Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.
Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.
Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Momen yang tak kusangka pun terjadi. Aku berdiri kaku di tengah halaman rumah keluarga Dorjen yang dibisingi musik tradisional.
Semua mata memandangku, tamu-tamu yang yang gak kukenal terus berdatangan. Orang-orang berpakaian adat warna-warni itu pun memenuhi halaman.
Semua orang tertawa, berbincang, dan menatapku penuh rasa ingin tahu—seolah aku ini barang langka yang baru saja dipajang.
Aku menghela napas pelan. Ini benar-benar bukan pernikahan yang aku inginkan. Semua mimpiku yang ingin mengundang besti-bestiku di hari pernikahan pun mendadak ambyar. Aku benar-benar merasa asing di pernikahanku sendiri.
“Tenang, Ca. Ini cuma resepsi pernikahan biasa. Kamu gak gugup, kan?” tanya Deti yang sedari tadi berdiri di sampingku.
“CUMA?” Aku memicing.
“Fokus aja, Ca. Demi uang, kan?”
Deti menggenggam tanganku. Aku tahu, hanya untuk membuatku tenang. Namun gak lama kemudian, mereka pun datang.
“Itu calon suami-suami kamu, Ca. Ganteng-ganteng banget,” ujar Deti, sambil memandangi calon suami-suamiku yang baru keluar.
Di sana, Sonam berjalan paling depan, langkahnya tenang dan penuh wibawa. Tenzin di sampingnya, seperti biasa, dia tampak paling tenang. Sedangkan Norbu menyusul dengan ekspresi setengah gugup. Mereka pun kompak memandang ke arahku, lalu kompak tersenyum.
“Sial, mereka memang ganteng,” desisku pelan, cepat-cepat aku mengalihkan pandangan.
Tak lama kemudian ketiga cowok itu berdiri di hadapanku. Sangat tinggi dan kokoh, seperti pilar yang terbuat dari batu.
“Siap?” tanya Sonam.
Aku mengangguk meskipun semakin gugup. Para tamu tiba-tiba bertepuk tangan—membuatku semakin berdebar, tanganku mendadak dingin, kakiku gemetar, sampai lupa cara bernapas.
“Tenang.” Tenzin tiba-tiba menggenggam tanganku.
Aku tertegun melihat genggaman itu, hangat tangannya sukses membuatku sedikit tenang.
“Jangan gugup, ya,” kata Tenzin lagi.
Perlahan aku mendongak untuk menatap wajahnya. Wajah yang begitu tenang itu sukses membuatku bisa bernapas lega. Dia menatapku lama, tersenyum kecil—senyum yang seolah bilang, aku aman.
“Sudah tenang?” tanyanya pelan lewat ear translator.
Aku menjawab dengan anggukan sambil terus menatapnya. Dia memang tipeku banget.
“Kita mulai upacaranya,” suara Sonam membuat Tenzin melepaskan lenganku. Tanganku yang semula hangat pun tiba-tiba dingin kembali.
“Ayo,” ajak Norbu.
Langkah dipimpin Sonam. Tenzin mengikuti di belakang Sonam, Norbu di belakang Tenzin, sedangkan aku mengekor di belakang mereka.
Sampai akhir kami semua berdiri menghadap altar kecil yang terdapat seseorang yang penampilannya mirip biksu. Biksu itu sedang melantunkan doa-doa dalam bahasa Tibet, nadanya rendah dan berirama.
Ya Tuhan, ini beneran aku mau nikah? Batinku gak percaya.
Angin dingin Tibet tiba-tiba berhembus lumayan kencang, membuat bendera doa berkibar di atas kepala kami. Satu per satu ritual dilakukan, aku dan ke tiga calon suamiku pun dipakaikan kalung berwarna putih yang entah kalung apa, Sonam membantu menyematkan kalung di leherku—gerakannya sopan dan penuh hormat.
“Kita kelilingi altar,” ujar Sonam setelah selesai.
Tak tahu ritualnya, aku manut saja. Kami berjalan tiga kali, langkah kami pelan dan teratur. Setiap putaran terasa seperti pengingat—bahwa aku akan menjadi istri orang.
“Minum," ucap biksu setelah ritual berputar selesai.
Biksu itu menyodorkan mangkuk minuman yang entah minuman apa pada Sonam. Namun sepertinya minuman itu harus diminum kami semua. Dan benar saja, mangkuk itu pindah dari Sonam ke Tenzin, dari Tenzin pindah ke Norbu, lalu dari Norbu pindah ke aku.
“Ini minuman apa?” tanyaku setelah mangkuk berpindah ke telapak tanganku.
“Santai aja. Kalau ini memabukkan, kita akan langsung bawa kamu ke kamar,” bisik Norbu dengan senyum jahilnya.
“Kamar?”
Aku melotot terkejut, kalimat itu bikin aku gelisah. Sumpah, aku sudah di fase takut diapa-apakan mereka.
“Jangan pikirkan apa-apa. minum lah, semuanya akan baik-baik saja,” ujar Tenzin sangat tenang.
Sekali lagi, Tenzin adalah tipeku banget. Tanpa sadar aku pun mengangguk sambil tersenyum padanya. Namun tiba-tiba aku melihat Sonam yang mengangguk, rautnya seperti menyuruhku cepat minum. Dan akhirnya aku pun meneguk cairan aneh di dalam mangkuk itu.
“Bagus,” ujar Sonam.
Tiba-tiba musik tradisional mereda, suasana halaman yang semula ramai mendadak hening. Bahkan angin Tibet yang dingin seolah ikut menahan napas.
Biksu dengan jubah merah maroon tadi melangkah ke depan altar. Tangannya memegang lonceng kecil dan vajra. Begitu lonceng itu dibunyikan, suaranya nyaring tapi menenangkan, menggema pelan di dadaku.
Sonam, Tenzin, dan Norbu langsung berdiri di sampingku. Tubuhku diapit Sonam dan Tenzin, sedangkan Norbu di sisi Tenzin paling ujung.
Tanganku kembali dingin, sangat takut dengan hal-hal yang akan terjadi selanjutnya, namun tiba-tiba Tenzin kembali menggenggam tanganku.
“Relax,” bisiknya pelan.
Tenzin seperti tahu apa yang aku rasakan. Dan lagi-lagi, sentuhan itu membuatku sedikit lebih tenang, sampai aku bisa lebih fokus mendengar doa.
Biksu itu terus melantunkan kata-kata seperti doa. Aku tidak mengerti artinya, tapi nadanya berulang, dalam, seperti nyanyian yang mengalir pelan.
“Ini doa permohonan agar rumah tangga kita diberkahi, dijauhkan dari konflik, dan diberi rezeki yang cukup,” jelas Tenzin pelan.
Aku terkejut. Gak menyangka Tenzin benar-benar peka dengan apa yang kupikirkan.
Setelah doa selesai, rasa takjubku pada Tenzin mendadak buyar saat biksu mengangguk ke arah kami.
Sonam tiba-tiba melangkah maju. Ia mengambil segenggam sesuatu di dalam mangkuk biksu, menengadah sedikit, lalu melemparkannya ke udara sambil mengucap doa yang sangat pelan.
Aku ikut mendongak, menatap sesuatu yang dilemparkan Sonam itu. Tampak seperti biji-bijian. Biji yang entah biji apa itu pun jatuh perlahan, seperti hujan kecil yang berkilau di bawah sinar matahari.
Tak lama, Tenzin menyusul mengambil segenggam biji-bijian di mangku biksu tadi. Gerakannya sangat tenang, biji-bijian yang ia taburkan pun jatuh mengenai pundakku. Aku refleks tersenyum kecil.
Kini giliran Norbu. Ia mengambil biji-bijian dari dalam mangkuk juga, lalu melemparnya juga ke udara, dengan gerakan lebih lebar, sampai beberapa biji jatuh ke rambutnya sendiri.
“Norbu, rambutmu,” ujarku pelan, memberitahu.
Norbu tersenyum, “Itu tandanya rezekimu nempel ke aku juga.”
“Hah?”
”Sekarang giliranmu,” titah Sonam.
Aku menatap mangkuk biji-bijian di tangan biksu. Lantas manut, mengambil segenggam biji-bijian itu di mangkuk biksu.
“Lemparkan,” titah Biksu.
Aku menutup mata sebentar. Kalau boleh minta satu hal, aku ingin hidup bahagia dan kaya raya, lanjut melempar biji-bijian ini ke udara.
Butiran itu berjatuhan perlahan, beberapa mengenai wajahku, beberapa mengenai pundak Tenzin, diikuti tamu-tamu yang mendadak bertepuk tangan.
Biksu kembali melantunkan doa yang entah doa apa lagi, lalu lonceng dibunyikan tiga kali. Aku reflek memejamkan mata, berdoa untuk diriku sendiri.
Uang.
Uang.
Uang.
Hanya itu yang kupikirkan.
Saat doa selesai, aku membuka mata. Langit Tibet terlihat biru sekali. Namun pandangku langsung beralih pada tiga pria di hadapanku, mereka bertiga kini sudah resmi menjadi suamiku.