Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30 : Kemampuan Asli Sang Pangeran
Di lantai yang asing itu, Ferisu dan Erica kini berhadapan dengan Minotaur bermutasi yang mengancam keselamatan mereka. Monster itu tampak lebih besar, lebih kuat, dan lebih menakutkan daripada Minotaur biasa.
"Erica, tetap di belakangku dan perhatikan sekeliling. Aku akan mengurus sapi besar ini," ujar Ferisu tegas. Ia melangkah maju hanya dengan sebilah pedang biasa di tangannya—tanpa energi roh atau sihir sedikit pun.
"Tapi—" Erica mencoba menghentikannya, tetapi kata-katanya terputus. Ia hanya bisa menatap Ferisu yang menjauh darinya dengan langkah percaya diri. Tubuhnya masih lemah setelah pertarungan panjang dari lantai satu hingga sepuluh, dan sekarang ia hanya bisa berharap.
Ting!!!
Suara nyaring terdengar ketika pedang Ferisu bertabrakan dengan kapak besar milik Minotaur. Monster itu menahan serangan Ferisu dengan mudah, salah satu dari empat lengannya menggenggam kapak raksasa dengan kekuatan luar biasa.
"Cih! Menyebalkan," gerutu Ferisu seraya meloncat mundur, mengukur situasi.
Namun, saat itu suara berat terdengar di dalam benaknya.
"Tuan, izinkan aku membantumu!"
"Tidak butuh! Aku bisa mengatasi ini sendiri!" jawab Ferisu dengan nada tegas dalam pikirannya.
"Tapi Tuan, ini—"
"Hanya monster rank C. Ini bukan masalah besar," potong Ferisu, mencoba meyakinkan suara itu dan dirinya sendiri.
Ia maju kembali, kali ini dengan gerakan yang lebih gesit. Ferisu memutari Minotaur, berusaha menyerang titik buta monster itu. Namun, Minotaur bermutasi itu memiliki insting yang tajam. Ia memutar tubuhnya dengan cepat sambil mengayunkan kapak raksasanya.
Ferisu menghindar tepat waktu, bergerak lincah di antara serangan mematikan. Ia memanfaatkan momentum untuk menaiki salah satu lengannya dan melompat tinggi menuju kepala Minotaur.
Slash!
Pedang Ferisu menebas salah satu mata monster itu, menciptakan luka dalam yang membuat Minotaur mengerang kesakitan. Namun, keberhasilan itu tidak berlangsung lama.
"Empat tangan..." pikir Ferisu, terlambat menyadari ancaman lain. Salah satu lengan Minotaur yang lain bergerak cepat, menyerang Ferisu yang masih berada di udara.
"Ah, gawat!" Ferisu menggertakkan giginya. Ia mencoba menahan pukulan itu dengan pedangnya, menangkis sebagian besar kekuatan serangan. Namun, benturan itu tetap cukup kuat untuk membuat tubuhnya terpental ke belakang.
Brak! Ferisu mendarat keras di lantai, menggenggam pedangnya erat untuk menjaga keseimbangan. Erica menatapnya dengan cemas, tetapi Ferisu hanya mengangkat satu tangan, menyuruhnya tetap diam di tempat.
"Sekarang aku sudah paham," gumam Ferisu sambil berdiri lagi, matanya menatap tajam ke arah Minotaur yang menggeram marah, darah mengalir dari matanya yang terluka.
"Ayo kita lihat, apa kau bisa mendaratkan serangan padaku lagi," tantangnya dengan senyum tipis.
Ferisu kembali melesat maju dengan kecepatan luar biasa. Gerakannya begitu cepat hingga hanya meninggalkan bayangan samar di mata Erica. Ia terbelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Bagaimana dia bisa bergerak secepat itu tanpa bantuan sihir atau energi roh?" gumam Erica, matanya tetap terpaku pada sosok Ferisu.
Minotaur bermutasi itu tampak merasakan ancaman. Dengan gerakan cepat, ia mulai menembakkan bola-bola api besar ke arah Ferisu. Namun, serangan itu hanya mengenai udara kosong. Ferisu menghindar dengan gerakan yang presisi, setiap bola api meleset hanya beberapa inci dari tubuhnya.
"Kau membidik ke mana, sapi bodoh?" ejek Ferisu dengan nada penuh percaya diri, senyumnya tipis namun penuh provokasi.
Minotaur itu mengerang marah, matanya yang tersisa menyala merah seperti bara. Ia berhenti menembakkan sihir dan mulai menyerang secara brutal dengan keempat tangannya. Ayunan kapak besar dan pukulan mematikan terus membombardir tempat Ferisu berada.
Namun, tidak ada satu pun yang berhasil mengenainya. Ferisu bergerak lebih cepat, memanfaatkan kelincahan tubuhnya untuk menari di antara serangan monster itu. Langkahnya lincah dan ringan seperti angin, hingga dalam hitungan detik, ia telah mencapai posisi di atas kepala Minotaur.
"Ini sudah berakhir," ujar Ferisu tenang, suaranya hampir berbisik.
Dengan satu gerakan tegas, Ferisu menancapkan pedangnya tepat di kepala Minotaur, menusuk hingga menembus otak.
Gruaaaarrr!!!
Jeritan terakhir Minotaur menggema di ruangan luas itu. Tubuh raksasanya berguncang hebat sebelum akhirnya jatuh ke lantai dengan suara keras, menciptakan debu yang beterbangan ke udara.
Ferisu berdiri di atas kepala Minotaur yang kini tak bernyawa, menarik pedangnya kembali dengan satu gerakan cepat. Darah gelap mengalir deras dari luka itu, tetapi Ferisu tetap tenang, seakan semua ini hanyalah rutinitas baginya.
Ia melompat turun, mendarat di lantai tanpa suara, dan berjalan kembali ke arah Erica yang masih terdiam di tempat.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada datar, seolah apa yang baru saja terjadi adalah hal biasa.
Erica hanya bisa mengangguk, meski matanya masih memandang Ferisu dengan campuran rasa kagum dan kebingungan. "Bagaimana... bagaimana kau bisa sekuat itu?" tanyanya lirih.
Ferisu tidak menjawab. Ia hanya menyeka pedangnya dan menyarungkannya kembali, lalu menatap jauh ke depan, mencari jalan keluar dari lantai misterius itu.
Tubuh Minotaur itu perlahan hancur menjadi partikel bercahaya yang beterbangan, meninggalkan sebuah batu sihir besar dengan warna ungu berkilauan di tengah lantai. Ferisu mengambil batu itu tanpa ragu, memerhatikannya sejenak sebelum menyelipkannya ke dalam sakunya.
"Ayo, kita harus segera mencari jalan keluar dan kembali ke lantai atas," ucap Ferisu, matanya menatap tajam ke arah Erica yang masih terduduk di lantai.
Erica mengangguk pelan, namun saat mencoba berdiri, tubuhnya goyah. Kakinya gemetar hebat, hingga akhirnya ia terduduk kembali dengan wajah menunduk. Meskipun ia berusaha bersikap tenang selama ini, ketegangan dari jatuh ke dalam lubang dan menghadapi monster kuat akhirnya mengejarnya.
"Maaf... Kakiku lemas..." ujar Erica lirih, suaranya hampir tenggelam oleh ruangan kosong yang terasa begitu sunyi setelah pertarungan tadi.
Ferisu memandangnya dengan tatapan datar, lalu menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa, ia berjongkok di depan Erica, membelakangi gadis itu.
"Naiklah," katanya singkat. "Aku akan menggendongmu."
Erica terkejut mendengar ucapan itu. "A-apa? Tidak perlu! Aku hanya butuh waktu sebentar untuk pulih—"
"Jangan keras kepala," potong Ferisu dengan nada tegas. Ia menoleh sedikit, mata ungunya menatap lurus ke arah Erica. "Jika kita tetap di sini terlalu lama, kita tidak tahu apa lagi yang mungkin muncul. Prioritas kita sekarang adalah keluar dari tempat ini dengan selamat."
Erica membuka mulutnya untuk membantah, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Ia tahu Ferisu benar. Dengan ragu, ia akhirnya memanjat ke punggungnya, mencoba menjaga jarak agar tidak terlalu dekat.
Ferisu berdiri perlahan setelah memastikan Erica sudah terangkat dengan baik. "Pegangan yang erat. Aku tidak akan berhenti hanya karena kau hampir jatuh," ucapnya, berjalan perlahan menyusuri lantai yang asing.
Erica memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. "Aku tidak akan terjatuh," gumamnya pelan, tapi tangannya erat memegang bahu Ferisu.
Langkah-langkah Ferisu terdengar mantap di ruangan luas itu, dan untuk pertama kalinya sejak mereka terjebak di tempat ini, Erica merasakan sedikit rasa aman.
raja sihir gitu lho 🤩