Zeyn Alfarez, arsitek jenius yang dingin, arogan, dan perfectionis, tak pernah menyangka hidupnya akan terusik oleh satu hal—istrinya sendiri. Sienna Valerisse, si junior ceroboh yang dijodohkan dengannya, adalah kekacauan dalam dunianya yang tertata rapi.
Awalnya, Zeyn hanya merasa terganggu. Namun, seiring waktu, ia justru ingin melindungi Sienna, bahkan dari kecerobohannya sendiri.
Ketika Steven—mantan Sienna—kembali dan mencoba merebutnya lagi, Zeyn tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan wanita itu pergi. Zeyn siap melakukan apa saja untuk mempertahankan pernikahan mereka.
Karena kali ini, Sienna adalah miliknya. Dan Zeyn Alfarez tidak pernah menyerah.
(Disarankan untuk membaca PERFECT MATCH lebih dulu, karena buku ini sequel dari buku tersebut.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Perfect First Aid
Hujan turun sejak tengah hari, mengguyur Kota Bandung dengan monoton yang menggema di atap kaca gedung kantor Alfarez & Co yang baru direnovasi. Di salah satu sudut ruang kerja besar, Sienna duduk membungkuk di depan meja gambarnya. Rambutnya sedikit kusut, dan ujung pensil mekaniknya tampak menari tanpa irama yang konsisten. Napasnya pendek-pendek, menandakan tekanan yang tidak ia ucapkan.
Zeyn duduk tak jauh darinya, tubuhnya tegak, rapi, dan nyaris tanpa gerakan—seperti patung marmer yang hidup. Ia tengah meneliti cetak biru rancangan fasad hotel yang akan dibangun di Lembang. Keningnya mengerut, rahangnya mengeras, namun matanya sesekali melirik ke arah Sienna.
Ia tidak menyukai suasana diam yang dipenuhi dengan ketidakteraturan. Terlebih lagi, saat wanita itu berada di ruang yang sama dengannya namun terlalu tenang—itu selalu berarti sesuatu sedang tidak berjalan semestinya.
Dan Zeyn benar.
Suara benda pecah membuatnya sontak berdiri. Matanya langsung mengarah ke meja tempat Sienna duduk.
Papan gambar yang semula digenggam Sienna terlepas dari tangannya, tergelincir dan membentur lantai dengan bunyi nyaring. Dalam usahanya yang terburu-buru untuk menyelamatkan alat kerjanya, tangan Sienna justru terantuk tepi meja yang tajam. Sayatan panjang terbentuk di telapak kirinya, dan darah mulai merembes cepat, menodai kertas-kertas di sekitarnya.
"Astaga!" seru Sienna, tertahan oleh rasa sakit yang menyerang mendadak. Ia mencoba berdiri, namun tidak menyadari bahwa beberapa lembar gambar telah berhamburan di bawah kakinya. Tumitnya terpeleset, dan tubuhnya jatuh terduduk dengan suara yang cukup keras.
Zeyn berjalan cepat, hampir seperti berlari, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi panik. Ia berlutut di samping Sienna, dan tanpa berkata apa-apa, langsung menarik pergelangan tangan wanita itu.
"Zeyn, aku bisa—" Sienna reflek hendak menarik tangannya, namun Zeyn menatapnya tajam. Mata abu-abu gelap itu seperti menyampaikan satu perintah yang tidak memerlukan suara.
“Diam.” Suaranya datar, namun tak memberi ruang untuk dibantah. Dengan gerakan sigap namun tidak terburu-buru, Zeyn mengangkat tangan Sienna sedikit lebih tinggi—sebuah tindakan medis dasar untuk memperlambat aliran darah. Ia menghela napas, panjang dan dalam, seolah sedang menahan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar kekesalan.
Tanpa menoleh, Zeyn berkata dengan intonasi tegas kepada seseorang yang berdiri kaku di ambang pintu. "Tisu steril. Kotak P3K. Sekarang."
“Y-ya, Pak!” jawab si asisten dengan nada tergagap, lalu menghilang secepat mungkin.
Sienna menunduk, menatap Zeyn dengan napas yang belum teratur. “Aku hanya sedikit ceroboh… ini bukan luka serius.”
Zeyn tidak menggubrisnya. Ia tetap fokus. Tangannya bergerak terlatih, bahkan terlalu teliti untuk sekadar membasuh luka. Sebuah tisu basah dikeluarkan dari saku bagian dalam jasnya—suatu kebiasaan yang barangkali terbentuk dari naluri perfeksionisnya. “Aku kira aku sudah cukup menjelaskan bahwa meja kerja bukan tempat bermain sulap.”
Nada bicara Zeyn dingin. Tidak tinggi, namun cukup tajam untuk menusuk lebih dalam daripada luka yang tergores di kulit Sienna.
Sienna merintih pelan, antara perih di tangannya dan rasa malu yang mulai merambat ke dadanya. Ia merasa seperti anak sekolah yang dimarahi guru, meski pria di hadapannya bukan siapa-siapa selain… suaminya. Suami yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya. “Aku tidak sengaja, Zeyn.”
“Seperti biasa.” Hanya dua kata, tapi cukup untuk membuat pipi Sienna panas. Ia hendak membalas, namun urung, karena matanya justru tertarik pada gerakan lembut jari-jari Zeyn yang tengah membersihkan darahnya. Gerakan itu bertolak belakang dengan ucapannya. Bertolak belakang pula dengan ekspresi keras yang tak pernah luluh di wajah itu.
“Jangan begini... aku bisa membersihkannya sendiri,” ucap Sienna lirih, separuh menolak, separuh menyerah.
Zeyn menatapnya datar. “Jika aku membiarkanmu merawat dirimu sendiri, kau mungkin akan menjahit lukamu dengan stapler.” Ia mengatakannya tanpa senyum, namun nada sarkastis itu menyiratkan sesuatu yang nyaris... peduli.
Sienna mengerucutkan bibirnya. “Kau keterlaluan.”
Zeyn tidak menjawab. Ia hanya diam, membiarkan kalimat itu menggantung begitu saja. Tak lama, asisten kembali dengan kotak P3K. Tanpa menunggu, Zeyn meraihnya dan mulai membalut luka Sienna dengan tangannya sendiri.
Gerakannya efisien. Tangannya terampil. Meskipun ia tampak seperti sedang menangani proyek arsitektur, setiap lilitan perban ia pasang dengan presisi dan kehati-hatian. Tidak terlalu longgar, tidak terlalu erat. “Berapa kali aku harus mengingatkan bahwa ruang kerja ini bukan tempat untuk kekacauan?” tanyanya sambil tetap fokus pada lukanya.
“Aku tidak sengaja, Zeyn,” ulang Sienna, kali ini dengan nada letih.
Zeyn mendongak. Sorot matanya tajam. “Aku tahu. Tapi setiap kali kau ‘tidak sengaja’, aku yang harus membereskan akibatnya.”
Diam tercipta sesaat. Sunyi yang tidak nyaman. Namun tangan Zeyn justru mengusap lembut sisi telapak tangan Sienna, memastikan tidak ada sisa darah sebelum akhirnya mengencangkan perban dan mengikatnya dengan rapi.
Setelah selesai, Zeyn berdiri. Ia memandang Sienna dari atas, dengan mata yang menyimpan banyak hal namun memilih untuk tidak mengatakannya. “Kau tidak perlu bekerja lagi hari ini. Pulanglah.” Nada Zeyn terdengar seperti perintah. Tidak tinggi, tidak membentak, namun penuh otoritas.
Sienna menatapnya, bingung. “Tapi aku belum selesai menggambar.”
Zeyn menarik napas pelan, seolah sedang menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang lebih tajam dari yang seharusnya. Tatapan matanya menyapu ke arah meja kerja Sienna yang masih dalam keadaan porak-poranda, lalu berpindah kembali pada tangan yang telah diperban rapi olehnya sendiri. “Aku tahu,” jawabnya singkat, tapi nadanya tidak sekadar setuju—lebih tepatnya, mengandung penilaian. Ia lalu menambahkan, “Tapi kalau kau terus memaksakan diri dalam keadaan seperti ini, satu-satunya hal yang akan kau selesaikan hari ini adalah memperparah kerusakan yang telah terjadi.”
Kata-katanya terdengar lugas, namun juga penuh sindiran. Zeyn tidak pernah menyuarakan empati secara langsung, namun kekhawatiran kerap menyelinap melalui bentuk yang tidak biasa.
Sienna menunduk, jemarinya yang satu lagi menggenggam tas kecilnya erat-erat. “Aku bisa menyelesaikannya di rumah...”
Tanpa menjawab, Zeyn berjongkok kembali. Gerakannya tenang namun presisi, seperti seseorang yang terbiasa menyusun struktur dalam pikirannya sebelum menyentuh realitas. Ia mulai meraih kertas-kertas gambar yang masih berserakan di lantai. Dengan gerakan sistematis, ia menepuk lembar demi lembar, menyusunnya berdasarkan urutan logis. Tidak satu pun ia biarkan terlipat atau kotor.
Setelah selesai, ia menyelipkan semua itu ke dalam map hitam miliknya sendiri. Map yang biasanya hanya ia gunakan untuk proyek-proyek penting.
Sienna memandangnya dalam diam. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya—antara rasa bersalah, kagum, dan getir yang tak bisa ia uraikan.
“Aku akan mengantarmu pulang,” ucap Zeyn, tanpa menatap istrinya.
Sienna buru-buru menggeleng. “Tidak perlu. Aku bisa sendiri, Zeyn. Aku tidak ingin merepotkanmu.”
Zeyn menegakkan tubuhnya. Wajahnya masih tanpa ekspresi. Namun kilatan tajam di matanya muncul kembali saat ia menjawab, “Kau bisa tergelincir lagi hanya karena berpikir.”
Pernyataan itu terdengar kejam, namun entah mengapa justru membuat Sienna ingin tertawa—jika saja situasinya tidak terlalu canggung.
Ia membuka mulut untuk membantah lagi, namun urung. Suaminya itu telah lebih dahulu menyelipkan map ke dalam tas kerja Sienna, lalu menepuk sisi atasnya pelan, seolah memastikan semuanya berada di tempat yang seharusnya.
Zeyn kemudian melirik arlojinya sekilas, lalu mengangguk kecil ke arah pintu. “Ayo. Sebelum aku berubah pikiran dan menugaskanmu menggambar ulang dari awal.”
Sienna berdiri perlahan, menahan rasa nyeri di tangannya. Langkahnya masih agak limbung, namun ia tidak mengeluh. Zeyn berjalan mendahuluinya, tanpa menoleh, namun dengan langkah yang tidak terlalu cepat—cukup untuk memastikan ia tidak meninggalkannya terlalu jauh.
Ruang kerja kembali senyap. Beberapa staf yang sedari tadi mencuri pandang segera menunduk, berpura-pura sibuk dengan layar komputer masing-masing. Tidak ada yang berani berkata apa pun.
***