"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Ke Rumah Sakit
Ben terkejut saat mendapat laporan dari Ramos. Dia saat ini masih berada di Sidney untuk mengurus beberapa urusan pekerjaan. Rencananya setelah menyelesaikan pekerjaannya dia akan menemui anak-anaknya dan juga Giani
"Kau sudah menyelidikinya?"
"Belum, Tuan. Akan tetapi, aku sudah mengabari nona Giani dan sepertinya dia sangat syok."
"Baiklah, aku akan segera pulang."
Ben mengusap wajahnya kasar. Dia kecolongan. harusnya dia tempatkan beberapa pengawal di sana agar bisa menjaga ayah Giani itu.
Ben segera menghubungi anak buahnya untuk menyiapkan pesawat agar dia bisa segera kembali ke Melbourne. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Giani saat ini. Pasti wanita itu merasa sangat sedih dan hancur.
Seperti halnya Ben, Giani langsung mengajak anak-anaknya untuk terbang ke Melbourne pagi itu juga. Giani sudah menjelaskan pada Martha dan juga Thomas tentang ayahnya. Jack dan Jarret sangat terkejut waktu mendengarnya.
"Apa kau baik-baik saja, Giani? Kau tampak pucat."
"Aku baik-baik saja, Elena. Maaf aku harus merepotkan dirimu.
Di bandara Ben melihat Giani dan juga kedua putranya. Sebelumnya dia sudah menanyakan pada Elena tentang kondisi Giani. Ben langsung mendekat ke arah Giani.
"Daddy!" Jack yang pertama melihat Ben langsung memeluk kaki Ben. Ben tersenyum lembut dan mengusap kepala Jack. Dengan kekuatannya Ben mengangkat Jack dan mengajaknya mendekati Giani yang sedang duduk sembari menutup wajahnya.
Ben tidak tahu harus mengucapkan apa pada Giani. Dia ingin menghibur Giani, tapi dirinya bingung harus memulai dari mana.
"Daddy, apa daddy tahu jika kakek meninggal?"
"Ya, Daddy tahu. Itulah kenapa daddy juga akan kembali ke Melbourne. Tadinya daddy ingin menemui kalian nanti siang."
"Aku ikut berbela sungkawa," ujar Ben pada Giani. Giani membuka tangannya dan menengadah. Dia tersenyum samar dan mengangguk.
Anak buah Ben mendekat dan mengabarkan jika pesawat pribadi Ben telah siap.
"Ayo kita segera ke Melbourne."
"Kami sudah memesan tiket pesawat."
"Ikutlah denganku, itu akan lebih mempersingkat waktu. Bukankah kau ingin segera melihat profesor Gilbert?"
Giani mengangguk lemah. Dia bangkit dari duduknya. Namun, dia merasakan kepalanya seperti di hantam benda keras. Giani hampir jatuh tak sadarkan diri. Beruntung Ben bisa menangkapnya dengan sebelah tangannya. Elena segera mengambil Jack dari gendongan Ben.
"Mommy." Jarret menatap cemas ke arah ibunya. Dia tidak pernah melihat ibunya seperti ini. Jack juga sama khawatirnya.
"Kalian berdua dan Elena pergilah ke pesawat dulu. Daddy yang akan bawa mommy kalian."
"Tapi, Dad?"
"Jack ayo!" Jarret berjalan mengikuti Elena. Dia menolak di gandeng oleh Elena. Jack akhirnya menyusul kakaknya meski sesekali dia menoleh dan menatap cemas ke arah ibu dan ayahnya.
Ben mengangkat tubuh Giani. Dia menyusul Kedua putranya diikuti oleh beberapa anak buahnya. Sesaat Ben melirik wajah Giani. Sepertinya dia benar-benar terpukul dengan kepergian ayahnya. Bahkan Ben melihat dengan jelas mata sembab yang terpejam itu memiliki kantung mata.
Saat berada di dalam pesawat, Ben langsung duduk dengan masih memangku Giani. Jarret sesekali melirik ke ayah dan ibunya. Dia bisa melihat bagaimana pria itu memperlakukan ibunya dengan baik, tapi jika kembali diingatkan akan kisah masa lalu ibunya, kebencian kembali menguasai hati Jarret.
Ben memasang sabuk pengaman ditubuhnya dan Giani. Meski kesusahan, tapi pria itu berhasil mengatasi masalah kecil itu. Pesawat mereka mulai mengudara dan tak berapa lama, pesawat yang mereka tumpangi sampai di Melbourne.
"Daddy apa mommy baik-baik saja?"
"Mommy mungkin kelelahan dan kurang istirahat."
"Lalu kita akan kemana setelah ini?"
"Kita pergi ke rumah sakit untuk melihat jenazah kakek."
Jackson hanya mengangguk. Jarret sejak tadi terus memperhatikan ibunya. Dia mendekati Ben dan menekan urat nadi di tangan ibunya. Jarret memperhatikan jam dan denyut nadi ibunya. Namun, kemudian dia bernapas lega setelah mengetahui ibunya memang hanya pingsan biasa.
Ben tersenyum melihat bagaimana Jarret mengkhawatirkan Giani, tapi tetap mempertahankan sikap dinginnya. Ben merasa takjub dengan penguasaan diri putra pertamanya.
Elena memberikan botol minyak pada Ben begitu mobil mereka tiba di sebuah rumah sakit. Jenazah Gilbert dibawa kesana karena kasusnya ditangani oleh polisi.
Ben memindahkan Giani di kursi sebelahnya. Dia tak mau dikira mengambil kesempatan saat Giani sadar nanti. Ben mendekatkan botol minyak tadi di hidung Giani. Butuh waktu beberapa saat sampai Giani membuka matanya. Saat tersadar Giani tampak linglung. Dia mengedarkan pandangannya.
"Kita di mana?"
"Kita sudah sampai di rumah sakit. Karena kasusnya sedang ditangani polisi jadi ayahmu dibawa kemari." Giani seakan kesulitan menelan salivanya saat menatap pintu masuk rumah sakit.
"Dimana Jarret dan Jack?"
"Kami di sini, Mom," jawab keduanya serempak di belakang Giani. Giani seketika langsung menghadap ke belakang
"Mommy akan ke dalam. Kalian tunggu di sini."
"Apa kami tidak boleh ikut melihat kakek?"
Giani tersenyum samar, meski dari sorot matanya terlihat dia sedang tidak baik-baik saja, tapi di depan anaknya jangan sampai dia terlihat menyedihkan.
"Mommy belum memastikan kondisi kakek. Mommy takut kalian akan trauma saat melihat kondisi kakek."
"Baiklah, kami akan di sini bersama aunty Elena," kata Jack. Tak lama bocah itu menatap Ben dan berujar, "Daddy tolong temani mommy di dalam. Aku khawatir mommy pingsan lagi."
"Baiklah, Daddy janji akan menjaga mommy kalian di dalam," jawab Ben.
Meski sebenarnya merasa keberatan, tapi Giani tidak dapat menolak Ben di depan kedua anaknya. Akhirnya Giani masuk ke rumah sakit ditemani oleh Ben.
"Maaf sudah merepotkan anda, Tuan."
"Oh, ayolah. Kau cukup memanggilku Ben."
Giani tidak menyahuti lagi, dia bertanya ke bagian informasi untuk menanyakan keberadaan ruang mayat. Setelah mendapat petunjuk, Giani setengah berlari untuk mencari ruangan di mana ayahnya berada.
Saat tiba di depan ruang mayat, ada 2 petugas kepolisian sedang berjaga. "Maaf, saya Giani putri Profesor Gilbert, pria paruh baya korban kebakaran semalam."
"Oh, anda putrinya. Mari silahkan ikut saya?" Giani dan Ben ikut masuk ke ruang mayat itu. Tangan Giani terasa dingin. Kepalanya kembali terasa berputar. Perutnya juga mual. Akan tetapi Ben tiba-tiba merengkuh bahunya. Giani mendongak karena tingginya hanya sebatas dada pria itu.
"Kau harus kuat. Jangan sampai kau pingsan lagi. Aku tidak mau anak-anak kita sedih melihat kondisimu."
Giani mengangguk, Saat petugas menarik mayat ayahnya. Giani merasa jantungnya seperti dipukul berkali-kali hingga detaknya tak beraturan. Langkah Giani seakan begitu berat. Namun, lagi-lagi Ben seakan memberikan kekuatan padanya. Giani penyentuh kain penutup mayat itu. Aroma seperti daging panggang tercium. tangan Giani bergetar saat akan membuka kain itu.
Saat kain perlahan tersingkap, Saat itu pula air mata Giani luruh begitu saja. "Papa. Aku sudah mengurus kepindahanku dan cucu-cucumu. Bukankah aku sudah berjanji akan menemanimu? Kenapa kau justru pergi dengan cara seperti ini?" Giani seketika berlutut dia tak kuasa menahan dirinya, Kenapa nasib ayahnya begitu tragis? Giani merasa sangat bersalah pada ayahnya. Seandainya saja dia tinggal lebih lama di Melbourne, Mungkin ayahnya tidak akan tewas mengenaskan. Giani memukul dadanya yang mulai terasa sesak. Ben ikut berjongkok dan menahan tangan Giani.
"Berhenti menyakiti dirimu sendiri." Ben menarik kepala Giani dan menyandarkan kepala Giani di pelukannya.