NovelToon NovelToon
MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu Cantik

Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.

Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.

Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bagian 13

Sejak semalam, apartemen itu seperti terbagi menjadi dua dunia yang tidak saling bersinggungan. Tidak ada suara langkah di lorong. Tidak ada pintu yang terbuka. Bianca dan Sadewa memilih mengurung diri di kamar masing-masing bukan karena ingin, tapi karena tidak tahu harus menjadi apa di hadapan satu sama lain.

Pagi itu, Bianca bangun lebih dulu.

Ia mandi cepat, mengikat rambutnya asal, lalu melangkah ke dapur dengan langkah ringan. Dapur apartemen Sadewa bersih dan modern, tapi terasa dingin. Bianca membuka kulkas, menatap isinya sejenak, lalu mengambil roti dan susu.

Ia tidak memasak banyak. Hanya dua lembar roti yang dipanggang hingga kecokelatan, dan segelas susu hangat. Tidak ada piring kedua. Tidak ada cangkir tambahan.

Bianca tahu.

Sadewa tidak akan menyentuh apa pun yang ia buat.

Ia duduk di meja makan kecil dekat jendela, menikmati sarapannya perlahan. Cahaya pagi masuk lembut, membentuk bayangan tipis di wajahnya. Wajah yang tenang, meski matanya menyimpan kelelahan yang tidak terlihat.

Suara pintu kamar terbuka terdengar dari arah lorong.

Sadewa keluar dengan setelan jas hitam rapi, rambut tersisir sempurna, jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya. Ia terlihat seperti pria sukses pada umumnya tidak ada yang akan mengira hidupnya baru saja porak-poranda.

Langkah Sadewa terhenti saat melihat Bianca di meja makan.

Untuk sesaat, mereka saling memandang.

Bianca tetap melanjutkan makannya, seolah kehadiran Sadewa hanyalah latar belakang. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan.

Sadewa berdeham kecil. “Aku ke kantor.”

Bianca menoleh, mengangguk pelan. “Iya.”

Satu kata. Cukup.

Sadewa berjalan ke arah pintu, mengambil tas kerjanya. Tangannya sudah memegang gagang pintu ketika ia berhenti, seolah ada sesuatu yang mengganjal.

“Kamu bebas ngelakuin apa pun di sini,” ucapnya tanpa menoleh. “Pergi ke mana pun. Ketemu siapa pun.”

Bianca menatap punggungnya.

“Tapi,” Sadewa melanjutkan, suaranya sedikit mengeras, “jangan sampai bikin aku malu.”

Kalimat itu jatuh seperti garis batas terakhir.

Bianca meletakkan roti di piring, menegakkan punggungnya.

“Aku nggak pernah berniat mempermalukan siapa pun,” jawabnya tenang. “Apalagi kamu.”

Sadewa menoleh sekilas. Tatapan mereka kembali bertemu.

“Bagus kalau gitu,” katanya singkat.

Pintu apartemen tertutup tak lama kemudian, meninggalkan bunyi klik yang menggema di ruang hening itu.

Bianca kembali menatap sarapannya yang hampir habis. Nafsu makannya lenyap, tapi ia tetap menghabiskannya. Bukan karena lapar, melainkan karena ia menolak terlihat lemah bahkan ketika sendirian.

Ia berdiri, mencuci piringnya sendiri, lalu mengeringkannya dengan hati-hati. Tidak ada suara lain selain aliran air dan detak jam dinding.

Apartemen itu kembali sunyi.

Namun kali ini, sunyi itu terasa berbeda.

Bukan karena kosong.

Melainkan karena ada dua orang di dalamnya yang sama-sama terluka, tapi memilih berpura-pura baik-baik saja.

Setelah pintu apartemen tertutup dan langkah Sadewa menghilang bersama suara lift, Bianca berdiri lama di ruang tengah. Sunyi kembali mengambil alih, lebih berat dari sebelumnya. Tidak ada yang memanggil namanya. Tidak ada yang menanyakan ke mana ia akan pergi. Untuk pertama kalinya sejak menjadi istri seseorang, Bianca benar-benar sendirian.

Ia menoleh ke sekeliling apartemen. Semuanya rapi, steril, seperti tempat singgah. Tidak ada satu pun sudut yang menunjukkan bahwa seorang perempuan baru saja masuk ke dalam hidup pemiliknya.

Bianca menarik napas panjang.

Ia tidak ingin menghabiskan hari pertamanya dengan berdiam diri dan menenggelamkan diri dalam pikiran yang menyakitkan. Jika Sadewa memberinya kebebasan, maka ia akan menggunakan kebebasan itu untuk bertahan.

Bianca berganti pakaian blus putih sederhana dan celana panjang krem. Rambutnya dibiarkan tergerai. Ia mengambil tas kecil dan ponsel, lalu keluar dari apartemen tanpa meninggalkan pesan apa pun.

Di luar, kota menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang kontras dengan hatinya. Klakson, langkah kaki, suara orang-orang berbincang semuanya berjalan seperti biasa, seolah tidak ada yang peduli bahwa hidup seseorang baru saja berubah drastis.

Bianca berjalan menyusuri trotoar, membiarkan kakinya membawanya ke mana saja. Ia berhenti di sebuah taman kecil di tengah kota. Duduk di bangku kayu, menatap pepohonan yang bergoyang pelan diterpa angin.

Ia membuka ponselnya.

Nama Sadewa terpampang di kontak teratas otomatis, hasil kebiasaan bertahun-tahun. Jarinya nyaris menyentuh layar sebelum ia tersenyum pahit dan mengunci ponsel itu kembali.

Bukan hari ini.

Bianca memilih masuk ke sebuah kafe kecil tak jauh dari taman. Ia memesan kopi hangat dan duduk di dekat jendela. Dari sana, ia melihat pasangan-pasangan muda, keluarga kecil, dan orang-orang yang terlihat memiliki tujuan.

Sedangkan ia?

Ia baru saja menikah… tanpa dicintai.

Cangkir kopinya mendingin tanpa banyak tersentuh. Bianca menatap pantulan wajahnya di kaca jendela. Ia tidak terlihat berbeda dari sebelum menikah. Tidak ada cincin kebahagiaan di matanya. Tidak ada senyum pengantin.

Yang ada hanya seorang perempuan yang berusaha berdiri tegak di atas luka yang baru terbuka.

Sore menjelang, Bianca kembali berjalan. Ia masuk ke toko buku, menghabiskan waktu di rak arsitektur dan desain bidang yang selama ini menjadi pelariannya. Di antara buku-buku itu, ia merasa sedikit menjadi dirinya sendiri lagi. Bukan istri Sadewa. Bukan pengganti siapa pun.

Hanya Bianca Kartika.

Saat matahari mulai condong ke barat, Bianca pulang ke apartemen. Ia membuka pintu dengan pelan, seolah takut mengganggu seseorang padahal ia tahu tidak ada siapa pun di sana.

Ia meletakkan tasnya, lalu duduk di sofa.

Hari pertamanya sebagai istri yang tidak diinginkan telah berlalu. Tanpa tangis keras. Tanpa adegan dramatis. Hanya kesepian yang tenang dan keputusan diam-diam di dalam hatinya.

Jika ia harus bertahan, maka ia akan bertahan dengan caranya sendiri.

Dan tanpa ia sadari, di situlah perjalanan panjangnya benar-benar dimulai.

Bianca memilih kafe yang sama dengan tadi pagi. Kali ini ia duduk di sudut yang lebih sepi, memesan makan siang sederhana pasta dan segelas air mineral. Ia membuka ponselnya, menelusuri beberapa foto lama yang tersimpan di galeri: bangunan kampus Stanford, teman-teman kuliahnya, senyum yang dulu terasa ringan.

Ia mengunci layar sebelum rasa rindu itu berubah menjadi sesak.

Bianca menyendok makanannya perlahan. Di sekelilingnya terdengar tawa pelan dan obrolan ringan, tapi semua itu terasa jauh. Ia sendirian di tengah keramaian, namun untuk pertama kalinya hari itu, ia tidak merasa ingin menangis.

Ia sedang belajar menerima.

 

Di tempat lain, di lantai tinggi gedung perkantoran milik keluarga Yudistira, suasana jauh berbeda.

“Ini laporan atau coretan nggak jelas?!” suara Sadewa menggema di ruang rapat.

Seorang manajer proyek berdiri dengan wajah pucat, berusaha menjelaskan. “Pak, datanya masih sementara, kami—”

“Sementara tapi kamu berani kirim ke saya?” potong Sadewa tajam. Ia melempar berkas ke meja. “Angka nggak cocok, timeline ngawur, dan kamu bilang ini siap?”

Tidak ada yang berani menyela.

Sejak pagi, Sadewa seperti bom waktu. Satu kesalahan kecil saja cukup membuatnya meledak. Rapat demi rapat berakhir dengan wajah-wajah tegang dan langkah cepat keluar ruangan.

Begitu Sadewa keluar, bisik-bisik langsung bermunculan.

“Kalian denger kan?” ujar salah satu staf perempuan pelan.

“Iya… katanya Pak Sadewa nikah dadakan,” sahut yang lain.

“Bukan sama pacarnya, ya?”

“Katanya sih bukan. Makanya mukanya muram terus.”

Di balik pintu ruangannya, Sadewa menjatuhkan tubuh ke kursi kerja. Tangannya mengusap wajah kasar. Dadanya sesak, bukan karena pekerjaan tapi karena setiap sudut hidupnya kini terasa salah.

Ponselnya bergetar.

Nama Bianca muncul di layar tanpa pesan, hanya notifikasi lokasi karena fitur berbagi yang dulu pernah aktif tanpa sengaja.

Sadewa menatap layar itu lama.

Di kafe.

Santai.

Seolah dunia tidak runtuh.

Ia mengunci ponselnya dengan kasar.

 

Kembali di kafe, Bianca menyelesaikan makan sorenya. Ia menatap jam di dinding, lalu memesan kopi. Di dalam hatinya ada satu kesadaran yang mulai tumbuh hidupnya tidak boleh berhenti hanya karena ia tidak dicintai.

Di luar sana, seseorang mungkin sedang marah, hancur, dan membenci keadaannya.

Tapi Bianca memilih bertahan dengan cara yang berbeda.

Dengan tenang.

Dengan diam.

Dan dengan keberanian untuk tetap melangkah.

1
Dewi Susanti
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!