NovelToon NovelToon
CINTA ANTARA DUA AGAMA

CINTA ANTARA DUA AGAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:404
Nilai: 5
Nama Author: MUTMAINNAH Innah

Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 10

Aku tahu, kamulah pemilik Cafe itu," ucapku sambil menikmati ekspresinya.

"Ayolah, tahu dari mana?" Dia mengulangi pertanyaanya.

"Ketika aku menitipkan buku itu pada satpam, beliau memberitahuku," paparku.

Aku dan dia sama-sama tersenyum lebar.

Aku istgfar berkali-kali di dalam hati setiap mengagumi senyuman yang menghiasai ketampanannya itu. 'Ini baru manusia biasa, seperti apa ketampanan Nabi Yusuf, ya Rabb?' gumamku.

"Dan kamu memilih untuk pura-pura nggak tahu?" tanyanya masih dalam senyum yang sama.

"Bukan, aku hanya berusaha untuk tidak mau tahu tentangmu. Ada rasa sakit dan kecewa yang selalu kubawa. Kamu tahu 'kan luka itu dari siapa? Jadi, aku benar-benar ingin menutup hati. Sekalipun kadang aku berfikir mau sampai kapan?" mataku menerawang seiring hilangnya senyum dibibirku.

"Sampai tuhan mempertemukan kita,"sahutnya.

Untuk kesekian kalinya dia membuatku terbang melayang. 'Ya Allah, apakah memang dia yang kau tuliskan untukku di lauhul mahfudz? Tetapi kenapa harus dengan perbedaan ini?' batinku.

"Aku masih punya luka dari masa lalu, apa kamu bisa menerimanya?" tanyaku lagi.

"Kita punya luka yang sama. Aku yakin kita bisa saling mengobati, dan kita akan pulih bersama. Apakah kamu juga yakin itu?"

tanyanya sambil menatapku dalam.

"Ya, aku juga yakin. Aku hanya nggak yakin jika kamu bersedia memeluk islam. Itu saja," tuturku.

"Jika orang tuamu menerimaku, maka aku akan melakukan itu. Kita akan menikah dengan agama islam." Dia berusaha meyakinkanku.

Ucapannya benar-benar menyejukkan hati. Aku akan mencari waktu untuk mempertemukannya dengan umi dan abi.

"Aku akan bicarakan pada orang tuaku secepatnya. Tapi, bagaimana dengan orang tuamu?" tanyaku khawatir.

Aku nggak begitu yakin orang tuanya bisa melepaskan anaknya begitu saja dari agama yang sudah dari kecil dianutnya.

"Orang tuaku sudah meninggal sejak aku masih SMP. Sejak itu, aku ikut dengan kakak hingga dia menikah." Wajahnya berubah murung. Aku bisa merasakan kesedihan yang kini menghinggapinya. Kehilangan dua sandaran hidup adalah kenyataan terpahit yang dialami sang anak. Apalagi dia nggak hanya kehilangan satu saja, tapi keduanya. "Sekarang, aku sendiri, sesekali aku mengunjungi kakak ke sini. Tapi kali ini, tujuanku yang sebenarnya bukan itu," dia tersenyum kecil sambil melirikku. Sepertinya dia ingin mengusir rasa sedihnya.

"Lalu?" tanyaku meskipun aku sudah tahu jawabannya. Aku sengaja tidak menanyakan lagi perihal orang tuanya karna ketakutanku akan melukainya.

"Untuk menemuimu," sambungnya dengan senyuman favoritku.

Kami lalu menikmati minuman yang entah kapan diletakkan pramusaji di meja ini. Aku benar-benar sudah di mabuk cinta hingga lupa dengan hal-hal di sekitarku, bahkan lupa dengan nasehat umi dan abi.

"Jadi, kapan aku dan orang tuamu bisa bertemu?" tanyanya. Sepertinya dia juga sudah tidak sabar dengan kelanjutan hubungan ini.

"Secepatnya," jawabku mantap.

Aku benar-benar ingin memohon pada umi dan abi agar merestui hubungan ini. Nggak bisa dipungkiri lagi, aku benar-benar menyukainya.

"Baiklah, aku akan menyiapkan diri," tuturnya.

Langit indah di atas sana jadi saksi dalamnya cinta ini. Andai angin bisa bicara pasti sudah disampaikannya keseriusan ini pada umi dan abi. Matahari dan awan juga menyaksikan dari sana. Sepertinya semesta turut bahagia.

'Umi dan abi, please! Terima Jasson jadi menantumu,' gumamku sambil tersenyum kecil. Membayangkan aku, umi dan abi berada di satu ruangan bersama Jasson. Aku jadi

tarhanuut dalam bhowolonku condiviterhanyut dalam khayalanku sendiri.

"Tetapi, kakakmu sudah pasti tidak setuju!" ujarku kemudian. Tiba-tiba saja wajah ketus kakaknya hadir menakutiku.

Komunikasiku dengan kakaknya ditelepon saat itu pun turut muncul menambah keraguanku pada kakaknya.

"Iya, aku sudah siap dengan resiko

terburuk sekalipun," jawabnya mantap.

"Tapi aku nggak ingin ada perpecahan.

Aku ingin kita semua baik-baik saja," lirihku.

Aku nggak akan bahagia jika demi bisa bersamaku, dia malah jadi kehilangan kakaknya. Yang tentu saja sudah menjadi pengganti orang tua baginya.

"Nggak, kamu jangan pikirkan itu.

Kakakku sudah berumah tangga, dia sudah punya kehidupan sendiri. Aku pun menginginkan itu. Aku sudah dewasa dan sudah berhak menentukan jalan hidupku. Dalam keluargaku juga ada yang beragama

Islam. Tugasku meyakinkan kakakku dan

kamu meyakinkan orang tuamu," paparnya.

Nggak mudah. Kini aku dan dia punya tugas sendiri-sendiri untuk hubungan ini.

"Allahuakbar, Allahuakbar," terdengar lantang suara azan dari masjid yang berada di seberang cafe ini.

Kami terdiam sesaat. Aku memperhatikannya beberapa kali. Terlihat dia termenung dengan mata menerawang ke arah laut luas.

"Setiap mendengar azan hatiku selalu bergetar," katanya setelah azan selesai berkumandang. Aku tersentak mendengar pengakuannya.

"Jasson." Aku spontan melihat ke arahnya. "Apakah Allah memanggil hatimu?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

"Sepertinya begitu," sahutnya.

saat. Kami tersenyum dalam dian beberapa

"Kamu ingin sholat dulu?" tanyanya.

"Iya, tetapi kamu bagaimana?" tanyaku.

"Yuk, aku temani ke sana," ajaknya lalu berdiri.

Aku setuju. Meyakinkan umi dan abi juga Maksudnya?" tanyaku sambil berdiri lalu menengadah menjangkau bola matanya.

"Aku akan tunggu di taman," sahutnya.

Aku lalu mengekori tubuh jangkungnya yang menuju kasir untuk membayar makanan. Selanjutnya, kami keluar cafe itu dan menyeberang ke masjid. Dia mengarahkan salah satu tangannya ke arahku namun tidak menyentuhnya. Kemudian dia meminta kendraan di sampingnya untuk berhenti dengan tangan yang satunya lagi.

Kami menyeberang setelah mobil memelankan lajunya.

"Kamu tunggu di sini, ya," pintaku setelah tiba di taman masjid megah itu.

Aku lalu turun ke lantai bawah tanah masjid ini yang menjadi toilet dan tempat berwudu. Setelah berwudu mataku sempat kembali mencarinya. Dia terlihat tengah asyik memainkan ponselnya. Setelah memastikan dia masih ada di sana, aku segera masuk masjid untuk menunaikan sholat.

Selesai sholat, kuminta pada Rab-ku agar menjodohkanku dengan calon mualaf itu. Niat yang sungguh mulia. "Kabulkanlah ya, Allah. Belum pernah hamba seserius ini. Belum pernah ada orang yang bisa membuka hati ini lagi setelah sakitnya luka di masa lalu yang selalu menghantuiku. Jadikan dia imamku, Tuhan," pintaku dalam tangisku ang tiba-tiba meledak.

Aku menyeka air mata dan membuka mukena. Semakin sering kudoakan dia, semakin dalam juga cinta ini padanya.

Selesai beribadah aku cepat-cepat keluar masjid lalu kembali menghampirinya. Dia masih sibuk dengan ponselnya hingga tidak sadar dengan kedatanganku.

"Yuk," ajakku entah ke mana.

"Eh, udah selesai?" tanyanya sambil menyimpan ponsel ke saku celananya.

"Udah," sahutku dan mulai melangkah lagi bersamanya.

"Ke mana lagi kita?" tanyanya.

"Bagaimana jika kita ke kampusku?" tanyaku. "Masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di sana," sambungku.

Entah apa-apaan aku ini. Dia tadi hanya meminta waktuku sebentar. Harusnya pertemuan ini sudah selesai. Tapi aku enggan untuk memintanya pulang. Malah aku ingin mengajaknya ke kampus.

Sedang berjalan menuju parkiran cafe, ponselnya berdering. Kami berdua serentak menghentikan langkah karna sebentar lagi kami akan menyebrang.

Setelah melihat nama orang yang menelepon, raut wajahnya berubah dan menatapku seperti perasaan nggak enak atau merasa bersalah.

"Kenapa? Siapa yang menelepon?" tanyaku khawatir. Jangan sampai kakaknya yang menelepon karna kebetulan juga ada di tempat ini. aku benar-benar belum siap bertemu dengannya lagi.

Dia tidak menjawab dan masih dalam pandangan yang sama dengan sebelumnya. Tangannya masih memegangi ponsel yang sedang berdering. Sesekali matanya menatap ke ponsel lalu beralih ke bola mataku." Telepon dari kakak?" tanyaku lagi.

"Bukan," sahutnya ragu.

"Boleh," sahutnya.Lalu siapa?" Aku mengerutkan dahi.

"Mantanku," sahutnya.

Srrrr darahku berdesir. Mantan? Dia masih berhubungan dengan mantan? Hubungan ini baru saja serius. Masalah satu belum selesai, apakah akan ada masalah baru lagi dalam kisah ini?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!