Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pidato Kemenangan
…ambruk… menimpa meja juri! Seketika, jeritan semakin kencang, disusul suara pecahan kaca yang nyaring. Balai warga benar-benar gelap, hanya ada siluet panik yang bergerak-gerak dan bisikan ketakutan yang merambat.
Gunawan dan Dewi, yang masih berdiri di panggung, saling menggenggam tangan erat-erat. Jantung mereka berdegup kencang, bukan karena tegang menunggu pengumuman, tapi karena kaget dan ngeri.
“Astaga! Ada apa ini?!” teriak Bu Ida dari kejauhan, suaranya melengking.
“Listrik mati! Listrik mati!” teriak warga lain.
Dalam kekacauan itu, Gunawan merasakan Dewi gemetar di sampingnya. Ia bisa mencium aroma ketakutan dari rambut Dewi, bercampur dengan aroma seblak dan bumbu rujak yang masih menempel di tangan mereka. Tanpa pikir panjang, Gunawan menarik Dewi sedikit ke belakang, menjauhi area panggung yang gelap.
Tiba-tiba, lampu darurat di sudut balai menyala, memancarkan cahaya remang-remang yang cukup untuk melihat kekacauan di meja juri. Sebuah panel dekorasi panggung, yang dihias lampu-lampu kelap-kelip, kini ambruk menimpa meja, memecahkan vas bunga dan beberapa piring saji. Untungnya, para juri sudah sempat berdiri, jadi tidak ada yang terluka parah.
“Sabar, Bapak-bapak, Ibu-ibu!” suara Pak RT menggelegar, berusaha menenangkan massa.
“Ini cuma listrik mati! Tidak ada yang terluka! Jangan panik!”
Di tengah keremangan, Gunawan melihat Budi dan Sita di belakang panggung, saling berbisik dengan wajah pucat, seolah kaget dengan apa yang terjadi. Tapi ada kilatan licik di mata Budi yang tidak luput dari perhatian Gunawan. Sabotase, pikirnya. Ini pasti ulah mereka.
Tak lama kemudian, listrik kembali menyala dengan kejutan, membuat semua lampu sorot kembali hidup dan balai warga terang benderang. MC, yang tadi sempat terjatuh, kini bangkit lagi dengan mikrofon di tangan, wajahnya sedikit berantakan tapi semangatnya tak padam.
“Mohon maaf atas gangguan teknisnya, hadirin sekalian!” seru MC, mencoba tersenyum, meskipun terlihat jelas ia masih gemetar.
“Kita… kita lanjutkan lagi! Di mana tadi? Oh, ya! Pengumuman pemenang!”
Semua mata kembali tertuju ke panggung. Ketegangan kembali menyelimuti, mengalahkan kepanikan sebelumnya. Gunawan dan Dewi kembali ke posisi semula, tangan mereka masih saling menggenggam, kini dengan keyakinan yang berbeda. Mereka sudah melewati begitu banyak hal, bahkan sebuah insiden listrik padam pun tidak akan menghentikan mereka.
MC menarik napas panjang, lalu mengulangi kalimatnya.
“Dan pemenangnya adalah… Pasangan yang berhasil memukau juri dengan kolaborasi kuliner unik, kisah cinta yang menginspirasi, dan presentasi yang paling otentik! Sebuah pasangan yang membuktikan bahwa perbedaan bisa menyatukan, dan bahwa cinta sejati bisa tumbuh di mana saja! Selamat kepada… Gunawan dan Dewi dari… Rujak Seblak Mesra!”
Gemuruh tepuk tangan dan sorakan meledak. Kali ini lebih keras, lebih meriah daripada sebelumnya. Warga lapak bersorak histeris, melompat-lompat gembira. Love Brigade, yang tadinya tegang, kini berpelukan dan menangis haru. Bu Ida bahkan sempat pingsan sebentar sebelum dibangunkan oleh Bu Marni.
Gunawan dan Dewi saling pandang, mata mereka membelalak tak percaya. Mereka menang? Benar-benar menang? Sebuah senyum lebar perlahan merekah di wajah Gunawan, menyusul Dewi.
Mereka berpelukan singkat, spontan, dan kali ini, pelukan itu terasa begitu alami, begitu tulus.
“Kita berhasil, Gun!” bisik Dewi, suaranya sedikit parau, menyandarkan kepalanya di bahu Gunawan.
“Kita berhasil, Wi,” balas Gunawan, memeluknya erat, merasakan degup jantung Dewi yang cepat.
MC menginterupsi momen mereka.
“Silakan, Gunawan dan Dewi, untuk memberikan pidato kemenangan kalian! Dunia ingin mendengar kisah cinta dan kesuksesan kalian!”
Gunawan dan Dewi melepaskan pelukan, masih dengan senyum lebar di wajah. Mereka melangkah maju ke depan panggung, menghadap ribuan pasang mata yang kini menatap mereka dengan penuh kekaguman. Mikrofon di tangan Gunawan terasa dingin, namun hatinya hangat.
“Ehm… selamat malam, Bapak dan Ibu Juri, dan seluruh hadirin,” Gunawan memulai, suaranya sedikit bergetar karena haru dan gugup.
“Kami… kami tidak menyangka akan sampai di titik ini. Terima kasih banyak atas kepercayaan kalian.”
Ia melirik Dewi, yang kini berdiri tegak di sampingnya, matanya berkaca-kaca. Dewi mengambil napas dalam-dalam, lalu memegang lengan Gunawan.
“Saya… saya juga mau bilang terima kasih,” kata Dewi, suaranya lebih jelas dan mantap dari Gunawan.
Ia menatap kerumunan, lalu tatapannya kembali ke Gunawan, kali ini dengan intensitas yang mengejutkan, bukan hanya bagi Gunawan, tapi juga bagi dirinya sendiri.
“Terima kasih kepada semua warga lapak, Love Brigade, Pak RT, yang sudah… memaksa kami sampai di sini.” Ia tersenyum tipis, jenaka, dan warga tertawa kecil.
“Tapi yang paling penting,” Dewi melanjutkan, suaranya kini melunak, penuh emosi,
“saya mau berterima kasih kepada Gunawan.” Ia menoleh penuh ke arah Gunawan, menggenggam tangannya di depan semua orang.
“Gunawan, terima kasih atas kesabaran kamu.”
Gunawan terkesiap. Kesabaran? Kata itu terasa sangat nyata, sangat personal.
“Dari awal, saya ini orangnya keras kepala, anti-komitmen, gampang curigaan,” Dewi melanjutkan, suaranya bergetar, jujur.
“Dan Gunawan… dia selalu ada. Selalu sabar menghadapi semua kekeraskepalaan saya. Dia selalu kasih saya ruang, tapi nggak pernah ninggalin saya sendirian.”
Warga lapak mulai berbisik-bisik. Love Brigade saling pandang dengan mata terbelalak. Kata-kata Dewi terdengar sangat tulus, jauh melampaui sandiwara yang mereka harapkan.
“Dan yang paling saya hargai dari Gunawan,” Dewi menatap mata Gunawan dalam-dalam, sebuah tatapan yang penuh pengakuan,
“adalah… pemahaman mendalamnya. Dia paham banget apa yang saya rasakan, bahkan sebelum saya sendiri tahu. Dia ngerti kalau saya butuh didukung, tanpa saya minta. Dia ngerti kalau saya butuh ruang, tanpa dia menjauh. Pemahaman mendalam itu, Gun, itu yang bikin saya… bisa bertahan sampai sekarang.”
Gunawan merasakan jantungnya berdesir hebat. Kata-kata itu,
"pemahaman mendalam,"
menghantamnya seperti gelombang. Itu bukan bagian dari sandiwara. Itu adalah pengakuan tulus dari hati Dewi, yang ia sendiri tidak pernah berani harapkan. Senyumnya kini bukan lagi senyum lega karena menang, melainkan senyum haru yang hampir meneteskan air mata.
Bu Ida, Bu Marni, dan Bu Tuti, yang sedari tadi terdiam, kini mulai menangis sesenggukan, mengipasi wajah mereka.
“Oh, Nak Dewi! Ini baru namanya cinta sejati!” seru Bu Ida, suaranya serak.
“Kata-katamu menyentuh hati Ibu!”
Pak RT mengangguk-angguk, wajahnya tampak lebih lembut dari biasanya. Ia melihat ke arah Gunawan dan Dewi, lalu tersenyum tipis. Keraguan di wajahnya tampak nyata. Apakah ini benar-benar sandiwara? Atau sudah berubah menjadi sesuatu yang lain?
Gunawan kini memegang mikrofon lagi, tangannya masih menggenggam tangan Dewi erat-erat. Ia melihat mata Dewi yang berkaca-kaca, dan ia tahu ia harus membalas ketulusan itu.
“Dewi juga,” Gunawan berkata, suaranya lebih mantap, lebih penuh perasaan dari sebelumnya. Ia menatap Dewi,
“Dewi ini, dia itu… seblak pedas yang bikin nagih, Pak Juri. Tegas, mandiri, berani. Dia nggak pernah takut buat jujur, buat ngungkapin apa yang dia rasakan, meskipun itu pahit.”
Dewi tersipu, tapi senyum tipis terukir di bibirnya.