"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Sadewa melangkah keluar dari rumahnya. Sesuai janjinya pada Syifa, tentu saja dia akan menepatinya.
Namun, sebelum dia sempat mencapai mobilnya, sekelompok pria berpakaian hitam tiba-tiba muncul dari balik bayangan gedung. Mereka berdiri dalam formasi yang menghalangi jalannya.
Sadewa mengangkat alis. “Ada apa?” tanyanya dengan nada dingin.
Salah satu pria maju selangkah. “Maaf, Tuan. Anda tidak boleh pergi. Nyonya Nayara mengirim pesan. Anda tidak boleh menikahi wanita sembarangan. Begitulah perintahnya.”
Mendengar itu, Sadewa mendengus, lalu tertawa kecil. “Jadi, kalian selama ini memata-mataiku?”
Tak ada jawaban. Para pria itu tetap diam, hanya berdiri kokoh di tempat mereka.
Sadewa mengepalkan tangannya, matanya penuh dengan api perlawanan. “Kalau begitu, kalian tahu apa yang akan terjadi jika menghalangiku,” katanya dingin.
Salah satu pria maju untuk menahannya, tetapi Sadewa lebih cepat. Dia mengayunkan tinjunya tepat ke wajah pria itu, membuatnya terhuyung ke belakang. Yang lain langsung menyerang, tetapi Sadewa bukan orang yang mudah dijatuhkan.
Dengan gerakan cepat, dia menghindari pukulan dan menangkis serangan mereka satu per satu. Dua orang tumbang dalam hitungan detik. Sisanya mulai ragu, tetapi mereka tetap maju.
Sadewa melayangkan tendangan ke perut salah satu pria, membuatnya jatuh berlutut. Saat yang lain mencoba menyerangnya dari belakang, Sadewa memutar tubuhnya dan mengunci pergelangan tangan lawannya, lalu mendorongnya ke tanah dengan mudah.
Kini hanya tersisa satu pria yang masih berdiri. Dia menelan ludah, lalu mundur selangkah.
“Pergi dan katakan pada Kak Naya. Aku tidak butuh persetujuannya. Ini hidupku dan aku yang akan mengurusnya.”
Pria itu tak berani menantang lebih lama. Dia segera membantu rekannya yang jatuh dan pergi meninggalkan tempat itu.
Sadewa menghembuskan napas kasar, lalu merapikan jasnya yang sedikit berantakan. Dia segera melangkah ke mobilnya.
"Hendri cepat menuju taman. 30 menit lagi ijab qabulnya akan dimulai," perintah Sadewa setelah masuk ke dalam mobilnya.
Hendri segera melajukan mobilnya dengan cepat menuju taman yang berada di dekat rumah Syifa. Seharian itu dia ada beberapa meeting hingga waktu yang dia miliki sangat sedikit, ditambah gangguan dari anak buah kakaknya.
Mobil itu akhirnya berhenti di depan taman. Sadewa segera turun dan berlari ke tengah taman. Pandangannya langsung tertuju pada Syifa, yang sedang dipaksa masuk ke dalam rumah oleh Paman Wahyu dan Bibi Nur. Tangan mereka mencengkeram lengan Syifa dengan kasar, menyeretnya tanpa peduli wajah pucat dan mata penuh ketakutan Syifa.
Tanpa ragu, Sadewa berlari mendekat. Dia meraih tangan mereka dan melepaskan cengkeraman mereka dari Syifa. Wahyu dan Nur terhuyung ke belakang, terkejut dengan kedatangan pria asing yang tiba-tiba ikut campur.
Sadewa berdiri di depan Syifa untuk melindunginya. Tatapannya tajam ke arah kedua orang yang telah memperlakukan Syifa dengan kejam.
“Maaf, aku terlambat,” ucap Sadewa sambil menoleh Syifa sesaat.
Namun, Syifa hanya menatapnya dengan bingung. Bibirnya sedikit terbuka, tetapi tak ada kata-kata yang keluar.
"Siapa kamu?" tanya Paman Wahyu, suaranya penuh kemarahan.
Sadewa berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot tajam. Senyum dingin tersungging di sudut bibirnya.
"Aku?" Sadewa mengangkat dagunya dan menatap tajam Wahyu. "Aku calon suami Syifa."
Wahyu dan Nur tersentak.
“Jangan bercanda! Syifa sudah punya calon suami dan sekarang sedang menunggunya di dalam."
Sadewa mendekat ke arah Wahyu, membuat pria itu mundur setengah langkah. “Lalu, kenapa Syifa terlihat seperti tahanan? Jika dia benar-benar ingin menikah, harusnya dia tidak perlu dipaksa seperti ini. Dia pasti akan bahagia jika menikah dengan pria yang dia inginkan.”
Wahyu terdiam, sementara Nur melebarkan matanya menatap Sadewa dengan tajam.
"Aku datang untuk menepati janjiku. Aku akan menggantikan pengantin pria itu," kata Sadewa sambil menatap Syifa.
Paman Wahyu menggertakkan giginya. “Beraninya kamu ikut campur! Syifa harus menikahi Ustaz Rayyan hari ini!”
“Syifa punya hak untuk memilih!" kata Sadewa tanpa rasa takut sedikitpun.
"Sekali lagi aku tanya, maukah kamu menikah denganku? Aku pasti akan memberi kebebasan dan kebahagiaan untukmu," tanya Sadewa sambil menatap Syifa. Tak peduli dengan wajah Wahyu yang semakin penuh amarah.
Syifa hanya menatap Sadewa dengan kebingungan. "Aku tidak bisa dengar apapun."
Wahyu dan Nur tertawa. "Dia cacat. Kamu mau menikahinya? Dia lebih bermanfaat jika menikah dengan Ustaz Rayyan!"
Sadewa tak menyahuti perkataan paman dan bibi Syifa. Pasti dia tidak memakai alat pendengaran.
Dada Sadewa terasa sesak. Matanya tiba-tiba memerah. Dia bisa membayangkan betapa sulitnya bagi Syifa, dikelilingi orang-orang yang tak pernah benar-benar peduli padanya, sementara dia sendiri tak bisa mendengar dunia di sekitarnya tanpa bantuan alat itu.
Sadewa terus menatap Syifa. Dia melihat wajah cantik dengan hijab putih itu. Untungnya dia pernah belajar bahasa isyarat. Dengan perlahan, dia mengangkat tangannya dan mulai berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
“Aku akan menikahimu.”
Syifa terpaku. Jantungnya berdegup kencang.
Sadewa melanjutkan. “Aku akan menjagamu.”
Syifa masih tak bisa percaya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Aku akan membahagiakanmu dan memberimu kebebasan.”
Syifa menggigit bibirnya. Tubuhnya bergetar. Sadewa terlihat begitu tulus dan meyakinkan, seolah tak ada satu hal pun yang bisa menggoyahkan tekadnya. Tapi dia tidak tahu siapa Sadewa sebenarnya dan bagaimana kehidupannya.
Paman Wahyu dan Bibi Nur menatap mereka dengan bingung. Mereka tak mengerti bahasa isyarat yang digunakan Sadewa.
Dengan tangan gemetar, Syifa mengangkat jemarinya, mencoba merangkai balasan dengan bahasa isyarat.
“Benarkah?”
Sadewa mengangguk yakin. Tanpa ragu, dia menjawab dengan gerakan tangan yang pasti.
“Aku berjanji."
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔