“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Rencana Penuh Dendam
Suasana rumah senyap. Hanya suara pendingin ruangan dan detik jam dinding yang menemani malam.
Laras melangkah pelan menuju dapur, masih mengenakan piyama putih dan cardigan wol yang menggantung di bahunya. Wajahnya lelah, tapi damai. Ia membuka kulkas dan mengambil botol air mineral, menuangnya ke dalam gelas bening, lalu mengangkatnya dengan dua tangan. Ia bersiap kembali ke kamarnya.
“Malam yang tenang, ya?”
Suara berat itu datang dari arah ruang tamu. Laras menghentikan langkahnya sejenak.
Edward.
Ia berdiri di sana, mengenakan setelan jas gelap yang belum sempat dilepas sepenuhnya. Dasi masih longgar di lehernya, rambut sedikit berantakan. Tapi yang paling mencolok... adalah senyum lebarnya yang penuh arti.
“Saking tenangnya sampai aku bisa membayangkan pesta,” lanjut Edward, mendekat dengan langkah santai. “Kau harus mengucapkan selamat padaku, Laras.”
Laras menatapnya sekilas, tetap tenang.
“Selamat untuk apa?”
“Aku akan menikahi Sherin. Minggu depan.”
Laras diam. Tatapannya kosong sejenak, sebelum ia mengangguk kecil.
“Selamat,” ucapnya singkat.
Nadanya datar, seperti ucapan selamat pada berita cuaca, lalu melangkah pergi.
Namun Edward dengan cepat bergerak ke depan, menghalangi jalannya.
“Eh, jangan pergi dulu.”
Nada suaranya ringan, tapi matanya menusuk.
“Karena aku juga harus mengucapkan selamat padamu,” katanya, mendekat sedikit hingga Laras bisa mencium aroma parfum maskulin yang memabukkan. “Mantan pacarmu... Bayu, ya? Dia akan bertunangan.”
Laras membeku. Cengkeraman jarinya pada gelas air mengencang.
“Hebat ya, dua kabar bahagia di satu malam,” gumam Edward, senyum liciknya kian melebar.
“Aku menikah. Bayu bertunangan. Dunia seolah-olah sedang berbaik hati... menutup semua masa lalu kita.”
Laras mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya tetap datar. Tenang. Tapi matanya... menyimpan sesuatu yang dalam.
"Oh, kau benar."
Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.
“Senang mendengar kalian bahagia. Sekarang, boleh aku kembali ke kamarku?”
Edward tak menjawab. Ia menatap Laras dalam-dalam, mencari celah. Mencari luka. Mencari air mata. Tapi yang ia dapatkan... hanya keheningan yang nyaris membunuh.
“Kau benar-benar tak merasa apa-apa?” tanyanya, nadanya pelan tapi penuh tekanan.
“Bayu akan menikah. Mantanmu. Pria yang kau cintai mati-matian.”
Laras menatapnya datar.
“Apa yang kau harapkan? Aku menangis di kakimu? Teriak-teriak minta dipeluk?”
Ia menepis rambutnya ke belakang, anggun, nyaris menghina.
“Sudahlah, Edward. Kau dan dramamu ini... melelahkan.”
Ia melewati sisi tubuh Edward, melangkah menuju kamarnya. Tapi sebelum pintu kamarnya tertutup, ia berkata tanpa menoleh:
“Semoga kau bahagia, dengan istrimu nanti. Tapi jangan lupa... mimpi burukmu akan tetap tinggal bersamamu di rumah ini. Karena aku belum selesai.”
Klik.
Pintu tertutup.
Edward berdiri di tempatnya. Senyumnya memudar perlahan, digantikan oleh sesuatu yang lain. Kekesalan. Kekalahan. Atau... rasa takut akan wanita yang seharusnya sudah ia kuasai—tapi justru semakin tak bisa ia kendalikan.
KAMAR LARAS
Pintu tertutup perlahan, namun suara kuncinya terdengar nyaring di telinga Laras. Ia bersandar di baliknya, punggungnya menempel dingin pada kayu. Matanya terpejam rapat seolah berusaha menahan sesuatu yang mendesak dari dalam dadanya.
Tangannya masih menggenggam gelas—erat, terlalu erat—hingga sendi jarinya memutih.
Detik berikutnya, sebuah tetes bening meluncur dari sudut matanya. Lalu disusul yang lain.
Ia menunduk. Napasnya berat. Dada sesak. Seolah ada ruang kosong dalam dirinya yang tiba-tiba runtuh begitu saja.
“Bukankah... aku ingin dia bahagia?” batinnya lirih.
“Lalu kenapa... kenapa hatiku seperti tertusuk saat mendengar ia akan bertunangan dengan wanita lain?”
Ia menatap bayangan dirinya di cermin di seberang ruangan. Rambutnya tergerai, pipinya basah, matanya kosong.
“Bagaimana perasaannya dulu... saat melihatku memakai gaun pengantin, tapi bukan untuknya? Apakah ini... rasa sakit yang dulu ia telan sendirian?”
Tangisnya pecah dalam diam. Tak ada isak, tak ada suara. Hanya bahu yang berguncang, hanya air mata yang tak berhenti jatuh.
Ia membalikkan tubuh, meletakkan gelas dengan tangan gemetar di meja kecil dekat ranjang, lalu meremas dadanya sendiri.
“Tuhan... lapangkan hatiku. Ajari aku ikhlas. Ajari aku merelakan... meski itu berarti membiarkannya bahagia bersama wanita lain.”
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan detak yang tak karuan.
“Semoga kau bahagia, Bay,” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Namun kalimat itu seperti belati yang ia hujamkan sendiri ke jantungnya. Karena di balik doa yang tulus, ada luka yang menganga.
Dan malam itu, Laras benar-benar mengerti.
Rasa sakit karena kehilangan orang yang kau cintai... bukan saat dia pergi. Tapi saat kau menyadari dia tak akan pernah kembali—dan dunia tetap memaksamu untuk tersenyum.
KAMAR EDWARD
PRANNGG!
Suara pecahan kaca memantul dari dinding marmer ketika gelas melayang dan pecah berkeping-keping di lantai. Cairan anggur merah membasahi permadani mahal, menciptakan noda seperti darah.
Edward berdiri mematung di tengah ruangan, dadanya naik-turun, napasnya memburu. Matanya menatap nanar pada retakan di dinding seolah itu wajah Laras—dingin, tenang, tak tergoyahkan.
"Kenapa kau tidak menangis?" desisnya pelan, seperti racun.
"Apa kau tidak merasa apa pun, Laras? Mantan kekasihmu bertunangan, suamimu akan menikahi adikmu sendiri… dan kau... hanya berdiri di sana dengan wajah datar seolah aku tak berarti apa-apa."
Ia memijit pelipisnya, giginya bergemeletuk menahan amarah yang meledak-ledak.
"Apa aku... benar-benar tak berarti di matamu?"
Ia tertawa getir, suara itu menggema lirih dan penuh kepedihan yang terselubung dalam amarah.
"Aku berharap kau menangis. Aku berharap matamu berkaca-kaca. Atau sedikit saja... kau goyah. Tapi tidak. Tidak satu gores pun terlihat di wajahmu. Kau membuatku terlihat... kalah."
Edward meremas pinggiran meja hingga buku-buku jarinya memutih.
"Dan kau, Sherin..." gumamnya pelan. "Kau yang menjebakku ke dalam neraka ini."
Matanya menajam.
"Seandainya kau tidak datang, Laras tidak akan sebegitu menangnya. Karena kau... hanya membuatku terlihat seperti pecundang. Kau membongkar semua skandal, menyeret namaku ke lumpur, membuat media melahapku hidup-hidup. Kau membakar reputasiku, menghancurkan kepercayaan publik... dan lebih buruk lagi... bisnis keluargaku mulai runtuh satu per satu."
Ia melangkah ke jendela, menatap keluar dengan mata merah dan rahang mengeras.
"Aku akan menikahimu, Sherin. Tapi bukan karena cinta."
Napasnya tajam. Mengerikan.
"Aku akan menikahimu untuk menghancurkanmu perlahan-lahan. Karena satu-satunya cara membuat Laras benar-benar merasa menderita... adalah dengan membuat adiknya menderita."
Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Aku ingin melihat... apakah Laras masih bisa tetap tenang saat orang yang dulu paling ia lindungi... hancur di bawah tanganku."
Lalu Edward berbisik pada dirinya sendiri, hampir tak terdengar.
"Kalau aku harus tenggelam, maka kalian semua ikut bersamaku."
Kamar Edward masih remang, bau anggur tumpah masih menguar samar.
Edward duduk di ujung ranjang dengan tubuh condong ke depan, lengan bertumpu pada lutut, tatapannya kosong namun matanya menyala. Kilat niat busuk terlihat jelas di sana.
Ia meraih ponselnya pelan. Jemarinya mengetik cepat nomor yang ia tahu tak pernah muncul dalam riwayat resmi. Seseorang di seberang sana langsung menyambut dengan suara geli dan penuh semangat.
“Edward? Wah, sudah lama. Kali ini butuh yang seperti apa?”
Edward menutup matanya sejenak, lalu menjawab, datar namun tajam, “Cari gadis perawan. Cantik.”
“Tentu. Tapi definisi cantikmu ini yang perlu dijelasin, Bos... Cantik yang bohay, yang mulus kek porselen, atau yang manis lugu kayak anak sekolah?”
Edward membuka matanya perlahan. Sebelah sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman bengis.
“Terserah. Asal masih perawan. Dan cantik.”
“Wah... gitu ya,” suara di seberang terdengar semakin antusias. “Mahal, lho. Yang benar-benar perawan sekarang nyaris langka. Tapi kalau soal uang, aku tahu Bos nggak main setengah-setengah.”
“Aku bayar berapapun,” potong Edward. “Kirim sebelum minggu depan.”
Sambungan diputus tanpa menunggu jawaban. Edward meletakkan ponsel di meja, lalu menyandarkan punggungnya perlahan ke sandaran kepala ranjang.
Ia tertawa pelan, getir, lalu mencibir.
“Sherin... kau pikir aku akan diam setelah semua yang kau lakukan?”
Tatapannya menajam, penuh kebencian.
“Dulu aku lakukan ini ke Laras. Tapi dia tetap diam dan bertahan.”
Napasnya mulai berat. Kenangan kelam muncul seperti bayangan setan.
“Tapi kau… kau akan kubuat lebih menderita, Sherin. Lebih dari siapa pun.”
Senyum itu kembali muncul di wajahnya. Bukan senyuman manusia yang waras, tapi senyuman dari jiwa yang digerogoti dendam dan keinginan untuk menghancurkan.
“Kau ingin pernikahan? Baik. Aku beri.”
Ia memejamkan mata, suaranya berubah jadi gumaman pelan namun mengerikan.
“Tapi malam pertama kita... akan jadi awal dari siksaan panjang yang tak akan pernah kau lupakan.”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
sabar dulu Laras...
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka