"Tidak ada pengajaran yang bisa didapatkan dari ceritamu ini, Selena. Perbaiki semua atau akhiri kontrak kerjamu dengan perusahaan ku."
Kalimat tersebut membuat Selena merasa tidak berguna menjadi manusia. Semua jerih payahnya terasa sia-sia dan membuatnya hampir menyerah.
Di tengah rasa hampir menyerahnya itu, Selena bertemu dengan Bhima. Seorang trader muda yang sedang rugi karena pasar saham mendadak anjlok.
Apakah yang akan terjadi di dengan mereka? Bibit cinta mulai tumbuh atau justru kebencian yang semakin menjalar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LyaAnila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 08: Perlahan Terungkap
Malam itu, Selena bangun dengan kepala nya yang masih berat. Netra nya masih belum fokus menangkap apa yang ada di hadapannya. Namun ia menyadari bahwa kali ini ada yang berbeda dari tubuhnya, tangannya sepertinya sudah menempel jarum. Benar saja, jarum itu sudah dilengkapi selang dan kantung infusan yang menggantung di penyangga samping ranjang.
Suara pendingin ruangan berdengung pelan. Bau khas obat lantai pun menyeruak tajam menembus indra penciuman nya. Selena tersadar bahwa ia sekarang bukan di rumahnya, melainkan di klinik.
"Selamat malam, nona Selena. Bagaimana perasaanmu sekarang. Jauh lebih baik?"
Suara perempuan asing mengganggu Selena yang masih mencerna dimana ia berada sekarang. Ia pun hanya menggeleng menyikapi pertanyaan perempuan yang sepertinya seorang suster.
"Tadi kamu sempat tak sadarkan diri di kantor. Rani, teman mu tadi yang membawa mu kesini. Untung dia tanggap, kalau nggak bisa bahaya," terang sang perawat dengan pelan. Karena ia tau bahwa Selena masih mencerna kejadian yang menimpa dirinya.
Akhirnya, Selena pun hanya mengangguk pelan, lalu tanpa sengaja ia memperhatikan selimut abu-abu yang menutupi badannya.
Entah mengapa, semua kejadian yang menimpanya di kantor beberapa jam lalu terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Tatapan menusuk teman-teman satu divisi, perkataan keras dari Bu Prita dan Pak Hasan mengenai rumor plagiarisme dan masalah Bhima membuat dia ingin sekali berteriak.
"Udahlah, memang dia itu melakukan plagiat. Naskah semirip itu tidak mungkin hanya sebuah 'kebetulan apalagi terinspirasi '."
Kata-kata tersebut bagaikan petir di siang bolong yang menghantamnya tanpa ampun. Mengingat hal tersebut, tubuh Selena memberikan respon bahwa dia sudah mulai ketakutan dalam menjalani hobinya itu.
"Saya sudah menyuntikkan anti biotik ya, silakan kamu bisa istirahat kembali. Saya permisi," ujar perawat yang memecah lamunan Selena.
Selena hanya mengangguk dan ia kembali menyamankan tubuhnya untuk kembali terlelap. Entah kemana Rani saat itu, mungkin dia sudah pulang waktu Selena tertidur.
*****
Tak hanya Selena yang bingung, Bhima orang yang tak sengaja menyenggol cokelat nya waktu di PawPaw Cafe pun sedang bingung. Suasana di ruang trader kembali memanas. Kali ini bukan grafik pasar, melainkan Bhima terkejut ketika melihat data yang dikirimkan oleh temannya di bagian IT. Data yang dikirimkan adalah barang bukti berupa tuduhan manipulasi data yang sonter dibicarakan di jagat maya ternyata berasal dari akun anonim yang terhubung ke satu alamat IP kantor nya sendiri.
Setelah ia menelisik lebih dalam, ternyata nama pemilik komputer itu adalah Arvin Hakim. Orang yang akhir-akhir ini bersitegang dengannya.
Laki-laki berkaca mata, sedikit pendiam, terlihat profesional dan pernah Bhima bantu dalam menganalisis harga saham. Tak pernah sedikit pun Bhima menaruh curiga kepadanya.
"Hemthh.... Ternyata dia pelakunya," Bhima mengetuk-ngetuk jarinya dengan tempo yang cepat di mejanya.
"Tunggu dulu, Bhim. Lu udah yakin? Jangan sampai lu salah duga. Bisa jadi ada orang yang pakai komputernya dia aja," jelas Dion. Ia menarik kursi di depan Bhima sambil memicingkan matanya.
"Udah gue check. Dan semua itu cocok dengan waktu postingan berita palsu itu keluar. Nggak mungkin kalau cuma kebetulan aja, Di." Jelas Bhima lagi.
Mendengar penjelasan itu, Dion terdiam. Ia tak bisa lagi membantah Bhima jika memang Bhima sudah yakin. Bhima mencoba menenangkan pikirannya dan entah kenapa di tengah ia menjernihkan pikirannya, nama Selena malah muncul.
Sekelebat ingatannya, ia melihat bagaimana wajah Selena ketakutan ketika ia dituduh menyebarkan berita palsu tentang Bhima.
"Ya Tuhan, ternyata gue salah orang. Gimana ini," gumamnya.
*****
Selena hampir tertidur malam itu setelah ia mendapatkan makan malam. Namun, tidurnya terganggu karena sebuah ketukan pelan.
"Selena. Permisi, Nak ada yang mau ketemu sama kamu."
Dengan susah payah, Selena memposisikan tubuhnya menghadap pintu. "Siapa Bu?" Tanyanya lemah.
"Cowok, Nak. Kalau tidak salah namanya Bhima. Bagaimana Nak. Apa diperbolehkan untuk masuk?"
"Bilang saja kalau aku sudah tidur, Bu. Aku tidak mau bertemu dengannya," tegasnya. Kemudian ia memposisikan badannya membelakangi pintu rawat inapnya.
"Katanya, dia mau meluruskan sesuatu diantara kalian, Nak. Sebentar juga," perawat separuh baya itu masih terus meyakinkan Selena.
Ia menggigit bibir bawahnya dan kembali menolak, "Aku tidak mau, Bu."
Akhirnya, perawat paruh baya itu langsung mengerti dan meninggalkan Selena sendiri.
Kembali, Selena memejamkan mata. Ia berusaha menjernihkan pikirannya, namun yang ada hanya bulir bening yang lolos di ujung netranya. Rasa marah dan takut masih menguasai pikirannya. Ia bertanya-tanya, mengapa laki-laki itu muncul setelah mengacaukan hidupnya habis-habisan?
*****
"Dia tidak mau ditemui."
Perawat paruh baya yang berusaha meyakinkan Selena pun keluar dengan harapan palsu. Selena masih membenci kelakuan dan perkataan Bhima.
"Saya ingin bilang sesuatu sama dia," Bhima menarik napas panjang kasar.
Perawat yang membujuk Selena pun hanya mengangkat bahunya dan berjalan meninggalkan Bhima yang masih ingin masuk ke ruangan Selena.
Setelah berdiam diri cukup lama di depan pintu, Bhima akhirnya mengucapkan sesuatu meskipun dihalangi pintu dan tembok.
Dengan suara sedikit lantang, ia berkata "Selena. Maafin gue. Gue yakin lu pasti denger dari dalam."
Namun, hanya keheningan yang Bhima dapatkan. "Gue tau, bukan lu pelakunya. Tapi pelakunya adalah rekan kerja gue sendiri. Namanya Arvin." Suaranya terdengar bergetar seperti ia menahan supaya air matanya tidak lolos keluar dari ujung matanya.
"Lu boleh muak sama gue, tapi gue janji bakal beresin semua kekacauan yang gue lakuin."
"Pergi, Bhima. Gue nggak butuh lu. Gue nggak butuh siapapun sekarang," akhirnya, ia mendengar respon Selena meskipun tidak sesuai dengan kemauannya.
Mendengar respon itu, Bhima mengepalkan tangannya. Rasanya, ia ingin meninju tembok yang menghalangi nya dengan Selena.
*****
Bhima pun akhirnya menyerah dan meninggalkan klinik tempat Selena dirawat. Setelah pergi, perawat kembali masuk untuk mengecek kondisi Selena setelah didatangi oleh orang yang ternyata adalah penyebab Selena drop.
"Apa yang kamu rasakan sekarang, Selena?"
"Sekarang yang aku rasakan hanya pusing, sus."
Perawat yang mendengar pernyataan Selena tersenyum kecil.
"Memang kerja yang berbau media itu memang capek, Nak. Tapi kamu harus ingat juga kalau kesehatan kamu adalah nomor satu."
"Iya Bu, Selena tau. Tapi, Selena cuma berharap semuanya kembali seperti semula. Bukan keruh seperti ini," lirih Selena.
Disisi lain, ternyata Bhima belum pergi dari klinik tersebut. Ia hanya kembali ke mobilnya dan menyandarkan kepalanya ke kursi mobil.
"Bhi, lu dimana?"
"Klinik, napa?"
"Ha, klinik? Lu sakit apa?"
"Bukan gue, tapi Selena."
"Hati-hati Bhim, jangan terlalu ikut campur dengan Selena. Kalau benar dia, urusannya bakal panjang."
Bhima terdiam dan mengakhiri panggilan telfon dari Dion, sahabat dekatnya.
"Arvin, lu harus tanggung jawab atas semua kekacauan ini," tangannya mengepal di kemudi mobil.
*****
Hari berganti. Selena masih perlu diobservasi untuk diperbolehkan pulang atau tidak.
Anggota di kantornya pun tidak mengunjungi nya selama di klinik. Malah, rumor nya semakin kuat.
"Kamu terlihat seperti orang yang sedang menghadapi masalah besar," ujar perawat.
Selena hanya menggeleng, "Bu. Bahkan aku nggak tau kapan terakhir kali aku hidup tenang," ujarnya lirih.
*****
"Arvin, setelah ini lu ada waktu nggak. Kita perlu bicara."
"Tentang apa. Sepertinya sangat penting."
"Gue tau. Lo adalah dalang dibalik akun penyebar berita palsu tentang gue," kata Bhima dengan nada dingin.
"Kenapa lu bisa nuduh gue dibalik akun itu?" Arvin berusaha tetap santai dengan pertanyaan menusuk Bhima.
"Nggak usah jadi sok polos deh. Gue udah ngumpulin bukti sebelum konfrontasi lu. Gue nggak bodoh." Cibir Bhima pelan.
"Terus, apa urusannya sama gue?"
"Gue mau lu klarifikasi dan berhenti nyebar berita bohong tentang gue."
Arvin kembali mencibir pernyataan Bhima. "Cih, kenapa gue harus peduli sama reputasi lu?"
Ingin rasanya Bhima memukuli Arvin saat itu juga. Namun, ia berusaha menahannya. "Selagi gue masih baik, segera lu klarifikasi dan bersihin nama baik gue," jelasnya, kemudian ia beranjak pergi.
"Ingat, Bhim. Kantor ini punya banyak orang. Mereka menyukai cerita dramatis, terlebih lagi anggota perempuan."
Bhima pun mendengar ancaman itu berusaha sabar untuk tidak menghajar Arvin karena keduanya ribut di tengah-tengah banyak karyawan yang sedang istirahat.
*****
"Kenapa kesini lagi? Kan dia menolak kedatangan mu Nak?"
"Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, Sus," jelasnya.
"Jika itu mau mu Nak. Biarkan dia sendiri yang mau bicara denganmu. Untuk saat ini, biarkan ia menenangkan pikirannya sendiri."
Mendengar penjelasan suster, Bhima terdiam lalu mengangguk mengiyakan pernyataan suster.
Baru kali ini, Bhima merasa utangnya bukan hanya perihal tentang laptop yang terkena tumpahan cokelat kapan hari. Namun, sesuatu yang lebih besar. Ini terkait tentang kepercayaan dan reputasi antara dirinya dan Selena.
*****