Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dihyan dan Centhini, Vivian Masih Ada Dalam Bayangan
Centhini tidak mungkin melewatkan semangat yang membalut wajah adiknya itu.
“Dapat rezeki apa sampai seneng gitu?” Centhini melirik ke arah Dihyan, menggunakan sudut matanya, memandang dengan gaya side eye.
Dihyan mengernyit. “Hah? Senang apanya?” jawabnya.
“Halah, itu cengengesan kayak orang gila. Kalau nggak lagi senang, ya memang benaran gila kowe, Yan.”
“Sok tahu, ah, Mbak. Memangnya orang gila itu cengengesan?”
“Ya nggak juga, ada yang ketawa ketiwi nggak jelas.”
Dihyan ketawa ketiwi.
“Kadang malah tertawa terbahak-bahak.”
Dihyan tertawa terbahak-bahak.
“Wah, beneran gila berarti kamu, Yan.”
Dihyan berusaha menghentikan tawanya. “Nggak lah, Mbak. Aku ketawa karena respon kamu itu, lho.”
“Berarti kamu lagi seneng kalau gitu.”
“Ya, kalau memang lagi seneng terus salah?” cerocos Dihyan.
“Siapa coba yang bilang salah? Ehm …. Jadi bener lagi seneng? Kenapa? Gak biasanya. Selama di Singkawang kamu kebanyakan merengut gitu.”
Dihyan meledak dalam tawa. “Mbak, Mbak … penasaran yaaa …?”
Centhini menjambak rambut Dihyan dan menariknya lumayan keras.
“Ampun, ampun, Mbak …,” seru Dihyan. Lucunya, ia masih tetap tertawa bahkan sampai Centhini melepaskan jambakannya.
Centhini tak bisa tak heran melihat perilaku adiknya tersebut. Kalau Dihyan membuatnya kesal, Centhini akan menyerangnya dengan sebuah jambakan. Tetapi, biasanya pula Dihyan akan cemberut, ikutan kesal dan bersungut-sungut atas hukuman sang kakak perempuannya itu. Sangat berbeda dengan hari ini, dimana semenjak Dihyan selesai mandi, senyuman atau mungkin seringai, tak lepas dari wajahnya.
Bagaimana Centhini tidak penasaran?
Ini sama sekali tidak berarti Centhini tidak ikut senang kalau Dihyan senang, sebaliknya malahan. Ketika Dihyan dibalut rasa bahagia, ia ikut merasakannya dan bersyukur. Dahulu, Dihyan adalah anak yang periang, yang tidak peduli dengan kompleksitas hidup. Namun, ketika sudah menginjak usia remaja, keceriaan itu berkurang. Seakan kenyataan dunia memberikannya banyak tuntutan. Dihyan terlalu sering mempertanyakan keadaan hidupnya. Centhini juga sebenarnya merasakan proses yang sama, tetapi ada satu hal yang membedakan Dihyan dengan dirinya, Dihyan seperti menjadi magnet untuk hal-hal asing nan misterius. Ia menjadi ingin tahu dengan banyak hal, bukan dari segi positif tentunya, tetapi dari segi yang Centhini tak bisa pahami.
Centhini berpikir ini wajar karena Dihyan beranjak dewasa. Namun, yang tidak Centhini ketahui adalah bahwa Dihyan telah mengembangkan syahwatnya. Ketertarikan kepada lawan jenis menguat. Ini jelas wajar, tetapi, di saat yang sama, Dihyan juga dihadapkan dengan berbagai kebingungan. Centhini, kakak angkatnya juga telah tumbuh menjadi seorang gadis yang begitu cantik, begitu mempesona, ramping berkulit putih cerah serta senyuman yang ceria serta penuh semangat. Dihyan memiliki keadaan yang bertubrukan di dalam alam bawah sadarnya: ia harus menghindari sang kakak karena keduanya telah beranjak dewasa dan berlawanan jenis, tetapi di saat yang sama ia membutuhkan sang kakak karena Centhini telah menjadi bagian dari hidupnya yang penting. Beban lain adalah bahwasanya, Dihyan harus menyembunyikan perkembangan syahwatnya terhadap perempuan dari kakak perempuannya. Ia malu bila sampai Centhini tahu itu, meski semuanya normal adanya. Itu sebabnya Dihyan terkesan lebih banyak murung dan sendu, atau lebih banyak menyimpan rahasia.
Centhini tidak sampai mengetahui konsep ini, yang secara teoritis di dalam ilmu psikoanalisis disebut dynamic of sibling relationships: vertical axis.
Namun, kini, Dihyan telah menemukan jalur pelariannya: mimpi.
Centhini kini yang merengut. Seakan-akan Dihyan yang memenangkan pertempuan kakak-adik itu, tidak peduli bahwasanya Centhini melakukan serangan fisik.
“Yowis tho, jangan njebik gitu. Aku cuma malas kalau merengut terus. Kan kamu yang bilang sendiri, Mbak. Sekarang senang kan kalau aku banyak ketawa? Jangan malah dipertanyakan gitu, nanti aku bingung. Pokoknya sing penting Mbak nggak ngejek-ngejek aku terus.”
Keduanya sedang berjalan di teras pertokoan sepanjang jalan Sejahtera, Singkawang. Benjamin dan Maryam juga sedang menikmati kota Singkawang pada malam hari dengan berjalan berdua. Tadinya mereka juga sudah melewati tugu naga yang ikonis, serta gemerlap Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang tertua di Singkawang sekaligus yang paling populer. Setelah berfoto-foto, rombongan ini memutuskan untuk berpisah untuk nanti kembali berkumpul di titik yang sama dimana mereka memarkir mobil.
Centhini mengajak Dihyan berjalan-jalan, mencari cinderamata seperti kaus atau pernak-pernik lainnya.
Jelas kalau selintas dipandang, kakak-adik ini sudah seperti pasangan saja. Seorang laki-laki bule tampan bersanding dengan amoi Singkawang yang cantik dan mempesona. Keduanya sudah biasa dengan ini, dianggap pasangan. Tetapi perbedaannya mungkin karena Dihyan tak pernah merasa bahwa ia sesungguhnya memang semenarik dan setampan itu. Rasa rendah dirinya itu yang menjadi penyakit dan penghambat luar biasa dalam perkembangan kejiwaannya. Tidak heran, Wardhani dan sosok purba serupa kadal serupa manusia bermata banyak di kepala dan rongga mulutnya itu begitu tertarik dengan Dihyan.
“Awas kamu ya kalau aneh-aneh. Jangan pikir aku nggak ngerti tabiat kamu.”
“Eh, nggak usah nuduh gitu lah, Mbak. Kayak nggak seneng aja kalau adiknya senang. Aku senang juga kan biar buat Mbak ikutan tenang, nggak selalu negur aku gara-gara aku murung atau melamun.”
Centhini tersenyum. Jujur, ia memang senang kalau melihat adiknya itu lebih ceria daripada biasanya. Sekarang pun seperti itu, meski rasa penasarannya belum menghasilkan apa-apa, ia belum dipuaskan dengan jawaban Dihyan. Apapun itu, bagaimanapun juga, dia ikut bahagia.
Ada rasa bersalah juga di dalam diri Dihyan karena Centhini tak tahu apa yang terjadi. Apa mau dikata, hal-hal seperti ini memang sungguh pribadi, personal sekali sifatnya. Apa yang mau dituntut dari seorang Centhini kalau-kalau sampai tahu bahwa sekarang ini, di sakunya, Dihyan menyimpan sebuah pusaka misterius berhawa gaib. Keris itu telah membawa Dihyan ke dalam mimpi-mimpi terliarnya. Dihyan semakin yakin bahwa memang keris itu memang bekerja. Ilmu gaib dari keris itulah yang membuatnya mampu berada di dalam mimpi yang terasa nyata, seperti sungguh-sungguh terjadi.
Dihyan masih merasakan dengan jelas bagaimana rasa bibir Vivian yang lembut itu, bagaimana nafas mereka berlomba-lomba ketika berbagi ciuman. Lalu, cembungan dada Vivian yang mengkal itu, memorinya terasa kuat sekali di telapak tangannya. Ia tahu Vivian sungguh mendambakan sentuhan demi sentuhannya kemudian, paling tidak itu yang tergambar di dalam mimpi.
Ia akan melanjutkannya malam ini, walaupun Dihyan belum tahu benar bagaimana cara keris itu bekerja, selain ia hanya membaca mantra, kemudian tidur dan membayangkan gadis yang ingin ia libatkan di dalam pengalaman berhasrat tersebut.
Dihyan juga tak tahu bahwa di seberang sana, gadis yang menjadi targetnya juga merasakan mimpi yang sama. Bahkan seperti terhipnotis, Vivian mengikuti alur cerita mimpi: menjadi sosok yang mendamba Dihyan dan tidak keberatan dengan apapun yang dilakukan oleh laki-laki itu terhadap tubuh, raga dan jiwanya.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next