Tentang seorang menantu yang tidak di perlakukan baik oleh keluarga suaminya.
Setiap hari nya harus menahan diri dan memendam sakit hati.
Lalu di tengah kesuksesan yang baru di reguknya, rumah tangganya di terpa badai pengkhianatan.
Akankah dirinya mampu bertahan dengan rumah tangganya?
Cerita ini belatar kehidupan di daerah Sumatera, khusunya suku Melayu. Untuk bahasa, Lebih ke Indonesia supaya pembaca lebih memahami.
Jika tidak suka silakan di skip, dan mohon tidak memberi penilaian buruk.🙏
Silakan memberi kritik dan saran yang membangun🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juniar Yasir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejadian
Tidak terasa hari ni terakhir umat Islam berpuasa.
Sari menyiapkan Selfi berpakaian. Malam ini anaknya ikut pawai takbiran menyambut hari Raya idul Fitri.
Di kota ini, setiap malam menyambut bulan Syawal, akan di adakan pawai akbar. Setiap mushola akan mengirim beberapa grup/ remaja masjid untuk ikut pawai. Bisa juga para siswa/siswi dari perwakilan sekolah. Para lelaki akan mendorong grobak, ada juga mobil yang di hias sedemikian rupa. Biasanya, mereka para pemuda membuat hiasan dari daur ulang plastik sabun , botol dan lainnya. Mereka bentuk menjadi masjid, kapal layar dan berbagai macam. Para lelaki juga di hias sedemikian rupa. Bertanduk dan di leher ada rantai, seolah iblis yang di tawan saat bulan Ramadhan.
Salah satu tradisi Pawai takbiran di Provinsi Riau. (Lebih kurang mohon maaf)
.
.
🌾
Setelah Selfi di siapkan, Sari menyuruh nya istirahat di kamar saja menunggu magrib tiba.
Sari keluar kamar menuju dapur. Disana sang mertua dan adik iparnya sedang memasukkan kue dalam toples.
“Dimana Atika?’’ tanya Sari. Karena tidak melihat si bungsu.
“Ikut bang Ramdan beli takjil untuk berbuka kak.’’ Yati yang menjawab.
Dia mulai membiasakan memanggil Sari dengan sopan. Sedikit demi sedikit dirinya mulai menyadari kesalahannya dulu, ketika Sari masih berada di kampung.
“Dengan siapa pula nanti kau balik kampung Yati?’’ tanya Sarimah. Dirinya tidak enak juga bila anaknya lama-lama disini. Apalagi dulunya sikap Yati sangat tidak baik memperlakukan Sari.
“Nanti malam saja Mak, rencana nya aku mau ke bazar dulu. Mungkin ngojek saja.’’ jawab Yati.
“Lebih raya di sini saja lah kau Yat, di rumah juga sendiri. Sini saja kita ngumpul sama-sama. Jarang juga kan?’’ tawar Sari. mengajak iparnya itu. Sari senang jika memang Yati berubah.
“Apa boleh kak? Apa aku tidak menyusahkan kakak nantinya? Nanti habis pula makanan kakak ni.’’ tanya Yati bertubi.
Dia sangat senang karena Sari malah menawarkan berlebaran di rumahnya. Karena Dirinya juga sendirian di kampung. Wira sudah jarang pulang. Di telpon juga sangat jarang di jawab.
“Ya bolehlah Yat, kita ni kan keluarga. Tak usahlah kau tak sedap hati.’’ balas Sari tulus.
*
“Apa Wira selalu balik Yat?’’ kali ini Sarimah yang bertanya.
“Sudah sangat jarang Mak. Bahkan akhir-akhir ini no ponselnya jarang aktif.’’ jawab Yati tidak semangat.
“Jangan terlalu bergantung dengan orang jantan. Kita wanita harus pandai-pandai bekerja jaman sekarang ni. Orang jantan sekarang apabila suksesnya sedikit, mulailah dia main betina. Tak sadar diri di temani sedari masih miskin!’’ Ucap Sarimah.
Setelah mengatakan itu dirinya berdiri dari duduknya, berjalan menuju ke kamar.
Yati dan Sari saling berpandangan. Sari sudah mengerti dengan ucapan mertuanya ini. Semua tentu berkaitan dengan ulah Ramdan dan nasib anak perempuan nya yang di madu. Dan Yati tentu bingung, tiba-tiba saja Sarimah mengatakan itu, terkesan sedih.
Sementara di balik hordeng pintu ruang tamu, Ramdan mendengar ucapan Ibunya. Dirinya jadi ingat obrolan keduanya ketika Sarimah menelponnya dan marah-marah.
_flash back_
“Hallo assalamualaikum. Ada apa dik?’’
“Ini bukan Sari. Kau ni Ramdan sebetulnya apa yang kau lakukan di luar kecamatan? Apa benar kau benar-benar bekerja atau sambil main gila dengan Dahlia?’’
“Mak belum balik? Apa Mak beraya di rumah kami?’’
“Jangan cuba mengelak! Kenapa kau masih menyimpan foto Dahlia?!. Ingat ya Ramdan!, kau sudah punya anak bini. Kalau sampai kau macam-macam, aku takkan izinkan kau memanggilku Mak lagi.’’
....
Fbo_
Semenjak telponan malam itu, hubungan ibu dan anak ini kurang baik. Sarimah terpaksa juga menyapa dan baik pada Ramdan, karena tidak ingin Sari curiga dan bertanya.
...*****...
...****************...
...****************...
“Kak Sar, bisa tidak temankan aku ke bazar nanti malam?’’ tanya Yati.
Mereka telah berbuka. Dan sekarang menikmati thumprint cookies yang Sari buat beberapa hari lalu.
“Boleh, tapi setelah mengantar Selfi ke lapangan tempat pawai.’’ Jawab Sari.
“Selfi biar Abang yang antar, sekalian Abang bawa mak tengok pawai.’’ Ramdan yang keluar dari kamar mandi menimpali ucapan mereka.
“Tak usah lagi. Mak sudah janji sama Rahmah. Nanti Selfi akan di antar Beni dengan Rahmi.’’ Ucap Sarimah setelah la diam.
Yati memandang ketiganya dengan tatapan yang sulit di mengerti. Ada apa ini pikirnya. Sejak kemarin sikap orang di rumah ini berbeda terhadap Abang nya. Bukan hanya orang dewasa, Selfi juga bersikap aneh pada Ayahnya ini. Yati ingin bertanya, tapi sungkan
“Kalau gitu biarlah aku mandi dulu. Boleh?’’ tanya Yati.
Astaghfirullahal 'azim. Kenapa pula tanya kalau akan mandi Yati.’’ heran Sari. Yati hanya nyengir saja.
*
Selepas isya, mereka semua telah bersiap menuju lokasi berkumpulnya peserta pawai. Setelah menemukan grup Selfi, Sari dan Yati pergi ke bazar. Sedangkan Rahmah bersama Sarimah, mereka menunggu di taman. Mengenang Sarimah yang telah lansia, tentu tidak akan kuat berkeliling bazar.
“Cari apa dulu Yat?’’ tanya Sari.
“Baju kak. Aku cari yang bahan crinkle gitu, murah lah, bahannya bagus, lembut’’ jawab Yati.
“Betul juga cakap kau tu. Tuh di situ macam banyak ku tengok.’’ Sari menunjuk stand yang menjual gamis dan aneka hijab.
“Berapa yang model ini bang?’’ tanya Yati.
“Ini 85 dik. No hijab. Nah ini bahannya sama, tapi modelnya lebih bagus dan ada jilbabnya. Jadi yang mana hendaknya?’’ Si penjual menunjuk dan menjelaskan.
“Yang mana bagusnya ya kak? Yati meminta pendapat Sari.
“Bagus yang ada hijabnya ini Yati. Tapi kalau kau tak keberatan, warna coklat muda ini saja. Karena aku, anak-anak dan Ibumu warna coklat muda ini baju kami.’’ ucap Sari memberi saran.
“Ya sudah bang, yang warna coklat muda ya bang.’’ balas Yati, mengambil bungkusan kantong berisi baju yang di belinya.
“Kak Sari tak beli apapun ku tengok nya.’’ ujar Yati.
“Aku kemarin beli online semua yat.’’ jawab Sari.
.
.
Setelah berbelanja, mereka berencana menyusul Rahmah dan Sarimah di taman.
Tak sengaja netra Yati melihat sosok pria yang sangat di kenalinya. Dia mau melabrak tapi takut salah orang. Setelah tahu jika dirinya tidak salah lihat, Yati hendak menuju ke pasangan itu, secepat kilat Naura menahannya.
“Sebaiknya, atur emosi dulu. Tak baik bising-bising dan kelahi di depan orang.’’ Pujuk Sari.
Yati menurut saja. Dirinya malah merasa sikap santai Sari ini menunjukkan jika sudah mengetahui ulah bejat nya itu. Makin menyala lah hati Yati. Tidak tahan lagi, Yati berjalan menuju kedua pasangan itu, mengambil gelas minuman dan menyiram ke wajah Keduanya.
“Yati?!...’’ Ucap Sarimah dari jauh. Sarimah beranjak menuju anaknya, begitu juga Rahmah.
“Jadi ini sebab Abang jarang balik? Abang main betina di kota ni?_“ Bukan main emosi Yati. Kini beralih ke perempuan itu.
“Dan kau betina! Apa tidak malu, berjalan dengan laki orang? Macam jantan di dunia ini hanya laki ku saja.’’ ucap Yati emosi. Ketika tangannya akan menampar wanita itu, langsung saja di tangkis Wira.
“Jangan berani kau sentuh tangan kasar tu dan jangan sibuk urusan ku. Urus saja dirimu yang mandul itu!’’ ujar wanita itu.
“Kau?’’ balas Yati. Ingin dirinya Jambak rambut wanita itu, tapi di urungkan melihat indah menggeleng.
“Aku ini istri keduanya bang Wira. Kedua tapi di utamakan. Dan asal kau tau aku juga sedang mengandung anaknya.’’ ucap wanita itu tersenyum miring. Seolah mengejek Yati.
Yati tersulut mundur. Ingin menangis tapi di tahannya. Sari mengelus punggung adik iparnya, memberi kekuatan.
.
.
.
.
*
“Aku akan segera mengurus perceraian kita. Tak usah Abang risaukan, aku tak akan minta biaya sepeserpun!’’
“Cih!, sombong sekali kau. Macam banyak betul duit mu tu!’’