Calon Istri Milyader

"Kamu nggak punya hak bertanya masalah pribadiku."

"Aku masih pacar kamu Alika."

"Kamu sudah gila ya? Buka pintunya atau anak buahku akan mendobrak pintu ini dalam waktu lima menit." Ancam Alika asal bicara untuk menakut-nakuti Dirga.

"Hehehe, sejak kapan kamu dikawal? jangan bercanda sayang..! baiklah aku akan membuka pintu..nya." Dirga terkejut saat membuka pintu. Ia melihat empat pria berbadan besar dan tinggi memakai setelah jas serba hitam berdiri dihadapannya.

"Siapa kalian?" Tanya Dirga.

"Kami menjemput Nona Alika."

Alika tersenyum, tebakannya tentang Zein mengirim orang untuk menjaganya memang benar.

"Tidak perlu, aku pacarnya, jadi aku yang akan mengantarnya."

"Pacar? apa aku tidak salah dengar? Berhentilah berharap karena itu tidak akan terjadi. Aku sudah tunangan."

Deg!

"Tidak mungkin!"

"Itu kenyataannya, dan yang menelponku untuk pulang adalah calon suamiku."

"..."

"Tidak usah kaget. Aku sudah tunangan dan kami akan segera menikah."

"Jangan bercanda sayang..! aku tau kamu sedang marah."

"Siapa yang bercanda? ini buktinya."

Alika memperlihatkan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Cincin pertunangan yang Zein berikan untuknya beberapa hari yang lalu.

"Tidak Alika, kamu pasti bohong! bilang padaku kalau kamu hanya ingin membalasku." Dirga menggelengkan kepalanya karena tidak percaya. Bagaimana mungkin Alika memiliki tunangan saat dia masih pacaran dengannya.

"Untuk apa aku bohong? apa kamu masih ingat gaun yang aku pakai saat di hotel? Malam itulah aku bertunangan dengan Zein."

"Tidak Alika."

"Awalnya aku tidak terima pertunangan ini. Aku masih berpikir untuk membatalkannya suatu saat nanti karena ada kamu di hatiku. Tapi setelah melihatmu berselingkuh, aku jadi yakin untuk menikah dengan Zein." Jelas Alika.

"..."

"Sudahlah Dirga, Mulai sekarang kita jalani kehidupan masing-masing. Kamu bebas melakukan apapun di luar sana, termasuk tidur sekamar dengan Vanesa. Aku tidak akan mengganggu apalagi mencarimu. Permisi."

Alika segera berbalik untuk keluar dari kamar tapi lagi-lagi Dirga menarik tangannya. Dirga ingin mencium bibir Alika tapi Alika mendorong dada Dirga dengan kedua telapak tangannya.

"Apa yang kamu lakukan Dirga!" Sentak Alika.

"Aku tidak mau kehilanganmu, tinggalkan laki-laki itu." Ujar Dirga langsung memeluk tubuh Alika.

"Jika kamu tidak ingin kehilangan aku, kamu nggak akan menghianatiku Dirga! Aku harus pergi sekarang. Anak buah Zein menungguku diluar."

Alika melepaskan pelukan Dirga. Ia harus segera pergi sebelum anak buah Zein masuk dan memaksanya untuk pulang.

Alika membuka pintu kemudian keluar meninggalkan Dirga. Ia segera menghapus air matanya yang keluar dari netranya.

Saat keluar ternyata supir Zein memang menunggunya di luar. Supir membuka pintu mobil untuknya dan Alika segera masuk. Setelah supir jalan, Ia termenung memikirkan keputusannya. Ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Dirga walaupun itu sangat berat. Memulai kehidupannya yang baru dengan menerima perjodohannya dengan Zein.

Ia berbalik menoleh ke belakang, ada satu mobil mewah yang mengikuti mobilnya, ia yakin itu adalah anak buah Zein. Ia juga baru menyadari jika kehidupannya kini berubah. Setelah bertunangan dengan Zein, pasti akan ada pengawal yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi.

"Kenapa tidak ada pemberitaan tentang pertunanganku dengan Zein? Ah, bukankah itu lebih baik? aku masih bisa bebas melakukan apapun yang aku mau." Batin Alika.

Berita pertunangan Zein sampai sekarang memang belum dipublikasikan atas permintaan Zein. Hanya keluarga terdekat dan rekan bisnis mereka yang mengetahuinya itupun mereka tidak boleh menyebar luaskan berita tersebut jika tidak ingin mendapat masalah.

Setelah beberapa menit. Alika tiba di apartemen. Ia langsung masuk ke dalam kamar melewati Zein dan Richard yang sedang menatapnya tanpa bicara.

"Kenapa lagi dia? dia sangat aneh." Guman Zein geleng-geleng kepala.

"Perempuan memang aneh, sudahlah! ayo lanjutkan terapinya, sebentar lagi aku harus ke rumah sakit untuk operasi." Ajak Richard lalu masuk ke ruang kerja Zein.

Zein menurut lalu ikut masuk kedalam melanjutkan terapi kakinya.

.............

Bos, ini dokumen yang Anda minta." Ramon meletakkan amplop berwarna coklat diatas meja kerja Zein.

Zein mengambilnya lalu membukanya. Ia melihat beberapa lembar foto Monika bersama seorang laki-laki di luar negeri. Raut wajahnya seketika berubah. Ia sangat kecewa dengan Monika. Ia berusaha sembuh dari lumpuhnya agar dapat menyusul Monika yang katanya keluar negeri untuk bekerja namun kenyataannya tidak. Ia hanya bersenang-senang bersama Sander dan menghambur-hamburkan uang Zein.

Selama mereka pacaran, Zein selalu mengirim uang bulanan ke rekening Monika, bahkan sampai bulan ini masih Ia lakukan agar Monika ingat bahwa Dia masih perduli dengannya dan mengharap Monika segera kembali.

"Di situ juga ada beberapa bukti chek-in hotel mereka dan bukti transferan yang Monika berikan pada pria itu." Jelas Ramon.

Zein mengepalkan kedua tangannya lalu melempar foto Monika diatas meja. Harapannya untuk hidup bersama dengan orang yang Ia cintai kini sirna. Hatinya sangat hancur saat ini. Ia hanya diam tapi dalam hati ia menangis.

"Sejak kapan mereka berhubungan Ramon?" Tanya Zein mengusap wajahnya dengan kasar.

"Sander dan Monika adalah mantan kekasih. Mereka pacaran selama dua tahun dan putus saat Monika bersamamu. Saat kamu kecelakaan, mereka kembali berhubungan dan Sander menyusulnya ke luar negeri. Mereka baru beberapa hari yang lalu kembali karena Monika ada pemotretan di kota ini. Monika juga baru menandatangani kontrak kerja sama dengan salah satu perusahaan di Milan." Jelas Ramon.

"Maksudmu Dia sedang menipuku dengan menyembunyikan keberadaannya?" Geram Zein.

Ramon tidak menjawab, Ia hanya Diam takut salah dan mendapatkan amukan dari Zein.

"Benar begitu Ramon?" Bentak Zein menatap tajam mata Ramon dengan penuh amarah.

Ramon mengangguk. "Monika sengaja menutupinya. Dia tidak ingin kamu mencarinya." Ujar Ramon.

Zein mengepalkan tangannya lalu memukul dinding ruangan di belakangnya.

Bug!

Tangan Zein berdarah, rasanya sangat perih tapi dapat Ia tahan. Darahnya terus mengalir hingga jatuh ke lantai.

"Brengsek!" Umpat Zein, "Berani sekali kau mempermainkan ku Monika! Dasar wanita murahan! Kau akan merasakan apa yang aku rasakan! Akan aku berikan yang lebih menyakitkan dari yang kau lakukan padaku." Geram Zein kembali memukul dinding namun Ramon segera menghentikannya.

"Sudah Zein, hentikan! Jangan menyakiti dirimu seperti ini. Dia akan tertawa diatas penderitaanmu jika kamu hancur." Ujar Ramon berusaha menenangkan Zein.

"Lepaskan aku Ramon! atau Aku akan melampiaskan kemarahanku padamu." Kesal Zein menarik tangannya.

"Lupakan Monika Zein, Dia tidak pantas kamu cintai, Dia hanya memanfaatkan kebaikanmu." Nasihat Ramon.

"Sudahlah Ramon! jangan mengguruiku, kamu tahu apa tentang perasaanku. Disini sakit dan hancur. Semangat hidupku hilang, Aku tidak bisa terima penghianatannya. Aku tidak pernah membayangkan Dia akan melakukan hal ini padaku. Sebaiknya kamu keluar dari sini dan biarkan aku sendiri." Kesal Zein. Ia mengambil botol minuman lalu menuangnya ke dalam gelas.

"Apa yang kamu lakukan Zein? ini tidak baik untuk kesehatanmu. Kamu masih dalam proses penyembuhan. Jika kamu minum minuman beralkohol, semuanya akan sia-sia." Ujar Ramon sambil mengambil gelas dan botol minuman di tangan Zein.

Ramon segera menyimpannya didalam lemari kecil lalu menguncinya.

"Kurang ajar kamu! kamu mau aku pecat? " Kesal Zein.

"Pecat saja, Aku tidak perduli, asal jangan minum. Sini tangan mu! biar Aku obati." Ramon ikut kesal. Hari ini pekerjaannya banyak di tambah dengan Zein yang sedang patah hati.

"Keluar Ramon biarkan aku sendiri!" Teriak Zein.

.

.

Bersambung...