Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan yang Tak Berujung
Mentari pagi menyingsing di ufuk timur, memancarkan cahayanya yang hangat ke Kota Bandung. Namun, kehangatan mentari itu seolah tak mampu menembus dinginnya suasana yang menyelimuti rumah Pak Prasetyo dan Bu Dinda. Setelah kejadian tragis semalam, keduanya diliputi perasaan cemas, khawatir, dan penyesalan yang mendalam terhadap Dea.
Pagi itu, seperti biasa, Bu Dinda berusaha menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Tangannya gemetar saat membuat nasi goreng kesukaan Dea, berharap putrinya mau keluar kamar dan makan bersama mereka, meskipun hanya sedikit. Ia juga membuatkan kopi pahit untuk Pak Prasetyo, berharap suaminya bisa sedikit tenang dan tidak terus menerus menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi.
"Pak, coba kamu yang ajak Dea sarapan," kata Bu Dinda lirih, sambil menyodorkan secangkir kopi kepada suaminya. "Mungkin kalau kamu yang bicara, dia mau mendengarkan. Dia lebih dekat denganmu."
Pak Prasetyo menghela napas panjang dan menerima cangkir kopi dari istrinya dengan tangan bergetar. Ia merasa bersalah dan bertanggung jawab penuh atas apa yang telah terjadi pada Dea. Ia tahu bahwa putrinya sangat terpukul dengan kenyataan pahit bahwa Eri adalah kakak kandungnya, sebuah kenyataan yang menghancurkan dunianya.
"Baiklah, Bu," jawab Pak Prasetyo dengan nada lesu dan suara serak. "Aku akan mencoba berbicara dengannya, meskipun aku tidak yakin dia mau mendengarkan ku."
Pak Prasetyo berjalan menuju kamar Dea dengan langkah gontai dan berat, seolah memikul beban seluruh dunia di pundaknya. Ia mengetuk pintu kamar Dea dengan lembut, hampir tanpa suara, berharap putrinya mau membukakan pintu dan memberinya kesempatan untuk berbicara.
"Dea, Nak, ini Bapak," panggil Pak Prasetyo dengan suara pelan, nyaris berbisik. "Bapak bawakan sarapan untukmu. Ayo, kita sarapan bersama, ya? Bapak temani."
Namun, tidak ada jawaban dari dalam kamar. Keheningan yang mencekam semakin menambah rasa cemas di hatinya. Pak Prasetyo mengetuk pintu sekali lagi, kali ini dengan lebih keras, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Dea baik-baik saja di dalam.
"Dea, Sayang, kamu di dalam, kan?" panggil Pak Prasetyo lagi, suaranya mulai bergetar karena khawatir. "Buka pintunya, Nak. Bapak khawatir sekali."
Tetap saja, tidak ada jawaban. Pintu itu tetap tertutup rapat, seolah menyembunyikan sebuah rahasia kelam. Pak Prasetyo mulai merasa curiga dan firasat buruk mulai menghantuinya. Ia mencoba memutar gagang pintu, tetapi ternyata pintu terkunci dari dalam.
"Dea, buka pintunya sekarang!" perintah Pak Prasetyo dengan nada cemas dan panik. "Kalau kamu tidak membuka pintu, Bapak akan mendobraknya! Bapak tidak main-main!"
Namun, Dea tetap tidak menjawab. Keheningan yang memekakkan telinga semakin membuat Pak Prasetyo panik dan putus asa. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang sangat buruk telah terjadi.
"Bu, cepat ke sini!" teriak Pak Prasetyo dengan suara gemetar, memanggil istrinya dengan nada putus asa. "Dea tidak membuka pintu! Sepertinya ada sesuatu yang terjadi! Aku takut!"
Bu Dinda berlari menghampiri suaminya dengan wajah pucat pasi, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia ikut panik dan khawatir, membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada putrinya.
"Dobrak saja pintunya, Pak!" kata Bu Dinda dengan nada cemas dan histeris. "Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Dea! Cepat!"
Tanpa berpikir panjang, Pak Prasetyo memundurkan tubuhnya beberapa langkah, mengambil ancang-ancang, lalu menendang pintu kamar Dea dengan keras sekuat tenaga. Pintu itu tidak langsung terbuka, tetapi engselnya mulai berderit dan kayunya retak. Pak Prasetyo kembali menendang pintu itu dengan lebih keras, melampiaskan semua rasa frustrasi dan ketakutannya, hingga akhirnya pintu itu jebol dan terbuka dengan kasar, menimbulkan suara yang memekakkan telinga.
Pak Prasetyo dan Bu Dinda terhuyung masuk ke dalam kamar Dea, dan pemandangan yang menyambut mereka membuat jantung mereka serasa berhenti berdetak, napas mereka tercekat di tenggorokan. Dunia mereka runtuh seketika.
Kamar itu remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu tidur yang redup. Tirai jendela tertutup rapat, menghalangi cahaya mentari pagi masuk, membuat suasana semakin suram dan mencekam. Di lantai, tergeletak tubuh Dea yang tak bergerak, dengan posisi yang mengenaskan. Botol pembersih keramik tergeletak di dekatnya, dan aroma kaporit yang menyengat menusuk hidung, memenuhi seluruh ruangan.
Pak Prasetyo dan Bu Dinda berlari menghampiri Dea dengan panik dan histeris. Pak Prasetyo berlutut di samping putrinya, mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan harapan Dea akan bangun dan semua ini hanyalah mimpi buruk belaka.
"Dea, Nak, bangun! Ini Bapak!" teriak Pak Prasetyo dengan suara bergetar dan air mata yang sudah membanjiri pipinya. "Jangan bercanda seperti ini, Sayang! Bangun, Nak, Bapak mohon!"
Namun, Dea tetap tidak bergerak. Matanya terpejam rapat, wajahnya pucat pasi seperti mayat, dan tubuhnya terasa dingin. Pak Prasetyo memeriksa denyut nadinya dengan tangan gemetar, tetapi ia tidak merasakan apa pun. Tidak ada kehidupan di sana.
"Bu Dinda...!" ucap Pak Prasetyo dengan nada lirih dan putus asa, air mata semakin deras membasahi pipinya. "Dea... Dea sudah tidak ada... Dia sudah pergi meninggalkan kita...!"
Bu Dinda menjerit histeris dan langsung memeluk tubuh putrinya erat-erat, seolah tidak ingin melepaskannya. Ia menangis sejadi-jadinya, meratapi kepergian Dea yang begitu mendadak dan tragis, sebuah kehilangan yang tak terbayangkan.
"Tidak! Ini tidak mungkin!" teriak Bu Dinda sambil mengguncang-guncangkan tubuh Dea dengan histeris, menolak kenyataan yang ada di depan matanya. "Dea, bangun, Sayang! Jangan tinggalkan Mama! Mama mohon! Jangan lakukan ini pada Mama!"
Pak Prasetyo memeluk istrinya erat-erat, mencoba menenangkan Bu Dinda yang sedang dilanda kesedihan yang mendalam dan histeris. Namun, ia sendiri pun tidak bisa menahan air matanya. Ia merasa bersalah dan bertanggung jawab atas kematian putrinya. Ia tahu bahwa Dea sangat terpukul dengan kenyataan bahwa Eri adalah kakaknya, dan ia merasa gagal sebagai seorang ayah karena tidak bisa melindungi putrinya dari penderitaan dan keputusasaan.
Jeritan tangis Bu Dinda memecah keheningan pagi di rumah itu, menggema ke seluruh penjuru ruangan. Para tetangga yang mendengar teriakan histeris itu bergegas datang untuk melihat apa yang terjadi, dipenuhi rasa penasaran dan khawatir. Mereka terkejut dan sedih melihat pemandangan tragis di kamar Dea, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Kabar kematian Dea dengan cepat menyebar ke seluruh lingkungan tempat tinggal mereka. Semua orang yang mengenal Dea merasa terkejut, sedih, dan berduka cita. Dea dikenal sebagai gadis yang baik, ceria, ramah, dan selalu membantu orang lain. Tidak ada yang menyangka bahwa ia akan mengakhiri hidupnya dengan cara yang begitu tragis dan menyakitkan.
Rumah Pak Prasetyo dan Bu Dinda pun berubah menjadi rumah duka, dipenuhi dengan kesedihan dan air mata. Para pelayat berdatangan untuk menyampaikan belasungkawa dan memberikan dukungan moral kepada keluarga yang ditinggalkan, mencoba menghibur mereka dalam kesedihan yang mendalam. Karangan bunga ucapan duka cita berjajar di depan rumah, memenuhi halaman hingga meluber ke jalan, sebagai tanda penghormatan terakhir kepada Dea. Suasana duka menyelimuti seluruh lingkungan, seolah semua orang merasakan kesedihan yang mendalam atas kepergian Dea.
Di tengah kerumunan pelayat, Bu Dinda duduk terpaku di samping jenazah Dea yang terbaring kaku di dalam peti, memandangi wajahnya dengan tatapan kosong. Matanya sembab dan merah karena terlalu banyak menangis, air mata terus mengalir tanpa henti. Ia terus memandangi wajah putrinya yang tampak begitu damai, seolah tidak merasakan sakit atau penderitaan lagi. Ia menyesal karena tidak bisa menjadi ibu yang baik bagi Dea, menyesal karena tidak bisa memahami apa yang dirasakan oleh putrinya, dan menyesal karena tidak bisa mencegah Dea melakukan tindakan yang begitu nekat dan tragis.
Pak Prasetyo berdiri di dekat peti jenazah, menyalami para pelayat yang datang dengan senyum yang dipaksakan. Ia berusaha tegar dan kuat di hadapan para tamu, tetapi hatinya hancur berkeping-keping, dipenuhi dengan penyesalan dan rasa bersalah yang tak terhingga. Ia merasa bersalah karena telah meninggalkan Bu Henny dan Eri demi wanita lain, sebuah keputusan yang menghantuinya seumur hidup. Ia tahu bahwa keputusannya di masa lalu telah membawa dampak yang begitu besar dan tragis bagi keluarganya, menghancurkan kebahagiaan mereka.
*********