NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Guru Baru

Istri Rahasia Guru Baru

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cinta Seiring Waktu / Idola sekolah / Pernikahan rahasia
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.

Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.

Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?


Baca selengkapnya hanya di NovelToon

IG: Ijahkhadijah92

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pacar Halal

Emily memandangi layar ponselnya dengan dahi mengernyit. Ia baru saja selesai makan malam dan kembali ke kamar atas permintaan Haidar. Suaminya itu tidak ingin Emily mendengar sindiran-sindiran halus yang keluar dari bibir beberapa keluarga yang masih bertahan di ruang tamu.

Tapi isi pesan itu lebih mengusik pikirannya daripada sindiran siapa pun.

‘Kenapa enggak boleh ke rumah yang dulu? Kenapa kirim alamat baru?’ pikirnya.

Dengan hati tak tenang, ia menekan tombol hijau dan menghubungi Indira supaya lebih jelas.

“Halo, Bunda,” ucap Emily pelan.

“Halo, Sayang,” jawab Indira lembut di seberang sana.

“Maksud Bunda apa ya, pesan tadi?” tanya Emily, langsung ke inti.

Ada jeda. Suara napas Indira terdengar. Seperti sedang menimbang-nimbang jawaban.

“Kapan-kapan aja, kalau di rumah Nak Haidar sudah enggak banyak tamu, kalian ke sini, ya. Biar Bunda jelasin langsung,” kata Indira akhirnya.

“Perasaanku enggak enak, Bunda. Ada apa? Bukankah rumah itu…” suara Emily makin lirih, seperti tidak berani menyelesaikan kalimatnya.

“Enggak apa-apa, Sayang,” potong Indira cepat. Seolah menyembunyikan sesuatu. “Kamu tahu rumah yang dekat mall itu kan?” Rumah itu adalah rumah yang dibeli oleh Rakha beberapa tahun lalu. Tapi rumah itu belum di tempati karena menunggu Emily lulus sekolah supaya Emily tidak kejauhan saat sekolah.

“Tapi itu jauh dari sekolah, Bunda. Lagipula… itu rumah yang dulu tempat kita kumpul. Rumah kita…”

“Iya, tapi kamu kan sekarang tinggal di rumah suamimu…” jawab Indira, suaranya mulai terdengar berat.

“Ih, Bunda,” suara Emily berubah. Seperti ada kesedihan tapi ia bungkus dengan rengekan manja. “Bunda tega banget sama aku…”

Indira terdiam beberapa detik. “Nak… maafkan kami. Bunda juga enggak tega. Tapi harus bagaimana lagi, Sayang? Kasihan Papa Dian…”

Emily menahan isaknya. Tapi saat itu, kekesalannya memuncak.

“Lagian kenapa kalian asal jodoh-jodohin aku? Harusnya dijodohin sama Bang Razka aja sekalian!” cetusnya, lebih keras dari yang ia maksudkan.

Indira membelalak. “Dek, kamu aneh aja. Bang Razka juga bentar lagi mau nikah.”

Razka sendiri masih kuliah di luar kota dan dia jarang pulang.

“Ya udah! Jangan jodohin aku sama siapa-siapa lagi!” jawab Emily ketus. Lalu hening. Tak lama kemudian terdengar isaknya, meski ia buru-buru menutup mulut agar tidak terdengar jelas.

“Ayah ke mana?” tanyanya dengan suara parau.

“Ayah masih di kantor, Sayang. Jangan nangis, ya. Bunda yakin Nak Haidar orang baik.”

“Jam segini ayah masih di kantor?”

“Sebentar lagi pulang,” jawab Indira pelan, lalu menutup telepon karena mendengar bunyi telepon rumah yang berdering di seberang sana.

Emily menurunkan ponselnya, lalu menekuk lutut di atas ranjang. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba meredam tangis yang sejak tadi ditahannya. Tapi gagal. Air mata jatuh juga.

Pintu kamar tiba-tiba diketuk.

Tok. Tok. Tok.

“Emily,” suara Haidar terdengar, lembut dan pelan.

Emily buru-buru menyeka wajahnya. “Iya…” jawabnya cepat, namun suaranya tetap terdengar serak.

Pintu terbuka perlahan. Haidar masuk dan menutup pintu di belakangnya. Pandangannya langsung menangkap mata Emily yang sedikit sembab.

“Kamu kenapa?” tanyanya pelan, menghampiri.

Emily menggeleng. “Enggak apa-apa.”

“Kamu habis teleponan sama Bunda, ya?”

Emily mengangguk.

“Aku denger dikit dari obrolan tadi di bawah. Kayaknya… rumah kalian yang lama udah enggak dipakai lagi, ya?” tanya Haidar hati-hati. Haidar sendiri belum tahu menahu tentang itu. Tapi karena dari saudara papanya itu banyak yang berbisnis dengan Rakha, otomatis mereka sedikit tahu dengan apa yang terjadi. Tapi Haidar cuma bertanya tentang rumah saja.

Emily menunduk. “Katanya… bukan rumah kami lagi…” gumamnya.

Haidar duduk di samping Emily, lalu meraih tangannya.

“Kamu enggak sendiri sekarang.”

Emily menoleh padanya. “Tapi kenapa semuanya harus secepat ini? Rumah, keluarga, bahkan hidupku sekarang… seperti semuanya berubah dalam semalam…” Emily meluapkan semua perasaan yang menumpuk di dalam hatinya selama ini.

Haidar memeluknya. “Iya, semuanya berubah. Tapi kamu masih kamu. Dan kamu enggak perlu menanggung semuanya sendiri. Ada aku.” jawab Haidar.

Emily terisak dalam pelukan Haidar. Kali ini ia tidak menahan tangisnya. Ia tahu, mungkin ia harus menjadi dewasa lebih cepat dari seharusnya. Tapi setidaknya, ada seseorang yang memilih tetap di sisinya saat semuanya terasa runtuh.

Dan untuk malam itu, pelukan Haidar cukup untuk menenangkan badai di hatinya.

***

Keesokan harinya.

Pagi masih menyisakan embun saat Emily mengenakan seragam sekolahnya. Ia mengambil jaket hitam kesayangannya dan menyampirkan tas selempang di bahu. Matanya sempat menangkap sosok Haidar di ruang makan, tapi ia pura-pura tidak melihat.

“Saya duluan ya,” ucapnya singkat.

Haidar yang baru selesai menyeduh teh menoleh. “Enggak bareng?”

Emily menggeleng. “Saya naik motor aja. Lebih cepat.”

Haidar ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya hanya mengangguk. “Hati-hati.”

Emily tidak menjawab. Ia langsung pergi.

Sengaja tidak menunggu Haidar karena tadi dia memaksa untuk berangkat bersama, Emily tidak mau.

Di sekolah.

Langkah Emily memasuki kelasnya seperti biasa: cepat, percaya diri, dan penuh gaya. Seolah tidak ada yang berubah. Seolah kejadian kemarin sudah berlalu.

Teman-teman sekelasnya memperhatikan, namun perlahan kembali bersikap seperti biasa. Mereka tersenyum padanya. Beberapa menyapa, bahkan sempat bercanda ringan.

Emily tahu, sebagian besar dari mereka tidak benar-benar percaya bahwa dirinya bersalah dalam skandal keluarganya. Dan ia bersyukur untuk itu.

Tapi kedamaian itu tidak bertahan lama.

Saat jam istirahat, seorang siswi dari kelas lain muncul di ambang pintu: Disa. Siapa lagi yang suma mengusiknya kalau bukan Disa.

Dengan senyum menyebalkan dan langkah congkak, ia masuk ke kelas. Suaranya lantang seperti biasa.

“Kalian tahu gak,” ucap Disa sambil bersandar santai di meja depan, “kalau si Emily, Lily, si putri di kelas kalian ini sekarang udah enggak punya apa-apa?”

Semua mata langsung tertuju padanya.

“Perusahaan keluarganya, rumahnya, aset-asetnya, semuanya udah disita sama Opa aku. Hahaha.” Ia tertawa puas, seperti sedang menonton sinetron favoritnya.

Beberapa siswa melongo. Beberapa saling berbisik.

Tapi Emily hanya duduk tenang. Ia menatap Disa seperti menatap kaca jendela yang berdebu. Tidak penting. Tapi ada sedikit yang mengusik hatinya, ia teringat dengan pesan Indira semalam.

“Disa,” suara Rasya, ketua kelas, memotong suasana. “Kamu tuh saudaranya sendiri, kan? Kenapa kamu malah begini?”

“Sekarang bukan saudara gue lagi!” sahut Disa cepat. “Enak aja. Dia bikin malu keluarga gue. Perusahaan Opa jadi anjlok gara-gara kesalahannya. Dan yang paling parah, gue jadi bahan gosip!”

“Menurut gue, sih… karma,” celetuk Evan dari sudut kelas.

Semua langsung menoleh. Evan hanya cengengesan sambil mengangkat dua jarinya membentuk huruf V.

“Emily! Sini!” tiba-tiba suara bariton terdengar dari arah pintu.

Semuanya menoleh.

Di sana, berdiri Haidar dengan seragam sekolahnya yang sedikit kusut karena terburu-buru. Matanya menatap lekat ke arah Emily. Dan itu membuat teman satu kelasnya bertanya-tanya.

Emily sempat menahan napas. Tapi ia berdiri dengan santai, menaruh bukunya ke dalam tas, lalu melangkah keluar kelas.

Sesaat sebelum melewati Disa, ia berhenti sejenak, menatap gadis itu tajam.

“Kalau kamu pikir aku jatuh, kamu salah. Aku cuma lagi mundur buat ambil ancang-ancang.”

Setelah itu ia pergi, meninggalkan Disa yang mendengus kesal dan teman-teman sekelas yang terdiam dalam kekaguman.

***

Emily berjalan cepat mengikuti Haidar yang menarik tangannya. Namun, saat mereka hendak menuju kantin, Emily menghentikan langkahnya.

“Enggak usah ke kantin, deh. Nanti saya digosipin lagi,” ucapnya sambil mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Haidar.

Haidar menoleh dengan alis terangkat. “Gosip itu makanan gratis. Kamu tinggal pilih, ditelan atau dibuang.”

“Bapak itu udah lupa ingatan, ya?” dengus Emily kesal. “Saya kan udah kasih syarat waktu itu kalau mau nikah sama saya.”

Haidar menatapnya, masih dengan wajah tenang. “Syarat yang mana? Yang kamu tulis waktu marah-marah itu?”

Emily meninju pelan lengan Haidar. “Lagian, reputasi kamu nanti bisa anjlok sebagai guru! Gimana sih...”

Haidar mengangkat bahu. “Semua guru udah tahu.”

Emily membelalak, nyaris tersedak udara. “Kamu—kamu bilang ke semua guru?”

“Bukan aku. Ibu Kepala Sekolah yang umumkan.” Haidar melirik Emily dengan senyum tipis. “Katanya, biar gak ada yang salah paham kalau nanti saya bawa-bawa kamu ke acara guru.”

Emily menunjuk Haidar dengan wajah campuran antara kagum dan emosi. “Kamu... keterlaluan!”

Haidar tertawa pelan lalu kembali menuntun tangan Emily. “Ayo, lapar, kan?”

“Pak! Bapak itu contoh guru! Kenapa malah pacaran di sekolah?” protes Emily lagi sambil menyeret langkah.

“Pacaran halal,” jawab Haidar datar.

“Ish! Bapak ini enggak ngerti!” Emily semakin gemas, wajahnya sudah memerah sendiri.

Mereka tiba di kantin. Haidar menarik kursi untuk Emily. Tapi sebelum Emily duduk, Haidar berbisik dekat telinganya, “Duduk. Dan jangan panggil saya bapak kalau sedang berdua. Panggil saya Mas...”

“Uhuk!” Emily spontan terbatuk. Matanya membulat sempurna, pipinya merona seperti udang rebus.

Sementara Haidar duduk santai, memesan dua es teh manis.

“Masak iya... aku manggil kamu Mas di sekolah? Huh, gila aja!” gumam Emily sendiri sambil duduk dengan malas.

Haidar mencondongkan badan, berbisik lagi. “Kalau di rumah panggil apa?”

Emily langsung menunduk, pura-pura sibuk melihat meja. Tapi tak bisa menahan senyumnya yang mulai muncul di ujung bibir.

***

"Hey! Kalian tahu, gak, kalau Emily sama guru baru itu lagi pacaran di sekolah?"

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!