Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Ajeng merespon datar saat Abi pamit kembali ke kantor. Perlakuannya sama sekali tidak berpengaruh apa pun, pikirannya ganjil melanglang jauh dalam kegalauan. Andai saja waktu bisa diulang, orang yang mencelakai adiknya mau bertanggung jawab, Ajeng tentu tidak harus melakukan inseminasi. Tetapi sekarang bukan masalah itu, mengandung baginya suatu keajaiban. Hanya saja, Ajeng merasa tidak rela bila harus berpisah dengan buah hatinya.
Perempuan itu menatap sendu punggung Abi yang berjalan menjauh, lalu mengelus perutnya sendiri dengan raut yang sulit diartikan. Tanpa Ajeng sadari, ada sosok pemuda yang sedari tadi termangu, menatap tak percaya dalam diam. Sampai kedua pasang netra itu bertemu.
Keduanya sama-sama diam dalam beberapa detik, hingga langkah pemuda itu sampai tepat segaris berhadapan dengan kakaknya kurang lebih dalam jarak pandang satu meter.
"Hanan!" lirih Ajeng tercekat.
"Kak Ajeng," panggil pria itu merasa tertampar melihat kakaknya yang tak biasa. Lebih seperti mimpi yang teramat nyata.
"Beneran Kakak?" tanya pria itu masih belum percaya. Antara kaget, tidak tahu harus bersikap apa, sedih, kecewa, marah merasa dibohongi, terlebih melihat kondisi kakaknya yang tidak seperti perempuan single pada umumnya.
"Ini maksudnya apa, Kak?" tanya Hanan berusaha menahan diri.
Ajeng terdiam, tidak tahu harus berkata dan menjelaskan dari mana. Mulutnya susah bersuara, seakan keberanian itu terkumpul di kerongkongannya, hingga rasa berat begitu terasa di dada. Matanya mulai berkaca-kaca menatap tanpa ekspresi.
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Hanan. Kakak bakalan jelasin semuanya," jawab Ajeng dengan derai air mata yang mulai berjatuhan.
Hal yang paling sulit dalam dirinya, serapat apa pun menyembunyikan kebenaran pasti akan menemui waktunya.
"Aku kecewa, kenapa Kakak bohong!" ucap Hanan yang membuat Ajeng semakin terisak.
"Maaf, tolong jangan membenciku, kakak akan menjelaskan semuanya," sahut Ajeng yang sebenarnya begitu merindukan sang Adik.
Hanan terlihat begitu kecewa, pemuda itu berusaha menahan diri di tempat yang tidak seharusnya berdebat.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ajeng berusaha tenang.
"Seharusnya aku yang tanya, apa yang Kak Ajeng lakukan di sini? Pria itu siapa sebenarnya?" tekan Hanan tak tahan lagi.
"Sshh ...." desis Ajeng merasakan kencang perutnya. Tekanan mendadak menyebabkan reaksi kejut yang berdampak hingga ke janin yang tengah dikandungnya.
"Kak, Kakak kenapa?" tanya Hanan mendekat dengan raut khawatir.
"Bawa aku pergi dari sini, Nan, akan aku jelaskan semuanya," ucap Ajeng seraya menahan rasa tidak nyaman di perutnya.
Melihat Ajeng yang seperti kesakitan, Hanan yang sebenarnya diliputi kecewa dan ingin tahu mengabaikan sejenak. Berusaha memapah kakaknya untuk berjalan menuju parkiran motor miliknya.
"Kita pulang saja ya, Kakak bisa naik motor nggak?"
"Terserah, bisa asal hati-hati," jawab Ajeng yakin.
"Iya Kak, pelan saja. Aku bakalan bawa motornya hati-hati," jawab Hanan berusaha tidak grogi.
"Nan, aku haus, bisa berhenti sebentar," pinta perempuan itu menepuk pundak adiknya.
Hanan menepikan motornya, lalu membantu kakaknya turun dari motor.
"Biar aku yang beli," ujar pria itu bergegas.
Hanan langsung masuk ke mini market, mengambil air mineral dalam kemasan lalu kembali setelah melakukan pembayaran.
"Minum dulu, Kak," ujar pria itu perhatian. Lebih dulu membuka tutupnya agar kakaknya mudah meneguknya. Keduanya duduk menepi di tempat yang teduh. Setelah semuanya tenang, barulah perempuan itu memberanikan diri mulai bercerita.
Sementara Abi yang sore itu pulang ke rumahnya, masih memancarkan aura bahagia efek tadi siang baru saja melihat hasil chek up Ajeng yang menunjukkan janin mereka sehat dan tumbuh normal. Bahkan sejak dari rumah sakit menuju kantor, Abi merasa begitu dekat dengan anaknya yang sebentar lagi bisa ditimang.
"Kapan rencananya caesar, Mas, aku sudah tidak sabar dengan sandiwara hamil gadungan ini."
"Kurang lebih dua minggu lagi, anakku sangat lucu, ah ... aku juga sudah tidak sabar menanti kehadirannya."
"Setidaknya kita harus mencari rumah sakit lain yang jauh, aku tidak mau nanti mamamu mengacaukan semuanya."
"Tetap di sana saja, percayakan semuanya pada Stela, dia sudah ahli di bidangnya."
"Tapi nanti kalau ibumu rempong gimana?"
"Kita bisa mengabari setelah anak itu lahir, atau bahkan sudah di rumah," kata Abi tak ambil pusing.
Pria itu pun bergegas membersihkan diri, seperti tengah melakukan persiapan menjadi seorang ayah baru yang siap menyambut putri mereka yang telah lama diimpikan keluarga.
Sementara Vivi nampaknya cukup santai, sandiwaranya yang cukup melelahkan akan segera finish, dan dirinya merasa aman setelah diklaim mempunyai buah hati dari suaminya sendiri.
Berbeda dengan kebahagiaan yang tengah dirasakan Abi dan mungkin juga Vivi. Ajeng yang kini sudah di rumahnya yang dulu nampak tengah menangis tersedu. Ia baru saja menceritakan hal paling sulit untuk dirinya yang terpaksa harus dibagi pada adiknya.
Mendengar itu semua, Hanan menangis tergugu, langsung memeluk kakaknya. Hatinya begitu pilu dan sedih luar biasa. Betapa besar pengorbanannya selama ini untuk dirinya. Hanan yang tadinya sempat berpikir bahwa kakaknya hamil di luar nikah, atau bahkan melakukan tindakan asusila yang tidak terpuji sama sekali.
"Jangan nangis, Nan, kakak nggak pa-pa kok, yang penting kamu udah sehat gini, 'kan? Kakak bangga sama kamu, tetap menjadi Hanan yang baik, terima kasih sudah percaya."
Pria itu tidak menyahut, masih sibuk menangis seraya duduk bersimpuh di samping kakaknya yang terlihat begitu tegar.
"Harusnya Kakak membiarkan aku tetap sakit saja dari pada harus mengorbankan seperti ini. Apa kata orang nanti, kasihan kakak pasti sangat sulit melewati ini."
"Kakak hanya punya kamu, mana mungkin aku membiarkan ini semua terjadi. Jangan memikirkan yang sudah terjadi, aku udah ikhlas, walau jujur ini terlalu berat untuk diriku berpisah dengan anak ini nanti."
"Andai aku punya uang banyak, akan aku ganti uang mereka yang sudah diberi, agar anak ini tetap milik kakak."
"Mereka tidak butuh uang, Hanan, berdoa saja semoga berbaik hati tetap memperbolehkan aku ketemu nanti."
"Terus gimana dengan anak ini? Apa selamanya tidak akan tahu kalau Kakak adalah ibunya? Ini sangat tidak adil," ucap Hanan ikut kesal.
"Hanya Tuhan dan takdir baik yang akan menaungi. Sungguh ini hal tersulit untukku jika saatnya tiba nanti."
"Jangan bersedih lagi, mulai sekarang Kakak bisa membagi kisah ini dengan aku."
Kedua kakak beradik itu saling menguatkan dengan hujan tangis. Walau sempat ada rasa kecewa dan marah, seakan semua melebur dengan kejujuran.
Dua hari telah berlalu, Ajeng masih tinggal di rumah lama yang jelas disembunyikan Hanan. Takut menjadi gosip tetangga dengan kepulangannya yang tak biasa, pemuda itu tidak memperbolehkan Ajeng keluar.
Sementara Abi, dua hari ini kesulitan menghubungi Ajeng. Terakhir bertemu memang aura perempuan itu terlihat berbeda. Bahkan, Ajeng tidak menjawab teleponnya atau membalas pesannya hingga sempat membuatnya sedikit kesal.
Pria itu sudah tidak sabar ingin bertemu. Namun, karena harus membagi waktu dengan adil dan Vivi yang kemarin cukup rewel, membuatnya tidak bisa mencuri waktu setelah pulang bekerja. Hari ini tidak ada alasan lagi, pria itu jadwal mengunjungi ke rumah Ajeng. Walaupun istri tuanya sedikit manyun, Abi tidak begitu peduli, toh dia sudah berusaha adil minimal memberikan kesan baik selama akhir kehamilan Ajeng.
Abi mendatangi rumah istri muda dengan suasana hati bahagia hendak melepas rindu. Pintunya masih terkunci seperti biasa. Seringkali orangnya di rumah demi kenyamanan dan keamanan perempuan itu menguncinya.
"Ajeng, Ajeng!" teriak Abi tidak menemukan istrinya di mana pun. Pria itu mencari ke seluruh ruangan tak ada. Menghubunginya pun tak pernah ada jawaban. Baru menyadari, ia masuk ke rumah dengan kondisi pintu yang tadi masih dikunci. Ia mulai panik dan merasa tidak nyaman saat meneliti kamar yang masih rapi, dan kamar mandi yang kering seperti tidak pernah dipakai.
"Jangan-jangan!"
.
TBC
Gaes ... aku punya rekomendasi novel temen yang nggak kalah seru loh, ayo mampir ...!
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik