Jesika terpaksa menggantikan adik angkatnya untuk menikah dengan pria kaya, tapi mentalnya sakit. Namun, keterpaksaan itu membawa Jesi tahu akan seberapa tersiksanya kehidupan Jonathan dengan gangguan mental yang dia alami.
Mampukah Jesi menyembuhkan sakit mental sang suami? Lalu, bagaimana jika setelah sakit mental itu sembuh? Akankah Jona punya perasaan pada Jesi yang sudah menyembuhkannya? Atau, malah sebaliknya? Melupakan Jesi dan memilih menjauh. Temukan jawabannya di sini! Di Suamiku Sakit Mental.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Episode 30
Sementara itu, mobil yang Jona dan Jesi tumpangi kini sudah tiba ke tempat yang ingin mereka tuju. Sebuah tempat pemakaman papa angkat Jesi yang rutin mereka datangi di hari-hari tertentu.
"Kita sudah sampai Jes?" tanya Jona seperti anak kecil yang bertanya pada mamanya saat tiba ke suatu tempat.
"Iya. Kita sudah tiba. Di sini tempat papaku berada. Ayo! Mereka pasti sudah tiba di sini. Aku lihat mobilnya tadi," ucap Jesi sambil memegang tangan Jona dengan erat.
"Mereka?" tanya Jona agak bingung.
"Siapa mereka?" ucap Jona lagi.
Namun, Jesi tidak mendengarkan pertanyaan itu. Dia yang sudah tidak sabar untuk masuk ke dalam, langsung saja menarik tangan Jona dengan cepat.
Saat perjalanan menuju makan sang papa angkat, Jesi langsung berpas-pasan dengan mama, adik, juga kakak angkatnya. Tentu saja mereka langsung menghentikan langkah kaki mereka masing-masing karena pertemuan itu.
"Kalian ... sudah selesai?" tanya Jesi memulai obrolan diantara mereka semua.
"Ya. Kami sudah siap. Seperti yang kamu lihat," ucap Mila dengan nada cuek.
"Kenapa kalian tidak menunggu aku datang? Bukankah biasanya, kita akan berdoa bersama-sama setiap kali datang ke sini?" Jesi terlihat sangat sedih karena ditinggalkan.
"Haruskah kami tunggu kamu, Jesi? Kamu itu sudah tidak tinggal satu rumah dengan kami lagi sekarang. Masa iya kami harus nungguin kamu yang tidak tahu pasti datang atau nggak nya." Kini giliran Emily yang berucap.
"Tapi ... aku .... "
Jesika semakin sedih saja. Saat itu, Jaka yang berusaha diam sejak tadi, langsung tidak bisa menahan diri. Dia ingin menghibur adik angkatnya yang kini sedang terlihat cukup sedih.
Tapi sayang sekali. Kini, di sisi Jesi sudah ada pangeran tampan yang keberadaannya sedikit tidak dihiraukan sebelumnya. Karena sibuk dengan kekesalan hati masing-masing, mereka mengabaikan Jonathan yang ada di sekitar Jesi.
Tapi, perhatian mereka langsung terpusat kan pada Jona saat Jona berusaha menenangkan Jesika. Yang paling tidak bisa mengalihkan pandangan dari Jona adalah Mila.
"Ka --kamu ... Jonathan? Jonathan Wijaya?" tanya Mila sambil beranjak semakin mendekat ke arah Jona.
"Siapa aku bukan urusan kamu. Karena itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kamu." Jona bicara dengan nada kesal.
Selanjutnya, Jona langsung menarik tangan Jesi agar segera menjauh dari orang yang Jona anggap tidak penting. Meskipun mereka adalah keluarga Jesi sebelumnya, tapi Jona bisa melihat, mereka tidak memperlakukan Jesi dengan baik.
"Ayo, Jes! Kita harus pergi sekarang. Kamu bisa melakukannya. Karena sekarang, kamu tidak sendiri. Ada aku di sampingmu," ucap Jonathan mantap.
Jesi tidak menjawab. Tapi dia melakukan apa yang Jonathan katakan. Beranjak meninggalkan keluarga angkat yang sama sekali tidak mengharapkan dirinya lagi.
Sementara itu, Mila yang melihat Jonathan, tentu saja tidak ingin melepaskan pria tampan juga kaya tersebut dari pandangannya. Dia ingin menahan Jona agar tetap berada di sekitar dia.
Tapi sayangnya, Emily tidak menginginkan hal itu. Emily tahu kalau Mila tertarik pada Jona. Dan Emily juga tahu, anak itu pasti akan bersikap gila jika dia dibiarkan melakukan apa yang dia inginkan. Jadi, Emily langsung menarik tangan Mila supaya segera membatalkan niat untuk mendekati Jona.
"Mama apa-apaan sih, Ma? Itu Jonathan, Ma. Jonathan Wijaya."
"Ya Tuhan ... tidak. Kenapa Jonathan yang dikabarkan sakit mental, sekarang malah baik-baik saja? Dia baik-baik saja dan sekarang sedang bersama dengan Jesika. Aduh .... "
Mila terlihat seperti orang yang sedang kesurupan. Munda-mandir di sekitar mobil dengan ekspresi tak percaya juga kaget dengan apa yang baru saja terjadi.
"Mila! Masuk!" Emily memanggil Mila dengan lantang.
"Tidak, Ma. Aku tidak ingin masuk sekarang. Aku ingin menunggu di sini saja. Aku ingin bertemu dengan Jonathan lagi."
"Ma. Anak mama ini sudah gila." Jaka berucap dengan nada kesal atas apa yang terjadi pada adiknya.
Ucapan dari Jaka barusan semakin menambah rasa kesal di hati Emily. "Diam, Jaka! Kamu jangan ikut campur. Kamu tidak akan mengurangi masalah. Tapi malah akan menambah masalah."
"Tapi, Ma."
"Aku bilang diam! Apa kamu tidak mengerti?"
Jaka langsung memasang wajah kesal. Dia ingin membuat kesal hati Mila, tapi sayangnya tidak bisa. Kini, yang bisa dia lakukan hanyalah diam. Mengikuti apa yang mamanya katakan.
Meski sudah dewasa, dia masih tidak bisa membantah apa yang mamanya katakan. Mamanya terlalu tegas, sampai dia sendiri menjadi takut untuk membuat onar.
Sementara itu, Mila yang merasa dapat pembelaan dari mamanya, tentu saja sangat bahagia. Dia langsung mengejek Jaka dari luar. Mencibir Jaka dengan menjulur lidah seperti anak-anak.
"Uwe ... kasihan deh kamu, kak Jaka. Sok kuat, padahal aku tahu, kamu juga sedang kesal ketika melihat Jesika bareng dengan Jonathan. Iya, kan?"