebelumya. Wartawan. Kamera. Sorotan publik.
Satu kesalahan kecil, dan semuanya bisa lepas kendali.
Arya menyadari satu hal kontrak ini tidak lagi bisa ia perlakukan seperti sekadar formalitas. Tidak setelah Kaila masuk dalam hidupnya dengan cara yang tak terduga.
Ia meraih ponsel lagi, jari-jarinya melayang sejenak di atas layar. Lalu perlahan mengetik pesan
“Mulai besok, kamu ikut saya setiap pagi ke kantor. Ada hal-hal yang harus kita bicarakan.”
Pesan itu terkirim. Tanpa emotikon. Tanpa basa-basi. Tapi bagi Arya, itu bentuk perhatian yang mungkin belum pernah ia tunjukkan kepada siapa pun sebelumnya.
Dan mungkin, ini awal dari kerumitan yang lebih besar lagi.
.....
Apartemen yang di tinggali Kaila terasa sunyi. Kaila berdiri mematung di depan jendela besar yang menghadap ke kota.
Sinar matahari menembus tirai tipis, menyapu kulit wajahnya yang masih tampak pucat. Ia belum benar-benar terbiasa dengan suasana ini apartemen mewah, tempat tidur empuk, dan lemari pakaian yang tidak pernah ia bayangkan akan disentuhnya.
Ponselnya yang tergeletak di meja samping ranjang bergetar. Ia meraihnya dengan malas, membuka layar, lalu membaca pesan singkat yang baru saja masuk.
Arya: “Mulai besok, kamu ikut saya setiap pagi ke kantor. Ada hal-hal yang harus kita bicarakan.”
Alisnya mengerut. Lagi-lagi, tanpa kata tolong, tanpa penjelasan lebih lanjut. Pria itu benar-benar memperlakukannya seolah ia hanya sebuah kewajiban bagian dari transaksi bisnis yang harus dilaksanakan.
Kaila mendesah pelan, lalu duduk di pinggir ranjang, membiarkan kedua kakinya menyentuh lantai marmer dingin.
Rambutnya masih terurai, dan ia belum sempat mengganti baju tidur yang semalam ia kenakan. Namun, pikirannya justru melayang ke kejadian kemarin makan malam yang penuh tekanan, kehadiran Nayla yang membuat suasana kaku, lalu sorot kamera yang tiba-tiba muncul dan mengabadikan momen mereka bertiga.
"Aku bahkan belum menyerahkan kontraknya..." gumamnya pelan.
Tangannya meraih map berwarna cokelat tua di atas meja. Di dalamnya, dokumen perjanjian pernikahan kontrak yang telah disusun Arya.
Ia belum menandatanganinya dengan lengkap. Ada ketakutan dalam dirinya, semacam beban yang terasa mengikat meski belum resmi.
Namun, setelah melihat bagaimana dunia Arya penuh dengan permainan citra, bisnis, dan sosok seperti Nayla yang selalu tampak sempurna, ia tahu hidupnya tak akan lagi tenang.
"Kenapa aku menerima semua ini?" tanyanya pada dirinya sendiri. Tapi jawabannya tidak datang.
Bukan karena cinta, tentu saja. Tapi juga bukan karena ambisi. Kaila tidak memiliki ambisi untuk hidup mewah.
Ia hanya... butuh jalan keluar. Butuh tempat berpijak sementara waktu. Dan meskipun pria itu dingin, kejam dalam bicara, dan sangat sulit ditebak Arya memberi ruang yang tak pernah ia temukan di tempat lain.
Kaila berdiri. Ia melangkah ke kamar mandi, menyalakan air, lalu menatap wajahnya di cermin. “Kalau ini jalan yang kupilih… aku harus siap menjalaninya,” bisiknya lirih.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke dalam lingkaran hidup Arya Satya, Kaila merasa benar-benar sendirian.
Bukan karena tak ada yang mendampinginya. Tapi karena ia tahu, tak seorang pun akan benar-benar memahami posisinya.
Tapi ia juga tahu, mulai besok dunia Arya bukan lagi tempat yang bisa ia pandang dari luar. Ia akan masuk ke dalamnya.
Dan mungkin, akan sulit untuk keluar lagi.
.....
Suara ketukan di pintu terdengar keras, membuyarkan konsentrasi Kaila yang tengah duduk sambil melamun di dalam apartemen.
Ia terdiam sejenak, menoleh ke arah pintu dengan dahi berkerut. Tidak mungkin Arya pria itu selalu mengabari terlebih dahulu. Dan tidak mungkin pula petugas apartemen, karena mereka biasanya menelepon lebih dulu.
Dengan langkah ragu, Kaila mendekat ke pintu, menempelkan telinganya ke kayu. Tak ada suara. Hanya diam. Ia pun menegaskan suara, “Siapa di sana?”
Tak ada jawaban.
Namun, sesaat kemudian, suara kamera terdengar jelas.
klik! klik! klik!
Kaila terlonjak mundur. Jantungnya berdetak kencang. Dengan cepat ia menarik tirai jendela samping dan mengintip ke luar.
Tepat di lorong, berdiri seorang pria dengan kamera tergantung di leher dan ponsel di tangan. Begitu menyadari Kaila mengintip, pria itu segera melangkah mundur sambil terus memotret dari celah yang ia bisa jangkau.
Kaila segera meraih ponsel dan menelepon Arya, namun hanya masuk ke pesan suara. Ia panik, dadanya sesak. Ini tidak mungkin.
Apartemen ini sangat eksklusif, hanya orang-orang tertentu yang bisa mengakses lantainya. Bagaimana seorang wartawan bisa berada di sini?
Tak lama kemudian, terdengar suara teriakan dari luar. “Nona Kaila! Benarkah Anda tinggal bersama Arya Satya? Benarkah Anda akan dinikahi? Apa benar pernikahan itu hanya kontrak?!”
Kaila membeku. Semua kata-kata itu menghantam telinganya seperti peluru. Ia buru-buru menarik napas panjang, lalu menekan tombol panggil untuk bagian keamanan gedung.
“Ini dari unit 20B, tolong segera ke sini. Ada orang asing memotret dan mengganggu privasi saya,” ucapnya cepat.
Tak lama, langkah kaki terdengar mendekat. Suara keamanan bersautan, memerintahkan wartawan itu untuk pergi.
Tapi wartawan itu sempat meninggalkan satu kalimat yang menghantui Kaila dari balik pintu.
“Akan ada halaman depan untukmu, Nona Kaila. Jangan lupa tersenyum.”
Kaila jatuh terduduk di lantai. Tangannya gemetar, wajahnya pucat. Kini ia sadar, kehidupannya tidak lagi milik pribadi. Pilihan untuk ikut ke dalam dunia Arya berarti menyerahkan sebagian dirinya untuk dikupas oleh publik.
Dan ia belum siap untuk itu.