"Setelah anak itu lahir, mari kita berpisah. Tanda tangan semua surat-surat ini," ucap pria dingin tersebut pada wanita yang telah mengandung benihnya.
Sebuah kesalahan telah mereka lakukan di Italy, membuat keduanya harus menikah untuk menutupi aib keluarga. Bagaimana kisah Dito si suami dingin dengan Tiwi, istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Sleeping Beauty
Pria Dingin Itu Suamiku Bagian 30
Oleh Sept
"Tahan, Pak," cegah dokter yang menahan pak Burhan.
Papa Tiwi tersebut sudah gusar dan geram atas aksi di luar batas mantan mantunya itu. Berani sekali dia melakukan aksi gilanya di depan semua orang. Jelas papa Tiwi tersebut tersulut emosinya. Apalagi, pak Burhan memang suka dara tinggi. Apa-apa langsung emosional.
"Tiwi!" pekik nyonya Haidar. Wanita yang matanya masih sembab tersebut langsung berlari mendekat. Ia pegang tangan Tiwi yang mulai bergerak.
"Bangun, Sayang."
"Tiwi ... bangun, Wi." Pak Burhan ikut memanggil. Dia kini berdiri di sebelah istrinya.
Sementara itu, Dito yang cukup kaget atas reaksi Tiwi, ia mundur sedikit. Memberikan ruang bagi dokter untuk memeriksa kondisi Tiwi.
Mereka semua memperhatikan wajah Tiwi, terutama kelopak mata wanita tersebut. Kelopak matanya bergerak-gerak. Kemudian tidak lama mulai membuka sedikit.
"Sayang!" panggil nyonya Haidar yang sangat senang.
Begitu juga dengan papanya, semarah apapun pak Burhan selama ini, dia tetap sayang pada Tiwi. Meskipun sering memperlakukan Tiwi sangat keras.
"Syukurlah, Pa!" kata nyonya Haidar sambil memeluk suaminya.
Dokter kemudian memeriksa kedua mata Tiwi dengan senter khusus. Lalu mulai memeriksa motoriknya.
"Bisa mendengar saya?" tanya dokter pada Tiwi yang masih mengerjap.
Penglihatan Tiwi masih buram, dia bahkan belum bisa mengenali wajah-wajah di depannya. Semua gambaran wajah orang-orang di depannya sangat tidak jelas.
"Bisa melihat saya?" tanya dokter lagi.
Tiwi kembali mengerjap. Pelan-pelan ia mulai mengumpulkan fokusnya, hingga wajah pertama yang dia lihat malah pria di belakang dokter, yang hanya kelihatan kepalanya.
'Kenapa dia di sini?' batin Tiwi lemas. Bibirnya ingin berbicara, tapi lidahnya keluh seperti mati rasa dan tidak bisa berbicara atau mengeluarkan suara.
"Tiwi, ini Mama sayang," Nyonya Haidar kembali memanggil Tiwi yang tidak kunjung merespon. Tapi dia tahu, tatapan Tiwi hanya tertuju pada satu arah. Bukan dokter, tapi pria di balik dokter.
Nyonya Haidar lantas menarik Dito, agar pria itu maju semakin depan.
"Kamu bisa lihat kami kan? Masih ingat laki-laki ini, kan?" tanya nyonya Haidar.
Tiwi mengangguk pelan. Dan nyonya Haidar langsung bersyukur kembali. Lalu memeluk putrinya.
"Syukurlah sayang ... kamu sudah kembali," ucapnya dengan tangisan.
Dokter kemudian mundur, ia ingin bicara pada Dito sebentar. Keduanya berbicara dengan serius, tapi pelan. Sampai tidak terdengar yang lain. Dan Dito terlihat mengangguk beberapa kali. Lalu dokter itu menepuk pundak Dito.
"Baik, Dok," ucap Dito saat dokter mengatakan beberapa penjelasan. Intinya, selalu latih motorik pasien, karena sepertinya ada hubungan emosional antara keduanya, yang membuat Tiwi bisa membaik.
Malam itu juga, Tiwi dipindahkan ke ruangan khusus. Dia langsung menjalani banyak check. Dan sepanjang pemeriksaan, Dito menemani. Dia tidak pulang, apalagi pak Burhan tidak mengusir lagi. Mungkin selama Tiwi baik-baik saja, ia akan menahan diri untuk tidak menghajar mantan menantunya itu.
***
Malam itu terasa sangat panjang, mereka semua tidak ada yang tidur. Adapun tidur, itu hanya sesaat kemudian bangun lagi. Sedangkan Dito, dia masih terjaga. Kini dia duduk di sebelah ranjang. Menatap Tiwi yang diam saja, tapi matanya menatap langit-langit kamar.
Tiwi belum bisa diajak komunikasi dengan norma, dia hanya mengangguk atau menggeleng kalau diajak komunikasi.
'Kenapa dia tidak pulang?' batin Tiwi. Dia ingin meminta Dito pergi, tapi tidak bisa mengatakan hal tersebut. Jadi lebih memilih menatap langit-langit kamar rumah sakit.
Sampai pagi menjelang, nyonya Haidar sudah mandi, ia mandi di rumah sakit. Sedangkan Dito, pria itu ketiduran sambil kepalanya di letakan di tepi ranjang.
"Tiwi," panggil Nyonya Haidar sambil mengusap pipi putrinya.
Tiwi hanya mengerjap, kemudian menatap sang mama dengan dalam.
"Mama senang kamu bangun, Sayang," ucap nyonya Haidar lagi. Membuat Dito terbangun karena mendengar suara.
"Sudah bangun kamu, Dit?"
Dito mengosok mata, lalu melihat Tiwi, kebetulan Tiwi juga melirik sedikit.
"Sudah bisa bicara?" tanya Dito pada mantan mama mertuanya.
"Belum," jawab nyonya Haidar.
Dito mengangguk.
"Kamu gak pulang? Mandi dulu, Dit," kata Nyonya Haidar yang kini ramah pada Dito. Ia senang karena Dito, Tiwi sekarang bangun.
"Emm ... iya," ucap Dito ketika melihat jam tangannya.
"Numpang kamar kecil dulu, Tante."
Nyonya Haidar megangguk.
Dito kemudian mencuci wajahnya dulu, dan dia muncul setelah cuci muka.
"Dito pulang dulu, Tante."
"Ya, hati-hati."
Dito kemudian melirik Tiwi, tapi mantan istrinya itu malah memalingkan muka. Entah mengapa Dito kok jadi kesal sendiri.
"Baik, Tante. Tapi ini mau mampir ke NICU dulu," ucap Dito dengan suara sedikit keras. Mungkin biar Tiwi dengar.
Ucapan Dito berhasil membuat pandangan Tiwi langsung terarah tepat sasaran dan tajam padanya.
'Bisa-bisanya kau melotot padaku!' omel Dito dalam hati.
Bersambung
lamar yg bener dong
maaf kenapa bosannya aku sendiri tdk dpt menjelaskan dengan baik....tapi novel ini sebagai penggantinya cukup asyik dibaca ....lanjuuut
maaf kenapa bosannya aku sendiri tdk dpt menjelaskan dengan baik....tapi novel ini sebagai penggantinya cukup asyik dibaca ....lanjuuut
moodian
sungguh mantap sekali
terus lah berkarya dan sehat selalu 😘😘